Da’i Penderita Lumpuh Total
November 6, 2015
DAUROH RELAWAN AL-QUR’AN “Al Qur-an di Hati, Kesuksesan Diraih”
November 12, 2015
Da’i Penderita Lumpuh Total
November 6, 2015
DAUROH RELAWAN AL-QUR’AN “Al Qur-an di Hati, Kesuksesan Diraih”
November 12, 2015

Khitan Wanita, Sunnah yang Terlupakan(1)

Segala puji bagi Allah Robbul ‘alamin yang telah memberikan Rahmat dan hidayah kepada muslimah untuk terus belajar memperbaiki dirinya dengan diin ini. Shalawat serta salam kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam, manusia mulia utusan Rabb Semesta Alam, yang telah memberikan suri tauladan kepada para pengikutnya, mengajarkan perkara diin ini dengan sempurna. Kitalah, ummatnya, yang kemudian harus berusaha untuk mengambil apa-apa yang telah Beliau ajarkan untuk menjaga kesempurnaan diin ini dan menjadikan kita pengikutnya seutuhnya.

Khitan, umumnya yang terlintas di benak kita adalah wajibnya perkara ini untuk kaum Adam, akan tetapi ketika khitan ditujukan untuk kaum Hawa maka di masyarakat terjadi perbedaan dalam memandang hukumnya. Ada yang mengatakan itu adalah perkara yang mubah sampai pada pemikiran khitan untuk kaum Hawa tidak diperlukan. Lantas pendapat mana yang harus kita pegang demi menjalankan diin ini dengan sempurna?

Ibu Fajar Nusaibah hafizhohallah, seorang Bidan yang mendedikasikan dirinya untuk berkonsentrasi dalam perkara khitan wanita memberikan penjelasan apa itu khitan ditinjau dari sisi syari’at islam. Dalam makalahnya Beliau menyebutkan khitan berasal dari kata “khotana” yang artinya memotong. Secara istilah khitan yaitu memotong organ tubuh tertentu (genetalia) pada waktu tertentu pula.

Hukum khitan wanita menurut pendapat ulama, yakni:
– Menurut Imam Ahmad, An-nawawi dan sebagian Ulama salaf menyatakan hukum khitan wanita adalah wajib karena laki-laki dan perempuan adalah sama.
– Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa khitan wanita adalah sunnah.

Dianjurkannya khitan bagi wanita berdasarkan beberapa dalil yang menyebutkan tentang khitan,
Apabila bertemu dua khitan, maka wajib mandi.” [1]

“Apabila dia telah duduk dalam posisi di antara empat anggota tubuh wanita, lalu khitan menyentuh khitan maka wajib mandi” [2]

Kata dua khitan maksudnya bertemunya kemaluan laki-laki dengan perempuan. Kedua hadits ini menunjukkan bahwa khitan tidak hanya disebutkan bagian dari laki-laki saja melainkan terhadap wanita juga.

”Apabila engkau mengkhitan wanita potonglah sedikit, dan janganlah berlebihan, karena itu lebih bisa membuat ceria wajah dan lebih disenangi oleh suami.” [3]

Ada lima macam fitrah yaitu: khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak.” [4]

Hadits yang diriwayatkan oleh Al Bazaar dan Ath-Thahawi ini menyebutkan lima fitrah yang ada pada laki-laki maupun wanita.

“Sesungguhnya banyak siksa kubur dikarenakan kencing. Maka bersihkan dirimu dari kencing.” [5]

Ibu fajar menyebutkan, bahwa biasanya bagian kulup kemaluan (baik laki-laki maupun perempuan) sebelum dikhitan maka akan menghalangi sempurnanya istinja’ seseorang, sehingga kotoran sisa kencing dan haidh bagi wanita tersangkut di dalam tidak bisa dijangkau dan dibersihkan. Hal ini menyebabkan kotoran tersebut menumpuk tanpa kita sadari dan pastinya menghalangi sempurnanya thoharoh seseorang, sedangkan thoharoh adalah syarat dalam menjalankan ibadah.

Secara medis disebutkan bahwa keadaan organ genitalia wanita berbeda-beda, maksudnya bagi kulit kulup penutup klitoris yg besar akibatnya sehari-hari ia tak tenang karena mudah terangsang akibat tergesek-geseknya klitoris oleh kulit kulup penutup dan ini dikhawatirkan akan menjerumuskannya kedalam tindakan yang keji seperti berzina, maka bagi wanita tersebut khitan wanita adalah wajib. Sedangkan bagi yg memiliki klitoris berukuran kecil & tertutup dgn selaput kulit kulup, maka khitan baginya sunnah.

Pemaparan khitan wanita ditinjau dari segi syari’at maupun medis bermuara pada hukum wajib dan sunnah yang telah jelas berdasarkan dalil-dalilnya. Memilih khitan sebagai perkara wajib atau sunnah maka kembali lagi ke masing-masing pribadi. Hanya saja ketika ada yang memegang hukumnya adalah sunnah, maka hukum sunnah bukanlah sesuatu yang digampangkan sehingga tidak dikerjakanpun merasa enteng karena beranggapan karena itu sunnah maka meninggalkannya tidak berdosa. Tapi ingatlah akan hadits berikut ini,

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمُ الصَّلاَةُ قَالَ يَقُولُ رَبُّنَا جَلَّ وَعَزَّ لِمَلاَئِكَتِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ انْظُرُوا فِى صَلاَةِ عَبْدِى أَتَمَّهَا أَمْ نَقَصَهَا فَإِنْ كَانَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً وَإِنْ كَانَ انْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئًا قَالَ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِى مِنْ تَطَوُّعٍ فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ قَالَ أَتِمُّوا لِعَبْدِى فَرِيضَتَهُ مِنْ تَطَوُّعِهِ ثُمَّ تُؤْخَذُ الأَعْمَالُ عَلَى ذَاكُمْ

“Sesungguhnya amal ibadah manusia yang pertama kali dihisab (diperhitungkan) pada hari kiamat adalah shalat (wajib lima waktu), Allah Ta’ala berfirman kepada para malaikat –dan Dia Maha Mengetahui (segala sesuatu)–: ‘Periksalah shalat (lima waktu yang telah dikerjakan) hamba-Ku, apakah dia telah sempurna atau ada yang kurang?’ Kalau shalatnya telah sempurna maka dituliskan baginya (pahala) yang sempurna, kalau ada yang kurang dalam shalatnya, Allah berfirman: ‘Apakah hamba-Ku pernah mengerjakan shalat tathawwu’?’ Kalau hamba tersebut pernah mengerjakan shalat sunnah tathawwu’, Allah berfirman: ‘Sempurnakanlah bagi hamba-Ku (kekurangan) shalat (wajib lima waktu) dengan shalat tathawwu”. Kemudian amal-amal ibadah lainnya akan diperhitungkan seperti itu.” [6]

Maka, ketika amalan yang sunnah kita tinggalkan maka merugilah kita, karena tidak ada yang bisa menjamin amalan wajib kita telah sempurna dan diterima.

Keterangan:
[1]  HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’I dan Ibnu Majah
[2]  HR. Muslim
[3]  HR.Abu Daud-Baihaqi (Semua jalan periwayatan hadits lemah, hanya syaikh Al Bani yang menyatakan shahih dalam As-silsilah ash-shahihah, 722)
[4]  HR. Bukhari no. 5891 dan Muslim no. 258
[5] HR. Ad-Daruquthni
[6] HR Abu Dawud (no. 864), an-Nasa-i (1/232-233), at-Tirmidzi (no. 413) dan Ibnu Majah (no. 1425 dan 1426), dishahihkan oleh syaikh al-Albani dalam Shahihul Jaami’ish Shagiir (no. 2020).

Penyusun: Ummu Abdullah