Pesantren Dan Daya Handal Interaksi Kitab (Bagian 3 Dari 3)
April 14, 2011
Rukun Iman (Bagian 2)
April 17, 2011

Rukun Iman (Bagian 1)

Oleh Ustadz Rizki Narendra

Iman terdiri atas enam substansi:
1.Iman kepada Allah
2.Iman kepada para malaikat-Nya
3.Iman kepada kitab-kitab-Nya
4.Iman kepada para rosul-Nya
5.Iman kepada hari akhir
6.Iman kepada takdir yang baik dan buruk

Berikut ini beberapa referensi (dalil) yang menerangkan hal ini:

1. Firman Allah Ta’ala, “Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan Rabbnya kepadanya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan para rasul-Nya. (mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seorang rasul dengan rasul lainnya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan Kami taat.” (mereka berdoa): “Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan hanya kepada-Mu tempat kembali.” (Al-Baqoroh:285)

2. Firman Allah Ta’ala, “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan kepada kitab yang Dia turunkan kepada rasul-Nya serta kitab yang Dia turunkan sebelumnya. Siapapun yang kafir kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, dan hari akhir, maka sungguh dia telah sangat jauh tersesat”. (An-Nisaa: 136)

3. Sabda Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam-, “(Rukun) Iman itu meliputi iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir serta takdir baik dan buruk” (Muttafaq ‘alaih). Adapun menurut redaksi Muslim, hadits tersebut berbunyi: “(Rukun iman meliputi) Iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-Nya, perjumpaan dengan-Nya, para rasul-Nya, serta iman akan adanya kebangkitan (setelah mati) dan iman kepada setiap takdir (baik dan buruk)”

Iman kepada Allah

A. Tauhid merupakan esensi setiap ajaran agama samawi
Pasal 1: Tauhid merupakan fitrah, yang mana Allah ta’ala telah menciptakan dalam diri setiap insan tendensi natural (kecenderungan alamiah) untuk mengikuti fitrah  tersebut.  Berikut ini beberapa dalil yang menerangkan hal tersebut:

1. Firman Allah Ta’ala, “dan (ingatlah), ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan Adam dari tulang rusuk mereka dan mengambil kesaksian atas diri mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Rabbmu?” mereka menjawab: “Benar, kami bersaksi (bahwa engkau adalah Rabb kami)”. (Kami melakukan hal itu) agar di hari kiamat kalian tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami tidak tahu-menahu tentang hal ini (yakni; keesaan Rabb)”. Atau agar kalian tidak mengatakan: “Sesungguhnya nenek moyang kami sejak dahulu telah berbuat syirik, sedangkan kami ini hanyalah keturunan mereka (yang meniru perbuatan mereka). Apakah Engkau akan menyiksa kami (atas) kesalahan (mereka) orang-orang yang sesat?” (Al-A’raaf: 172-173).

Ayat diatas menerangkan bahwasanya Allah ta’ala pernah mengeluarkan anak cucu Adam dari tulang rusuknya, kemudian mengambil kesaksian dari mereka bahwasanya Dia-lah Rabb sekalligus penguasa mereka, dan bahwasanya tidak ada Ilah yang berhak disembah selain-Nya, sesuai dengan fitrah mereka.

2. Firman Allah ta’ala, “(tetaplah diatas) fitrah Allah (yaitu: agama tauhid) yang mana Allah telah menjadikan naluri manusia untuk condong kepada fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi mayoritas manusia tidak mengetahui.” (Ar-Ruum: 30)

Para ulama telah berkonsensus bahwasanya yang dimaksud dengan “fitrah”dalam ayat diatas adalah islam.

3. Sabda Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam-, “setiap insan terlahir dalam kondisi fitrah (mengikuti agama tauhid), baru kemudian kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. (Mereka terlahir dalam kondisi fitrah) sebagaimana hewan terlahir dengan kondisi anggota tubuh lengkap. Apakah kalian pernah melihat ada hewan yang terlahir tiba-tiba dalam kondisi cacat?” (Muttafaq ‘Alaihi, berdasarkan redaksi Muslim).

Setelah menyampaikan hadits ini, Abu Huroiroh berkata: kalau kau mau, baca saja firman Allah ta’ala: “(tetaplah diatas) fitrah Allah (yaitu: agama tauhid) yang mana Allah telah memberikan manusia naluri untuk mengikuti fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah”. (Ar-Ruum: 30)

Makna dari hadits di atas adalah: seseorang itu menjadi yahudi, nasrani, atau majusi karena terpengaruh oleh kedua orang tuanya. Adapun sebelumnya dia terlahir dalam keadaan fitrah. Sama halnya seperti binatang berkaki pincang. Pada awalnya dia terlahir dalam kondisi sempurna, baru kemudian kepincangan muncul karena suatu sebab.

4. Firman Allah Ta’ala dalam sebuah hadits qudsi, “aku menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan lurus (fitrah), kemudian para syitan menggoda mereka, menyesatkan mereka dan mengharamkan hal-hal yang aku halalkan untuk mereka”. (HR.Muslim)

Pasal 2: Tauhid merupakan esensi setiap ajaran agama samawi. Berikut ini beberapa dalil yang menerangkan hal tersebut:

1. Firman Allah Ta’ala, “dan kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan kami wahyukan kepadanya bahwasanya: “tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah oleh kalian Aku” (Al-Anbiya: 25)

Dalam ayat diatas, Allah ta’ala menerangkan bahwa semua rosul menyeru umatnya untuk beribadah kepada Allah ta’ala semata.

2. Firman Allah Ta’ala, “dan ingatlah saudara kaum ‘Aad (yaitu: Hud) saat dia memberi peringatan kepada kaumnya di Al-Ahqaaf dan telah berlalu beberapa orang pemberi peringatan sebelumnya dan sesudahnya (dengan mengatakan): “Janganlah kalian menyembah selain Allah, sungguh aku khawatir kalau kalian akan ditimpa azab hari yang besar”. (Al-Ahqaaf: 21).

Allah Ta’ala menerangkan bahwasanya para rosul yang datang sebelum dan sesudah masa nabi Hud – ‘alaihissalam- mengajak umatnya untuk menyembah Allah ta’ala semata.

3. Firman Allah Ta’ala, “dan sungguh Kami telah mengutus rasul kepada setiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut” (An-Nahl: 36)

Allah Ta’ala menerangkan bahwa semua rosul diutus kepada umat mereka dengan mengusung ajaran tauhid, menyeru mereka untuk beribadah kepada Allah Ta’ala semata, serta antipati terhadap sesembahan lain selain-Nya.

2. Firman Allah Ta’ala, “Katakanlah, “Hai ahli kitab, mari (kita berpegang teguh) pada sebuah kata sepakat yang mana  antara (ajaran) kami dan kalian (tidak ada perselisihan tentangnya), yaitu: kita tidak menyembah (siapapun) kecuali Allah, tidak menyekutukan Dia dengan suatu apapun, dan tidak (pula) seorang pun diantara kita mengangkat orang lain dari golongan kita sebagai Ilah selain Allah”. Jika mereka berpaling maka katakan pada mereka, “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. (Ali-‘Imron:64)

Peringatan ini ditujukan kepada orang-orang ahli kitab, baik dari golongan yahudi, nasrani maupun yang semisal dengan mereka. Adapun “kata  sepakat” di sini adalah sebuah konsensus semua ajaran agama samawi yang tidak ada perselisihan diantara mereka mengenai hal ini, yaitu: seruan untuk beribadah kepada Allah ta’ala semata (tauhid) dan larangan untuk mengangkat seorangpun dari kalangan manusia sebagai tuhan.

3. Sabda Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam-, “Para nabi bagaikan Ikhwah Li’allat (saudara seayah dari) ibu yang berbeda. (Walaupun syariat mereka berbeda, namun) agama mereka tetaplah satu” (Muttafaq ‘Alaihi)

Makna dari hadits diatas adalah: Para nabi bagaikan saudara-saudara  seayah. Walaupun ibu mereka  berbeda, namun asal-usul mereka tetaplah sama. Pun begitu syariat para nabi, meskipun berbeda namun keyakinan fundamental mereka tetaplah sama, yaitu tauhid.

Pasal 3: Kesyirikan dengan berbagai macam bentuknya, seperti: ibadah kepada selain Allah Ta’ala, keyakinan bahwa Allah Ta’ala memiliki keturunan, keyakinan bahwa Allah ta’ala bersatu dengan raga manusia, dan lain sebagainya, adalah fenomena yang datang belakangan (bukan termasuk bagian dari ajaran tauhid), dan para nabi berlepas diri dari semua itu. Berikut ini beberapa dalil yang meneragkan hal tersebut:

1. Firman Allah Ta’ala, “Tidak mungkin seorang manusia yang telah Allah anugrahi alkitab, hikmah dan kenabian, lalu dia menyeru manusia, “Hendaklah kalian menjadi hamba-hambaku bukan (hamba-hamba) Allah”, akan tetapi (dia akan berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kalian selalu mengajarkan alkitab serta mempelajarinya”. dan (tidak mungkin pula dia) menyuruh kalian mengangkat para malaikat dan nabi sebagai Rabb. Patutkah dia menyuruh kalian berbuat kekafiran setelah kalian (menganut agama) Islam?” (Ali-Imron: 79-80)

Pada ayat di atas, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa tidak sepantasnya salah seorang utusan-Nya melakukan propaganda kepada umatnya untuk menyembah dirinya. Kalau para nabi dan rosul saja tidak pantas disembah, apalagi manusia biasa yang statusnya lebih rendah dari mereka.

2. Firman Allah Ta’ala, “dan (ingatlah) saat Allah berfirman, “Hai Isa putera Maryam, apakah engkau menyeru manusia, “Jadikanlah aku dan ibuku dua orang ilah selain Allah”?” Isa menjawab, “Maha suci Engkau, tidak sepantasnya aku mengatakan sesuatu yang aku tidak berhak (untuk mengatakannya). Andai aku berkata demikian, tentu Engkau mengetahui hal itu. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku, sedangkan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha mengetahui setiap perkara ghaib”. Aku tidak pernah menyeru mereka kecuali kepada apa yang Engkau perintahkan aku (untuk mengatakannya) Yaitu: “Sembahlah Allah, Rabbku dan Rabb kalian!”. Dan aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku masih (hidup) bersama mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka, dan Engkau Maha menyaksikan segala sesuatu”. (Al-Maidah:116-117)

Pada ayat di atas, Allah Ta’ala membantah persepsi keliru kaum nasrani yang mengatakan bahwa nabi Isa – ‘alaihissalam – melakukan propaganda kepada umatnya untuk menyembah dirinya dan juga ibundanya.

3. Firman Allah Ta’ala, “mereka (orang-orang kafir) berkata, “Allah mempunyai anak”. Maha suci Allah. Bahkan apa yang ada di langit dan di bumi adalah milik-Nya, (dan) semua tunduk kepada-Nya. (Allah-lah) Pencipta langit dan bumi. Apabila Dia  menghendaki sesuatu, maka (cukup) mengatakan, “Jadilah!” maka jadilah ia.” (Al-Baqoroh: 116-117)

Pada ayat diatas, Allah Ta’ala menyangkal opini yang mengatakan bahwa Dia memiliki anak, seraya menegaskan bahwa diri-Nya adalah zat Yang Maha Kaya, penguasa langit dan bumi.

4. Firman Allah Ta’ala, “mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata: “Allah mempuyai anak”. Maha suci Allah. Dia-lah yang Maha Kaya. (Semua) yang ada di langit dan bumi adalah milik-Nya. Kalian tidak mempunyai petunjuk apapun mengenai hal ini. Pantaskah kalian mengatakan tentang Allah sesuatu yang tidak kalian ketahui?” (Yunus: 68)

5. Firman Allah Ta’ala, “dan mereka berkata, “ Ar-Rahman (Yang Maha Pemurah) memiliki anak (dari golongan malaikat)”. Maha suci Allah. Yang benar, (mereka – para malaikat –  itu) adalah hamba-hamba yang dimuliakan. Mereka tidak melangkahi-Nya (dalam mengatur urusan) dengan berinisiatif, 1.dan mereka (selalu) mengerjakan setiap perintahNya. Dia mengetahui segala sesuatu yang ada dihadapan dan belakang mereka. Mereka tidak  memberikan syafa’at melainkan kepada orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya. Siapapun diantara mereka yang (berani) berkata, “Aku adalah Ilah selain Allah”, maka kami akan membalasnya dengan Jahannam, demikianlah (cara) kami membalas orang-orang zalim.” (Al-Anbiya: 26-29)

6. Firman Allah Ta’ala, “Dan mereka berkata: “Ar-Rahman mempunyai anak”. Sungguh kalian mengatakan sebuah (kedustaan) yang amat besar. Karena ucapan mereka itu, hampir-hampir langit terpecah, bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh berkeping-keping. (Itu semua) karena mereka menuduh Ar-Rahman mempunyai anak, (padahal)  tidak layak bagi Ar-Rahman untuk mempunyai anak. Tidak ada seorangpun di langit dan bumi, melainkan ia akan menghadap Ar-Rahman sebagai seorang hamba. Sungguh Dia telah mengetahui (secara detail) jumlah mereka dan menghitung mereka dengan teliti. Dan mereka semua akan menghadap-Nya pada hari kiamat nanti sendiri-sendiri.” (Maryam: 88-95)

Allah Ta’ala menerangkan betapa buruknya kebohongan ini, sehingga hampir membuat langit terpecah, bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh berkeping-keping.

bersambung…