(alinshof.com). Saat Anda memperhatikan realitas dakwah dan aktivitas para da’i, Anda akan menemukan berbagai fenomena dan kegiatan unik yang menggembirakan. Akan tetapi pada sisi lain, Anda juga dapat menyaksikan penyakit kronis yang menimpa dakwah dan menjangkiti para aktivis, yaitu fenomena perpecahan, perselisihan dan saling menjauhi oleh para aktivis dakwah!
Sebagian di antara perselisihan ini lahir dari perbedaan manhaj dan kajian ilmiah yang bernuansa memiliki landasannaqliataupunaqli. Perselisihan seperti ini idealnya diterapi dengan kacamata ilmiah dan pandangan dakwah murni yang jauh dari keributan, debat kusir, dan tipu daya.
Mayoritas di antara perselisihan itu digerakkan oleh hawa nafsu, didominasi oleh kezaliman, dipertajam oleh fanatisme golongan dan afiliasi syaikh, tempat berguru. Padahal tidak akan dirasakan manisnya dakwah oleh orang yang hatinya terpaut dengan kepentingan pribadi dan memakmurkan aktivitas dakwahnya dengan hasutan dan desas desus, sebagaimana tidak akan dirasakan manisnya dakwah oleh orang yang motivasi utamanya sekedar membela jama’ah dan kelompoknya meski bertentangan dengan kebenaran.
Silahkan arahkan pandangan mata Anda ke sentra-sentra ilmu dan dakwah yang Anda inginkan, niscaya Anda akan dapati fenomena ketegangan, kekejaman dan “perang internal” sangat nampak menonjol. Tentu hal ini merupakan lingkungan yang berpotensi mendatangkan kegagalan, menghilangkan kekuatan, menyebarkan kelemahan dan menguras energi. Sebagaimana juga berpotensi masuknya infiltran dan konspirasi musuh.
Realita Menyakitkan
Tidak pernah penulis bertemu dengan seorang ulama ataupun da’i kecuali penulis mendapatinya merasa sedih atas perpecahan ini. Biasanya ulama dan da’i itu memaparkan kepada Anda dalil-dalil yang menyerukan persatuan dan mencela perpecahan. Sayangnya sangat sedikit Anda temukan respon praktis dan efektif dalam merukunkan perpecahan dan menghimpun persatuan. Yang Anda dapati, ini berpaling, sedang itu berlaku sombong, akhirnya perselisihan terus berlanjut dan semakin meningkat di kalangan para pengikutnya!
Penulis optimis dapat menterapi sebagian besar di antara perpecahan ini, juga dapat berjalan di atas jalan yang benar jika kita memiliki tekad yang kuat dan bertolak dengan serius dari beberapa rambu berikut;
Rambu pertama:
Mengokohkan prinsip loyalitas kepada kebenaran, komitmen dengan dalil dan hujjah. Menjadikan ridha AllahAzza wa Jallasebagai ukuran loyalitas, pertolongan dan kerjasama.
Di antara penyakit yang perlu segera diterapi dan diobati adalah loyalitas dan kerjasama yang dibangun di atas dasar golongan atau kesamaan guru, meski mengorbankan kebenaran. Terkait hal ini, Nabishallallahu alaihi wasallambersabda:
من نصر قومه على غير الحق؛ فهو كالبعير الذي ردي وهو ينزع بذنبه
Barang siapa membela kaumnya bukan atas dasar kebenaran maka ia seperti orang yang mengangkat unta yang jatuh ke dalam sumur dengan menarik ekornya ke atas permukaan.[1]
Ibn Qayyim telah menggambarkan manhaj yang benar dalam pernyataannya:
Tradisi kita dalam persoalan agama secara keseluruhan, kecil ataupun besar adalah mengambilnya secara total, kita tidak mempertentangkannya, dan kita tidak fanatik kepada sebagian kelompok atas kelompok lain. Kita menyepakati setiap kelompok atas dasar kebenaran yang ada padanya dan menyelisihi kelompok tersebut dalam perkara yang menyimpang dari kebenaran. Kita tidak mengecualikan kelompok dan pernyataan apapun dalam hal ini.[2]
Lembaga-lembaga dakwah yang tersebar di berbagai belahan dunia Islam, yang berbentuk komunitas, partai, ormas ataupun organisasi lainnya, semuanya merepresentasikan krisis nyata dalam bentuk perselisihan dan perpecahan, tetapi tidakkah mungkin menjadikan krisis itu menjadi peluang untuk mewujudkan perbedaan yang positif, saling melengkapi dalam kerjasama dakwah, dan menjaga simpul-simpul loyalitas dan ukhuwah. Kemudian kita memenej perbedaan kita dengan manhaj yang dapat menyatukan, bukan yang memecah belah!?
Lembaga-lembaga itu sebatas sarana, maka hendaknya perselisihan dan pertengkaran itu tidak memalingkan Anda dari jalan yang benar. AllahTa’alaberfirman:
{وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُم بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ} [الأنعام: 153]
Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (QS. al-An’am: 153).
Masalah sebagian mereka terletak pada persepsinya bahwa tidak ada jalan untuk mewujudkan cita-citanya kecuali dengan menjauhkan orang lainnya, atau merangkul mereka dalam proyek dakwahnya agar tetap berada di bawah lembaganya. Ia tidak sadar bahwa kebanyakan perselisihan itu dapat berakhir atau minimal berkurang hanya dengan menyadari bahwa medan dakwah itu dapat menampung semua upaya dan kerja yang tulus.
Rambu kedua:
Menghidupkan syiar saling berwasiat dan menasehati dalam hal kebenaran, kasih sayang dan ihsan, bukan dengan menjatuhkan dan balas dendam. Nasehat yang tulus merupakan salah satu di antara tanda kecintaan dan loyalitas, sedang mendiamkan kesalahan semakin menambah perselisihan dan tidak menyelesaikan masalah.
Di antara tanda nasehat yang tulus adalah bantahan itu lahir dari motivasi ingin meluruskan dan mengarahkan, bukan untuk menjatuhkan ataupun menjelek-jelekkan. Terkait dengan persoalan ini, Ibn Taimiyah menegaskan:
Membantah para pelaku bid’ah dari kalangan Rafidhah ataupun yang lain, jika tidak dimaksudkan sebagai upaya menjelaskan kebenaran, menuntun manusia, mengasihi dan berbuat baik kepada mereka, maka aktivitas tersebut bukan amal shaleh. Jika seseorang tegas dalam mencela bid’ah dan kemaksiatan, hendaknya motivasi dan tujuannya untuk menjelaskan keburukan yang terdapat di dalam bid’ah tersebut agar hamba-hamba Allah menjauhinya, seperti halnya dengan menyikapi nas-nas ancaman dan yang semacamnya. Boleh jadi seseorang itu perlu diberi sanksi dan diboikot dengan maksud agar ia dan orang yang semisalnya dapat menahan diri. Sanksi itu dimaksudkan sebagai bentuk kasih sayang dan kebaikan baginya, bukan sebagai bentuk menjatuhkan dan balas dendam.[3]
Imam Abu Nashr al-Sijazzi (wft thn. 444 H) mengisyaratkan bahwa”Orang yang berbicara tentang sunnah dengan maksud mengikutinya akan tertolong atas lawannya. Adapun orang bermaksud mencari kemenangan maka boleh jadi ia terkalahkan.”[4]
Pada saat bersamaan, nasehat itu tidak akan mewujudkan hasil syar’i yang diinginkan apabila dibungkus dengan kekerasan dan sikap kasar. Dalam hadits shahih Rasulullahshallallahu alaihi wasallambersabda:
من يحرم الرفق يحرم الخير
Barangsiapa tidak memiliki sifat lemah lembut niscaya ia tidak menikmati kebaikan.[5]
Rambu ketiga:
Menghidupkan fiqh memaafkan, memberi uzur, prasangka baik, mengingat jasa dan mengenal kebaikan bagi yang pantas untuk itu dan semacamnya. Semua itu termasuk di antara akhlak orang-orang yang memiliki sifat warak. Allah Ta’ala berfirman:
{وَلا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ}[الشعراء: 183]
Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya. (QS. al-Syu’ara’: 183).
Allah juga berfirman:
{وَلا تَنسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ}[البقرة: 237].
Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. (QS. al-Baqarah: 237).
Kita sangat perlu menghidupkan manhaj para sahabatradhiyallahu anhum. Mereka telah memberi contoh yang sangat mengagumkan dalam perkara keselamatan hati, saling memaafkan, pandangan yang luas, dan pemberian uzur bagi yang pantas.
Perhatikanlah kisah yang diriwayatkan oleh Imam al-Zuhri berikut:
Al-Zuhri menyatakan bahwa aku diceritakan oleh Urwah bahwa Miswar ibn Makhramah pernah menyampaikan padanya bahwa dirinya pernah mendatangi Mua’wiyah, maka Mua’wiyah menyelesaikan keperluan Miswar lalu bertemu empat mata dengannya. Mua’wiyah bertanya kepada Miswar; Wahai Miswar! ada apa dengan celaan Anda terhadap para pemimpin? Miswar menjawab: Tinggalkanlah kami dengan urusan tersebut dan berbuat baiklah. Mua’wiyah berkata: Tidak, demi Allah! Anda harus bicara kepadaku dari lubuk hatimu tentang celaan Anda terhadap diriku.
Kata Miswar: Setelah mendengarkan hal itu, maka tidak ada sesuatu yang aku cela pada dirinya kecuali aku telah menjelaskannya kepadanya.
Mua’wiyah berkata: Aku tidak merasa suci dari dosa, wahai Miswar! Dapatkan Anda menghitung reformasi yang kami lakukan terkait dengan urusan masyarakat banyak, karena satu kebaikan dibalas sepuluh kabaikan, ataukah Anda hanya dapat menghitung kesalahan dan meninggalkan kebaikan?
Miswar menjawab: Yang disebut itu hanya dosa dan kesalahan. Mua’wiyah berkata: Sungguh kepada Allah, kami mengakui segala dosa dan kesalahan yang kami perbuat; apakah Anda wahai Miswar memiliki dosa yang Anda khawatirkan dapat mendatangkan kebinasaan jika tidak diampuni?
Miswar menjawab: Iya, betul. Mua’wiyah menjawab: Anda tidak lebih berhak mengharapkan ampunan dari Allah daripada aku. Demi Allah, reformasi yang aku lakukan lebih banyak daripada yang Anda lakukan. Akan tetapi, demi Allah! Aku tidak diberi kesempatan memilih antara dua urusan, yaitu antara Allah dan selain-Nya kecuali aku memilih Allah. Sungguh aku berada di atas agama yang di dalamnya suatu amalan dapat diterima, kebaikan ataupun dosa itu dibalas kecuali jika Allah mengampuni dosa-dosa tersebut. Miswar berkata: Aku dikalah oleh Mua’wiyah.
Urwah berkata: Aku tidak mendengar Miswar menyebut Mua’wiyah kecuali ia mendo’akannya.[6]
Perhatikanlah sikap insaf dan respon cepat untuk kembali kepada kebenaran yang dimiliki oleh para sahabatradhiyallahu anhum.
Tentunya sikap saling memaafkan dan lapang dada memerlukan latihan, kesungguhan dan perlawanan terhadap diri sendiri. Sayangnya, tidak ada yang sanggup untuk itu kecuali orang-orang memiliki tekad yang kuat!
AllahTa’alaberfirman:
{وَلَـمَن صَبَرَ وَغَفَرَ إنَّ ذَلِكَ لَـمِنْ عَزْمِ الأُمُورِ}[الشورى: 43].
Tetapi orang yang bersabar dan mema’afkan, sesungguhnya (perbuatan ) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan. (QS. al-Syura: 43).
Rambu keempat:
Menyebarkan tsaqafah saling mematuhi karena Nabishallallahu alaihi wasallambersabda:
تطاوعا ولا تختلفا
Saling mematuhilah dan jangan saling berselisih[7].
Saling mematuhi merupakan indikasi jiwa yang suci, kepribadian yang tegar, dan pandangan yang luas. Hal itu tidak akan terwujud kecuali dengan kemurahan hati dan kesiapan untuk saling mematuhi.
Saling mematuhi tidak berarti harus mengorbankan kebenaran, atau menerima kebatilan, ataupun mendiamkan kesalahan. Tetapi sikap tersebut berarti harus lemah lembut, berjiwa lapang terhadap perkara-perkara yang menjadi obyek ijtihad, mendahulukan kepentingan umum atas kepentingan pribadi, atau persoalan besar atas permasalahan sepele, juga berati berpandangan luas dalam merangkul perbedaan yang ada.
Di antara penyakit kronis yang tidak pernah luput dari pandangan mata adalah menyebarnya semangat kesombongan, bangga diri, senang menyulitkan, takjub dengan pendapat sendiri serta merendahkan ilmu dan amalan orang lain. Semua itu dapat menghalangi sikap saling mematuhi dan memutus jalan berlemah lembut, sekaligus menegaskan kepada kita perlunya mereformasi bangunan silsilah tarbiyah dan akhlak kita.
Juga di antara penghalang utama sikap saling mematuhi adalah sifat egois, sebagaimana Allah berfirman:
{وَالصُّلْـحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الأَنفُسُ الشُّحَّ}[النساء: 128]
Dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir (egois). (QS. an-Nisa’: 128).
Sifat itu didefinisikan oleh Syaikh al-Sa’diy sebagai:”Keengganan menunaikan hak orang lain, dan keseriusan menuntut hak diri sendiri”. Selanjutnya al-Sa’diy menyebutkan bahwa kemurahan hati merupakan antonim sifat egois, yaitu”menunaikan hak orang lain dan merasa cukup dengan sebagian haknya yang ditunaikan orang lain kepadanay”.Ia juga menjelaskan bahwa:
Kapan seseorang memperoleh taufiq kepada akhlak yang baik ini niscaya ia akan mudah berdamai dengan lawan dan orang yang berinteraksi dengannya. Jalan untuk meraih suatu tujuan pun akan mudah. Berbeda dengan orang tidak berupaya menghilangkan sifat egois dari dirinya, akan sulit untuk sepakat dan berdamai dengannya. Karena ia tidak ridha kecuali haknya telah dipenuhi semuanya sedang ia tidak ridha menunaikan kewajibannya. Kalau lawannya juga bersifat egois seperti dirinya maka persoalannya tentu semakin rumit.[8]
Mungkin hal ini juga termasuk di antara sebab utama menurunnya proyek kerjasama antar para da’i ataupun lembaga-lermbaga Islam. Karena hubungan yang kuat dan kontinu tidak akan berjalan mulus kecuali dengan kelapangan dada dan saling mematuhi.
Penulis sangat berharap bahwa pada setiap komunitas dakwah terdapat orang-orang yang memiliki sifat lemah lembut dan lapang dada dari kalangan orang-orang yang dapat merangkul dan dirangkul dengannya. Mereka itu merupakan jembatan sejati menuju kepada sikap saling mematuhi. Dengan akhlaknya yang tinggi, mereka membangun hamparan kesepakatan dan hubungan yang positif. Mereka itu disifati oleh Rasulullahshallallahu alaihi wasallamdalam sabdanya:
المؤمنون هينون لينون، مثل الجمل الأنف، إن قيد انقاد، وإن سيق انساق، وإن أنخته على صخرة استناخ
Orang-orang mukmin itu lembut dan mudah, ibarat unta yang telah dicocok hidungnya, jika ditarik ia akan tunduk, dan jika diikat pada sebuah batu, ia akan terikat.[9]
Rambu kelima:
Berlaku adil dalam pernyataan, tindakan ataupun hukum terhadap siapa saja dan dalam kondisi apapun. Karena perbedaan kelompok tidak dapat menjadi dalih untuk berlaku zalim dan melampau batas. Allah berfiman:
{وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى}[المائدة: ٨]
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. (QS. al-Maidah: 8).
Allah juga berfirman:
{وَإذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا} [الأنعام: 152]
Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil. (QS. al-An’am: 152).
Dan Allah berfirman:
{وَإذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ}[النساء:58].
Dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. (QS. An-Nisa’: 58).
Sering kali sebagian aktivis dakwah menggunakan standar dan teropong ganda, teropong yang membesarkan diri, kelompok, dan orang-orang yang mereka senangi, dan teropong yang mengecilkan dan meremehkan orang lain.
Bersikap obyektif dalam membaca dan menela’ah realitas dakwah merupakan perkara langka yang tidak dapat diraih kecuali oleh orang jujur dan memiliki safat warak.
Ibn Taimiyah pernah mengisyaratkan hal yang sangat urgen namun sangat sedikit orang yang peduli dengannya. Ia menegaskan:”Menetapkan hukum terkait dengan keyakinan dan pendapat manusia jauh lebih besar dibanding memutuskan perkara mereka dalam urusan jual beli dan harta benda.”[10]
Apakah hal ini dipahami oleh orang yang terburu-buru mencoreng kehormatan para ulama dan da’i!?
Rambu keenam:
Menjaga kehormatan para ulama dan aktivis dakwah merupakan kewajiban syariat. Tidak boleh kedudukan dan kehormatannya dijatuhkan hanya karena kekurangan dan kesalahan yang bersifat temporal, sebab yang menentukan adalah banyaknya kebaikan dan jasa.
Orang yang obyektif, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Ibn Rajab adalah”Orang yang dapat memaklumi kesalahan orang lain yang sedikit dalam lautan kebenaran dimilikinya.”[11]
Seandainya setiap ulama ataupun da’i yang melakukan suatu kesalahan kita jatuhkan, apakah masih tersisa dan selamat seorang ulama dan da’i kita, baik pada masa klasik ataupun era kontemporer ini!?
Perhatikanlah ungkapan hikmah yang dikemukakan oleh Imam Ibn Qayyim berikut ini: “Seandainya setiap orang yang salah ataupun keliru ditinggalkan dan dibuang kebaikannya, niscaya ilmu, hasil karya dan aturan hukum itu akan rusak dan manfaatnya akan macet dan tertahan.”[12]
Dalam hadits shahih, Nabishallallahu alaihi wasallambersabda:
لا يفرك مؤمن مؤمنة إن كره منها خلقاً رضي منها آخر
Janganlah seorang mukmin membenci seorang wanita mukminah (istrinya), karena jika ia tidak senang pada salah satu akhlaknya niscaya ia dapat menerima dan meridhai akhlaknya yang lain.[13]
Oleh Syaikh Abdur Rahman al-Sa’diy dan lainnya, prinsip ini dipandang berlaku umum dalam segala bentuk interaksi sosial.[14]
Mencari-cari kesalahan, mengumbar kekurangan dan menyembunyikan kebaikan merupakan penyakit berbahaya. Wabah itu menunjukkan lemahnya prinsip keagamaan dan minimnya sifat warak dalam diri pelakunya. Sedang Nabishallallahu alaihi wasallampernah berdo’a memohon perlindungan kepada Allah dari “kawan jahat, yang matanya memandang sedang hatinya mengintai, jika ia melihat kebaikan, ia menyembunyikannya. Dan jika ia melihat kekurangan, ia menyebarkannya.”[15]
Oleh sebab itu para ulama, baik masa klasik maupun masa kontemporer ini merasa sakit dengan tindakan orang yang seperti itu.
Imam al-Sya’biy mengatakan:”Seandainya aku benar dalam sembilan puluh sembilan perkara dan aku keliru dalam satu masalah, niscaya mereka akan mengambil masalah yang satu itu dan meninggalkan yang sembilan puluh sembilan.”[16]
Pada saat Imam al-Humaidi menyingkap beberapa kesalahan Imam Syafi’i, Imam Ahmad ibn Hanbal menegurnya dengan tegas dan menyatakan:”Dari seratus masalah, hanya lima hingga sepuluh ia keliru di dalamnya. Tinggalkan yang salah lalu ambil yang benar.”[17]
Mendidik generasi muda di atas kebiasaan menyelami kehormatan dan memburu kesalahan para aktivis dakwah merupakan penyakit yang merintangi perjalanan dakwah. Kebiasaan itu dapat menciptakan lingkungan yang subur untuk bercerai-berai dan saling menyerang dengan kata-kata hanya dengan sebab sepele saja.
Oleh karena itu, penulis berpesan kepada para pemuda: “Jika Anda melihat seorang da’i yang sungguh-sungguh memberi nasehat kepada saudara-saudara Anda, sedang ia jauh dari kebiasaan debat kusir, menghindar dari desas desus dan gosip, dan menahan lidahnya bertengkar dan membicarakan kekurangan orang lain, maka ketahuilah bahwa da’i tersebut adalah orang yang memiliki komitmen agama, akal dan warak yang tinggi. Hendaklah Anda mengikutinya”.
Rambu ketujuh:
Membangun komunikasi dakwah di kalangan aktivis tidak terbatas pada satu jalur saja, tetapi jalur itu banyak dan bertingkat-tingkat. Tingkatan tertinggi adalah bersatu, dan tingkatan terendah dan paling minimal adalah tidak menyakiti aktivis lain. Di antara kedua jalur tersebut terdapat banyak jalur yang dapat diterapkan, seperti jalur koordinasi, kerjasama dan saling mendukung.
Sebaliknya, di sana terdapat pula jalur-jalur yang dapat membangkitkan semangat perselisihan dan perpecahan serta menghabiskan potensi kekuatan umat.
Akan sangat sulit kerjasama dan kordinasi itu dapat terwujud di tengah suasana yang tegang. Juga akan sulit terwujud komunikasi dan saling mendukung antara satu sama lain di atas suatu prinsip yang rapuh dan ukhuwah yang dipenuhi sifat egois, mementingkan diri sendiri dan mendahulukan prasangka buruk!
Kemampuan untuk memenej hubungan antar aktivis Islam dengan visi matang akan mampu mengurangi ketajaman perbedaan dan menghilangkan perselisihan. Inilah kewajiban paling minimal yang berada di atas pundak para penunjuk jalan.
Umat yang tidak pandai memenej perselisihan di antara mereka, tidak mungkin dapat mengetahui jalan kebangkitannya!?
Penulis berasumsi bahwa upaya menyatukan umat dan mendahulukan kepentingannya, tidak akan terwujud kecuali dengan sikap responsif dari para tokoh umat yang aktif dan serius. Jika para tokoh itu tidak proaktif maka masyarakat bodoh akan bertindak!
_______________________
[1]Diriwayatkan oleh Abu Daud,Kitab al-Adab, No. 5117 dan dishahihkan oleh al-Albani, lihat:Shahih Sunan Abi Daud, danShahih al-Jami’, No. 6575.
[2]Thariq al-Hijratain wa Bab al-Sa’adatain, hal. 393.
[3]Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah, Juz V, hal. 239-340.
[4]Al-Radd ‘ala Man Ankara al-Shaut wa al-Harf, hal 235.
[5]Diriwayatkan oelh Muslim,Kitab al-Bir wa al-Shilah, No. 2592.
[6]Siyar A’lam al-Nubala’, Juz III, hal. 151, lihat takhrij editornya.
[7]Diriwayatkan oleh Bukhari,Kitab al-Jihad wa al-Siyar, No. 3038; dan Muslim,Kitab al-Jihad wa al-Siyar, No. 1733.
[8]Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, Juz II, hal. 183-184.
[9]Diriwayatkan oleh Uqaili,al-Du’afa al-Kabir, No. 214, dan dihukumi “hasan ligairih” oleh al-Albani,al-Silsilah al-Shahihah, No. 936.
[10]Dar’u Ta’arudh al-‘Aql wa al-Naql, Juz VII, hal. 464.
[11]Al-Qawaid, hal. 3.
[12]Madarij al-Salikin, Juz II, hal. 39.
[13]Diriwayatkan oleh Muslim,Kitab al-Radha’a, No. 1469.
[14]Lihat:Bahjah Qulub al-Abrar wa Qurrah Uyun al-Akhbar, hal. 101-102.
[15]Diriwayatkan oleh Thabrani,al-Du’a, dan dinyatakan”Isnadnya Jayyid”oleh al-Albani,al-Silisilah al-Shahihah, No. 3137.
[16]Hilyah al-Auliya’, Juz IV, hal. 320-321; danSiyar A’lam al-Nubala’, Juz IV, hal. 308.
[17]Al-Razi,Adab al-Syafi’i wa Manakibuh, hal. 44.