Fatwa Lajnah Daimah : Rukun-Rukun Islam (6)
February 4, 2013
Hadis 1 Kitabul Jaami’ : Hak-Hak Sesama Muslim (3)
February 6, 2013
Fatwa Lajnah Daimah : Rukun-Rukun Islam (6)
February 4, 2013
Hadis 1 Kitabul Jaami’ : Hak-Hak Sesama Muslim (3)
February 6, 2013

Hadis 1 Kitabul Jaami’ : Hak-Hak Sesama Muslim (2)

Hadis 1 Kitabul Jaami

Oleh : Al Ustadz Ridwan Hamidi, Lc., M.P.I

Penjelasan Hadis:

Hadis ini menjelaskan hak-hak sesama kaum muslimin. Masing-masing hak ini, hukumnya beragam. Ada yang hukumnya wajib dan ada juga yang sunnah.

Berikut ini, keenam hak-hak yang disebutkan dalam hadits tersebut:

1. Menebarkan salam.

Perbuatan ini termasuk dalam perilaku yang akan semakin mempererat kecintaan kita terhadap sesama muslim, sebagaimana yang telah juga disabdakan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam,

لا تَدْخُلُون الجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا، وَلا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا، أوَلاَ أدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ؟ أفْشُوا

السَّلامَ بينكم

 “Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman. Kalian tidak akan beriman sampai kalian saling mencintai. Ketahuilah, maukah kalian aku tunjukkan pada sebuah amalan yang jika kalian mengerjakannya, kalian akan saling mencintai? Tebarkanlah salam di antara kalian” (HR. Muslim, no. 54).

Para ulama sepakat bahwa mengawali mengucapkan salam hukumnya adalah sunnah (dianjurkan). Adapun menjawab salam, maka hukumnya adalah wajib. (Tafsir al Qurthubi 5/297-304, Fathul Baari 11/2, 12-14, Ashalul Madaarik 3/351-353 dan Syarhul Minhaaj 4/215).

Jika yang diberi salam itu jamaah (beberapa orang), maka hukumnya fardlu kifayah. Maka jika sudah ada salah satu yang menjawab, kewajiban ini gugur dari yang lain. Jika semuanya ikut menjawab maka semuanya turut melaksanakan kewajiaban ini, baik menjawab salamnya ini dilaksanakan bersama-sama atau bergantian. Jika semuanya tidak mau menjawab salam, maka semuanya berdosa. (Al Mawsu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyah, 11/314).

Mengucapkan salam disini dilakukan dengan menggunakan salam yang kita kenal dalam Islam, yaitu “Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh” (atau cukup dengan “Assalamu’alaikum”) bukan dengan selamat pagi, selamat siang atau selamat sore. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa menjawab ucapan selamat selain dengan ucapan salam itu tidak wajib. Baik ungkapan selamat tersebut disampaikan secara lisan, dengan isyarat jari, telapak tangan atau kepala. (Raudlatuth Thaalibin 10/233, Mughnil Muhtaaj 4/214, Nihayatul Muhtaaj 8/48, al Inshaaf 4/233 dan al Adzkaar Imam Nawawi 234).

Lafal salam yang sempurna adalah “Assalaamu’alaikum” atau Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh. Dengan menggunakan bentuk isim ma’rifat “Assalaaamu” bukan Salaamun. Juga menggunakan bentuk jamak “’alaikum”. Baik yang diberi salam itu satu orang atau jamaah beberapa orang. Inilah yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para salaf shaleh. Meskipun menggunakan ungkapan “Salaamun ’alaikum” juga boleh tetapi “Assalaamu’alaikum” lebih utama.  (Al Mawsu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyah, 25/157-158).

Menjawab ucapan salam bukan dengan Wa’alaikumussalaam, menurut kebanyakan  ulama, tidak menggugurkan kewajiban. Karena Allah Ta’aala telah berfirman:

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا

“Dan apabila kamu dihormati dengan suatu (salam) penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik atau balaslah (penghormatan itu yang sepadan) dengannya.” (QS. An Nisaa’: 86)

Dalam ayat tersebut jelas ditegaskan keharusan menjawab dengan yang sama atau sepadan. Jadi tidak cukup dengan jawaban lain selain salam. (Al Fawaakih ad Dawaani 2/423, Al Jumal ‘Ala Syarhil Minhaaj 5/188 dan Tafsir Ibnu Katsir 2/351)

Dalam al Mawsu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyah dijelaskan tentang salam kepada lawan jenis, yang ringkasnya dapat disimpulkan sebagai berikut: Ucapan salam sesama wanita dianjurkan sebagaimana ucapan salam sesama laki-laki. Demikian pula menjawab salam sesama wanita hukumnya sama dengan menjawab salam sesama laki-laki. Sedangkan memberi salam dari laki-laki kepada wanita, maka bisa dibagi menjadi 2 keadaan:

  1. Jika wanita tersebut adalah istri, ibu atau mahram lainnya, maka hukumnya sunnah dan fihak wanita wajib menjawab salam tersebut.  Bahkan seorang laki-laki dianjurkan memberi salam kepada keluarga dan penghuni rumahnya.
  2. Jika wanita tersebut bukan mahramnya, maka ada dua kemungkinan:

1)      Jika wanita tersebut sudah berusia lanjut, maka memberi salam tersebut hukumnya sunnah dan wanita tersebut berkewajiban menjawab salam.

2)      Jika wanita tersebut masih muda dan dikhawatirkan menimbulkan fitnah baik bagi fihak laki-laki atau fihak wanita, maka ada 2 pendapat di kalangan ulama:

a)      Makruh menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah.

b)      Ulama Hanafiyyah mengatakan bahwa menjawab salamnya cukup di dalam hati. Jika ada seorang wanita memberi salam kepada laki-laki, maka dijawab di dalam hati. Demikian pula sebaliknya. Jika yang memberi salam adalah laki-laki, maka fihak wanita menjawab di dalam hati. Sedangkan ulama Syafi’iyah mengharamkan menjawab salam kepada laki-laki.

Sedangkan salamnya seorang laki-laki kepada kaum wanita dalam jumlah banyak, dibolehkan. Demikian pula salamnya beberapa laki-laki kepada satu orang wanita juga dibolehkan jika aman dari fitnah. Dalil yang menjadi dasar bolehnya seorang laki-laki member salam kepada kaum wanita dalam jumlah banyak, adalah hadits Asma binti Yazid radliyallahu ‘anha, beliau berkata: “Pernah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berjalan melewati beberapa wanita kemudian beliau member salam kepada kami.” (HR Abu Daud 5/383 dan Tirmidzi 5/58 dan Ibnu Majah, no 3701. Imam Tirmidzi menghasankan hadits ini).

Dalam Shahih Bukhari, Imam Bukhari membuat judul bab: Taslim al-Rijaal ‘alaal-Nisaa’ wa al-Nisaa’ ‘ala al-Rijaal (Bab salamnya kaum laki-laki kepada kaum wanita dan kaum wanita kepada kaum laki-laki). Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani dalam Fathul Baari (11/33) mengomentari bab tersebut dengan mengatakan: “Imam al-Bukhari mengisyaratkan dalam bab ini pada bantahan riwayat yang dikeluarkan oleh Abdurrazaq dari Ma’mar, dari Yahya bin Abi Katsir yang berisi makruhnya kaum lelaki mengucapkan salam kepada kaum wanita dan sebaliknya. Riawayat ini statusnya maqthu’ (riwayatnya berhenti sampai pada tabi’in) dan mu’dhal. Kemudian Al-Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan bahwa maksud dari bolehnya ini (kaum lelaki mengucapkan salam kepada kaum wanita dan sebaliknya) ketika aman dari fitnah. Ibnul Hajar rahimahullah juga menukil ucapan Ibnu Bathal dari al-Muhallab, “Salamnya kaum lelaki kepada kaum wanita (bukan mahram) dan kaum wanita kepada kaum lelaki hukumnya boleh, apabila aman dari fitnah.”

2. Memenuhi undangan.

Memenuhi undangan sesama kaum muslimin sangat dianjurkan. Baik undangan pernikahan atau undangan kegiatan mubah lainnya.

Allah Subahaanahu Wa Ta’aalaa telah berfirman:

وَلَكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا

“Tetapi jika kamu dipanggil maka masuklah dan apabila kamu selesai makan, keluarlah kamu” (QS. Al Ahzaab: 53).

Dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (No. 3740), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:

إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُجِبْ عُرْسًا كَانَ أَوْ نَحْوَهُ

“Bila salah seorang diantara kalian mengundang saudaranya, maka hendaklah ia memenuhi undangan tersebut. Baik undangan tersebut berupa walimah urs (resepsi pernikahan) atau yang sejenisnya.”

Dalam lafadz yang lain di Shahih Bukhari (No. 5174) dan Muslim (No. 1429) disebutkan,

إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْوَلِيمَةِ فَلْيَأْتِهَا

“Apabila salah seorang diantara kalian diundang untuk menghadiri walimatul urs (resepsi pernikahan), maka hendaklah ia menghadirinya.”

Sedangkan  hadits yang berisi ancaman bahwa yang tidak menghadiri undangan telah durhaka terhadap Allah dan Rasul-Nya, adalah hadits dla’if (lemah) yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud (No. 3743), yang redaksinya:

“مَنْ دُعِيَ فَلَمْ يُجِبْ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ”

“Siapa yang diundang kemudian tidak memenuhinya, maka sungguh ia telah duhaka terhadap Allah dan Rasul-Nya.”

Menghadiri walimatul ‘urs hukumnya wajib ain (fardlu ‘ain) bagi setiap yang diundang. (Jawaahir al Ikliil 1/325, Mughnil Muhtaaj 3/244,  al Mughni karya Ibnu Qudamah 7/1, Syarhus Sunnah karya Imam al Baghawi 9/132 dan Subulus Salaam 3/325).

Untuk udangan selain walimah, maka hukum menghadirinya sunnah. Tidak wajib. (Al Mughni 7/11, Hasyiyah al Qolyuubi 3/295, Al Fataawa al Hindiyah,5/343, Asy Syarh al Kabiir ma’a Haasyiyah ad Dasuuqiy 2/337).

Jika undangan tersebut berasal dari orang yang secara terang-terangan melakukan perbuatan fasik, maka ulama hanafiyah menegaskan bahwa undangan tersebut tidak dipenuhi. Supaya yang bersangkutan tahu bahwa yang diundang tidak rela dengan perbuatan fasiknya. Demikian pula undangan dari orang yang mayoritas hartanya berasal dari sumber haram. Kecuali jika yang bersangkutan tidak memberitahukan bahwa hartanya bersumber dari penghasilan yang halal. (Al Fataawa al Hindiyah,5/343).

Diantara hikmahnya adalah dapat menyenangkan hati yang mengundang. Namun apabila dalam acara undangan tersebut terdapat hal-hal yang melanggar ketentuan syariat dan kita tidak bisa mengubahnya, maka kita tidak berkewajiban untuk mendatanginya.

bersambung…