Antara Hutang Dan Tawakal
January 16, 2011Hadits-Hadits Dhoif Yang Populer Di Bulan Ramadhan
January 16, 2011Penulisan Dan Pembukuan Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam
Turunnya wahyu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkaitan dengan perintah membaca dan belajar sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu-lah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalian. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq: 1-5)
Sebelum datangnya agama Islam, bangsa Arab tidaklah dikenal dengan kemampuan membaca dan menulis, sehingga mereka lebih dikenal sebagai bangsa yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis). Namun demikian, tidak berarti bahwa diantara mereka tidak ada seorang pun yang bisa menulis dan membaca. Keadaan ini hanyalah sebagai ciri kebanyakan dari mereka. Sejarah telah mencatat bahwa sejumlah orang diantara mereka ada yang mampu membaca dan menulis, Adiy bin Zaid Al-Abbady (wafat 35 sebelum Hijriah) misalnya, sudah belajar menulis hingga menguasainya, dan merupakan orang pertama yang menulis dengan bahasa Arab dalam surat yang ditujukan kepada Kisra.
Kemudian pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tulis-menulis sudah tersebar luas, dimana Al-Qur’an sendiri menganjurkan untuk belajar dan membaca, dan Rasulullah sendiri mengangkat para penulis wahyu jumlahnya mencapai 40 orang. Nama-nama mereka disebut dalam kitab “At-Taratib Al-Idariyah”. Bahkan Baladzuri dalam kitab “Futuhul Buldan” menyebutkan adanya sejumlah penulis wanita, diantara mereka: ummul mukminin Hafshah, Ummu Kultsum binti Uqbah, Asy-Syifa’ binti Abdullah Al-Qurasyiyah, Aisyah binti Sa’ad, Karimah binti Al-Miqdad.
Para penulis semakin banyak di Madinah setelah hijrah, setelah perang Badar. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh Abdullah bin Sa’id bin Ash agar mengajar menulis di Madinah. Ibnu Hajar menyebutkan bahwa nama asli Abdullah bin Said bin Al-Ash adalah Al-Hakam, lalu Rasulullah memberinya nama dengan Abdullah, lalu menyuruhnya agar mengajar menulis di Madinah.
Ada beberapa nash yang bertentangan dalam hal penulisan hadits. Sebagian menunjukkan adanya larangan penulisan, dan sebagian lain membolehkan adanya penulisan hadits.
a. Riwayat yang melarang penulisan hadits
– Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang kepada kami dan sedangkan kami menulis hadits. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Apa yang sedang kalian tulis?’ Kami menjawab, ‘hadits-hadits yang kami dengar dari engkau.’ Beliau berkata, ‘Apakah kalian menghendaki kitab selain Kitabullah? Tidaklah sesat umat sebelum kalian melainkan karena mereka menulis dari kitab-kitab selain Kitabullah.’” (Diriwayatkan dari Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Taqyidul Ilmi)
b. Riwayat yang membolehkan penulisan hadits
– Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tiada seorang pun dari sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang lebih banyak haditnya dariku kecuali Abdullah bin Amru Al-Ash karena dia menulis sedangkan aku tidak menulis.” (HR. Bukhari)
– Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Ikatlah ilmu dengan buku.’” (Diriwayatkan Al-Khatib dalam Taqyidul Ilmi)
Atas dasar perbedaan nash inilah para ulama berselisih pendapat dalam penulisan hadits. Ibnu Shalah berkata, “Para ulama berselisih pendapat dalam penulisan hadits, sebagian diantara mereka melarang penulisan hadits dan ilmu, serta menyuruh untuk menghafalnya. Sedangkan sebagian yang lain membolehkannya.”
Mereka yang melarang penulisan hadits adalah Umar, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abu Musa, Abu Sa’id Al-Khudri, dan sekelompok lainnya dari kalangan sahabat dan tabi’in.
Sedangkan yang membolehkan penulisan hadits adalah Ali, Hasan bin Ali, Anas, Abdullah bin Amru Al-Ash.
Para ulama telah memadukan dua pendapat yang berselisih antara mereka yang melarang dan membolehkan penulisan hadits sebagai berikut:
- Larangan penulisan terjadi pada awal masa perkembangan Islam sehingga dikhawatirkan akan terjadi percampuran dan penggabungan antara hadits dan Al-Qur’an. Ketika keadaan telah aman dan kondusif, serta jumlah penghafal Al-Qur’an telah banyak, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan untuk menulis hadits, dan larangan sebelumnya mnejadi mansukh (terhapus).
- Larangan hanya khusus pada penulisan hadits bersamaan dengan Al-Qur’an dalam satu lembar atau shahifah, karena khawatir terjadi kemiripan atau kesamaan.
- Larangan hanya bagi orang yang diyakini mampu menghafalnya karena dikhawatirkan akan bergantung pada tulisan, sedangkan diperbolehkan penulisan hanya bagi orang yang diyakini tidak mampu dalam menghafalnya.
Dan tidak diragukan lagi bahwa adanya perbedaan ini hanyalah terjadi pada masa awal saja, kemudian ijma’ kamu muslimin sepakat membolehkan penulisan tersebut. Ibnu Ash-Shalah berkata, “Lalu hilanglah perbedaan, dan kaum muslimin sepakat untuk membolehkannya. Kalaulah tidak dibukukan dalam bentuk tulisan, tentu hadits itu akan lenyap pada masa-masa berikutnya.”
Pembukuan Hadits
Pembukuan berbeda dengan penulisan. Seseorang yang menulis sebuah shahifah (lembaran) atau lebih disebut dengan penulisan. Sedangkan pembukuan adalah mengumpulkan lembaran-lembaran yang sudah tertulis dan yang dihafal, lalu menyusunnya sehingga menjadi sebuah buku.
Upaya untuk mengumpulkan dan membukukan hadits telah dilakukan pertama kali oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Hal-hal yang mendorong untuk melakukan pengumpulan dan pembukuan adalah:
- Tidak adanya larangan pembukuan, sedangkan Al-Qur’an telah dihafal oleh ribuan orang, dan telah dikumpulkan serta dibukukan pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Dengan demikian dapat dibedakan dengan jelas antara Al-Qur’an dengan hadits.
- Kekhawatiran akan hilangnya hadits karena ingatan kuat yang menjadi kelebihan orang Arab semakin melemah, sedangkan para ulama telah menyebar dibeberapa penjuru negeri Islam setelah terjadi perluasan kekuasaan negeri Islam.
- Munculnya pemalsuan hadits akibat perselisihan politik dan madzhab setelah terjadinya fitnah, dan terpecahnya kaum muslimin menjadi pengikut Ali dan pengikut Mu’awiyah, serta Khawarij yang keluar dari keduanya. Masing-masing golongan berusaha memperkuat madzhab-nya dengan cara menafsirkan Al-Qur’an dengan makna yang bukan sebenarnya.
Akan tetapi, upaya pengumpulan ini belum menyeluruh dan sempurna karena Umar bin Abdul Aziz wafat sebelum Abu Bakar bin Hazm mengirimkan hasil pembukuan hadits kepadanya. Para ahli hadits memandang bahwa upaya Umar bin Abdul Aziz merupakan langkah awal dari pembukuan hadits. Mereka mengatakan, “Pembukuan hadits ini terjadi pada penghujung tahun ke 100 pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz atas perintahnya.”
Adapun upaya pembukuan yang sebenarnya dan menyeluruh dilakukan oleh Imam Muhammad bin Syihab Az-Zuhri yang menyambut seruan Umar bin Abdul Aziz dengan tulus yang didasari karena kecintaan pada hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan keinginannya untuk melakukan pengumpulan.
Pembukuan hadits pada mulanya belum disusun secara sistematis dan tidak berdasarkan pada urutaan bab-bab pembahasan ilmu. Upaya pembukuan ini kemudian banyak dilakukan oleh ulama-ulama setelah Az-Zuhri dengan metode yang berbeda-beda. Kemudian para ulama hadits menyusunnya secara sistematis dengan menggunakan metode berdasarkan sanad dan berdasarkan bab.
Ibnu Hajar berkata, “Orang yang pertama melakukan demikian itu adalah Ar-Rabi’ bin Shubaih (wafat 16 H) dan Said bin Abi Arubah (wafat 156 H) hingga kepada para ulama thabaqah (lapisan) ketiga (dari kalangan tabi’in). Imam Malik menyusun Al-Muwatha’ di Madinah, Abdullah bin Juraij di Makkah, Al-Auza’I di Syam, Sufyan At-Tsauri di Kufah, Hamad bin Salamah bin Dinar di Basrah.”
Buku-buku yang ditulis pada masa itu dan kini sudah dicetak antara lain:
- Al-Muwatha’ karya Imam Malik bin Anas
- Al-Mushannaf karya Abdurrazaq bin Hammam Ash-Shan’ani
- As-Sunan karya Said bin Mansur
- Al-Mushannaf karya Abu Bakar bin Abu Syaibah
Karya-karya tersebut tidak hanya terbatas pada kumpulan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, akan tetapi bercampur antara hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, perkataan para sahabat, dan fatwa para tabi’in. Kemudian ulama pada periode berikutnya memisahkan pembukuan hanya pada hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saja.
Sumber:
Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits: Pustaka Al-Kautsar