Menghafal Al-Qur’an
January 15, 2011
Antara Hutang Dan Tawakal
January 16, 2011

Sang Lautan Ilmu, Ibnu Abbas

Ibnu Abbas adalah Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf Al-Quraisyi, putra paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ibunya bernama Ummu Fadhl Lubanah binti Al-Harits Al-Hilaliah. Ia dilahirkan ketika Bani Hasyim berada di Syi’ib, tiga atau lima tahun sebelum Hijriah, namun pendapat pertama lebih kuat.

Abdullah bin Abbas menunaikan ibadah haji pada tahun Utsman bin Affan terbunuh. Ketika terjadi perang Shiffin, ia berada di Al-Maisarah, kemudian diangkat menjadi gubernur Basrah dan selanjutnya menetap disana sampai ketika Ali radhiyallhu ‘anhu terbunuh. Kemudian ia mengangkat Abdullah bin Harits sebagai penggantinya, gubernur Basrah. Kemudian Abdullah bin Abbas kembali ke Hijaz. Ia sendiri wafat di Thaif pada 65 Hijriah. Sedangkan pendapat lain menyatakan pada tahun 67 atau 68 Hijriah. Namun pendapat terakhir inilah yang dianggap sebagai pendapat paling shahih oleh para jumhur ulama. Al-Waqidi menerangkan tidak ada selisih pendapat di antara para imam bahwa Ibnu Abbas dilahirkan di Syi’ib ketika kaum Quraisy memboikot Bani Hasyim, dan ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, ia baru berusia tiga belas tahun.

Posisi dan Keilmuannya

Ibnu Abbas dikenal dengan gelar Turjuman Al-Qur’an (penafsir Al-Qur’an), Habrul Ummah (guru umat), dan Ra’isul mufassirin (pemimpin para mufassir). Al-Baihaqi dalam Ad-Dala’il meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, “Penafsir Al-Qur’an terbaik adalah Ibnu Abbas.” Abu Nu’aim meriwayatkan keterangan dari Mujahid bahwa Ibnu Abbas dijuluki dengan Al-Bahr (lautan) karena keluasan ilmu yang dimilikinya. Ibnu Sa’ad meriwayatkan pula dengan sanad shahih dari Yahya bin Sa’id Al-Anshari, “Ketika Zaid bin Tsabit wafat, Abu Hurairah berkata, ‘Orang paling pandai umat ini telah wafat dan semoga Allah menjadikan Ibnu Abbas sebagai penggantinya.’”

Dalam usia muda, Ibnu Abbas telah mendapat tempat yang istimewa dikalangan para sahabat senior mengingat ilmu dan ketajaman pemahamannya. Bukhari, dari jalur sanad Sa’id bin Jubair meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ia menceritakan, “Umar mengikutsertakan aku ke dalam kelompok para tokoh senior Badar. Nampaknya sebagian mereka merasa kurang suka , lalu berkata, ‘Mengapa anak ini diikutsertakan ke dalam kelompok kami, padahal kami pun memiliki anak-anak yang sepadan dengannya?’ Umar menjawab, ‘Ia memang seperti yang kalian ketahui.’ Pada suatu hari Umar memanggil mereka dan mengajak aku bergabung dengan mereka. Saya yakin, Umar memanggilku semata-mata hanya untuk memamerkan saya dihadapan mereka. Ia berkata, ‘Bagaimana pendapat tuan-tuan mengenai firman Allah Ta’ala, ‘Apabila pertolongan dan kemenangan Allah telah tiba (An-Nasr: 1).’ Sebagian mereka menjawab, ‘Kita diperintah untuk memuji Allah dan memohon ampunan-Nya Ia memberi kita pertolongan dan kemenangan.’ Sedang yang lain diam, tidak berkata apapun. Lalu Umar berkata kepadaku, ‘Begitukan pendapatmu hai Ibnu Abbas?’ ‘Tidak,’ jawabku. ‘Lalu bagaimana menurutmu?’ tanyanya lebih lanjut. Aku pun menjawab, ‘Ayat itu adalah sebagai penanda tentang ajal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang Allah informasikan kepadanya, ‘Apabila pertolongan dan kemenangan dari Allah telah datang.’ Dan itu sebagai pertanda ajalmu, wahai Muhammad. ‘Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohon ampunlah kepada-Nya. Sesungguhnya Ia Maha penerima taubat.’ Umar pun berkata, ‘Aku tidak mengetahui maksud ayat itu kecuali apa yang kamu katakan.’”

Corak Tafsir Ibnu Abbas

Riwayat dari Ibnu Abbas mengenai tafsir tidak terhitung banyaknya dan apa yang dinukil darinya itu telah dihimpun dalam sebuah kitab tafsir ringkas yang kurang sistematis yang tajuknya Tafsir Ibnu Abbas. Di dalamnya terdapat berbagai macam riwayat dan sanad. Tetapi sanad yang terbaik adalah yang melalui jalur Ali bin Thalhah Al-Hasyim, dari Ibnu Abbas. Sanad ini menjadi pedoman Bukhari dalam kitab Shahihnya. Sedangkan sanad yang cukup baik, dari jalur Qais bin Muslim Al-Kufi, dari Atha’ bin Sa’ib.

Di dalam kitab-kitab tafsir besar yang disandarkan kepada Ibnu Abbas terdapat kerancuan sanad. Sanad paling rancu dan lemah yaitu sanad melalui jalur Al-Kalbi dari Abu Shalih. Al-Kalbi sendiri adalah Abu Nashr Muhammad bin As-Sa’I (wafat 146 H). Jika sanad ini digabungkan dengan riwayat Muhammad bin Marwan As-Suddi As-Shaghir, maka akan menjadi sebagai silsilah Al-Kadzib (mata rantai kebohongan). Demikian juga sanad Muqatil bin Sulaiman bi Bisyr Al-Azdi. Hanya saja Al-Kalbi lebih baik darinya, karena Muqatil terikat dengan berbagai madzhab atau paham yang kurang baik.

Sementara itu sanad Adh-Dhahak bin Muzahim Al-Kufi dari Ibnu Abbas sifatnya munqathi’ (terputus), karena Adh-Dhahak tidak berjumpa langsung dengan Ibnu Abbas. Apabila digabungkan kepadanya riwayat Bisyr bin Imarah, maka riwayat ini tetap lemah karena Bisyr memang lemah. Dan jika sanad itu melalu riwayat Juwaibir dari Adh-Dhahak, maka riwayat tersebut sangat lemah karena Juwaibir sangat lemah dan riwayatnya ditinggalkan ulama.

Sanad melalui Al-‘Aufi dan seterusnya dari Ibnu Abbas banyak dipergunakan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Hatim, padahal Ibnu ‘Aufi tersebut seorang yang lemah meskipun lemahnya tidak keterlaluan dan terkadang dinilai hasan oleh At-Tirmidzi.

Dengan penjelasan tersebut dapatlah kiranya pembaca menyelidiki jalur periwayatan Ibnu Abbas, dan mengetahui mana jalur yang cukup baik dan diterima, serta mana jalur yang lemah atau ditinggalkan sebab tidak setiap yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas merupakan sanad yang pasti atau shahih.

Sumber:

Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an: Pustaka Al-Kautsar