Mencintai itu sesuatu. Dicintai itu lebih dari sekedar sesuatu. Siapa pun bisa mengaku mencintai Allah, mencintai Rasulullah. Akan tetapi terkadang pada amaliyahnya akan teruji kebenaran dari pernyataan tersebut. Akan teruji seberapa besar kadar cinta yang telah diikrarkan. Apakah kadarnya murni 100%, 50%, atau justru pernyataan cinta yang palsu, hanya di bibir saja. Belum tentu mereka yang mengaku mencintai Allah dan Rasul-Nya, mendapat balasan cinta dari Allah dan Rasul-Nya. Karena cinta itu butuh pengorbanan, butuh kesiapan untuk mengalah dan meruntuhkan ego demi membahagiakan yang dicintai.
Bagaimana bisa mengaku mencintai Allah dan Rasul-Nya, sementara apa yang menjadi kecintaan Allah dan Rasul-Nya enggan untuk dipenuhi, justru melakukan sesuatu yang tidak dicintai Allah dan Rasulullah. Apakah dengan cara itu, cinta yang dikrarkan akan berbalas? Atau justru bertepuk sebelah tangan? Ah, ini hanya pertanyaan retorik ….
Barangkali saya pribadi, Anda, atau mungkin orang-orang di sekitar kita melakukan hal yang demikian. Mengaku mencintai Allah dan Rasul-Nya, tapi membuat yang dicintai murka …. Benarkan demikian?
Di sinilah letak pentingnya ILMU, mengenal Islam lebih dekat, tidak cukup memuaskan diri pada pelajaran agama yang pernah kita terima di bangku sekolah. Tapi menimba lebih dalam, mengenal Islam dengan pengenalan yang benar, hingga akan terkuak bahwa pada beberapa hal ternyata kita melakukan hal-hal yang tidak dicintai Allah dan Rasulullah, mengabaikan hal-hal yang dicintai oleh Allah dan Rasulullah. ILMU inilah yang akan menjadi penerang kita dalam melakukan amaliyah, sehingga kita melakukan sesuatu tidak sekedar tiru-tiru, tidak sekedar nyonto dari leluhur, tapi karena kepahaman terhadap ajaran Islam. Berbuat dan beramal dengan dasar yang benar, bukan sekedar suara mayoritas yang memberikan dukungan. Dengan ILMU inilah kita akan tahu bahwa ada hal-hal yang menjadi kegemaran kita tapi ternyata Allah dan Rasulullah melarangnya. Ada hal-hal yang kita enggan melaksanakannya, ternyata menjadi syarat dari pernyataan cinta kita kepada Allah dan Rasul-Nya.
Mari sedikit kita telisik hal seperti apa yang terkadang, mungkin tanpa disadari, merupakan bentuk jawaban atas ikrar cinta kita yang tidak tulus kepada Allah dan Rasul-Nya. Misal? Allah dan Rasulullah mencintai muslimah–wanita yang sudah baligh—untuk menutup aurat sesuai tuntutan syari’at. Ya, sesuai tuntutan syariat, bukan sesuai tuntutan hati atau tuntutan mode, apalagi tuntutan lingkungan. Hal yang cukup memiriskan hati saat ini, mode busana muslimah begitu beragam, dengan segala aksesoris dan ragam coraknya. Hingga esensi dari menutup aurat itu menjadi sesuatu yang tidak bisa diterjemahkan. Yang muncul ke permukaan adalah busana muslimah tanpa jati diri, busana yang katanya islami tapi senyatanya merendahkan diri dan jauh dari apa yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya. Katanya berbusana muslimah tapi lekuk tubuh jelas terlihat. Katanya berbusana muslimah tapi dada masih begitu menantang (malu sebenarnya saya menuliskan ini, tapi lebih malu jika hal ini tidak saya sampaikan). Katanya berbusana muslimah tapi bayangan tubuh begitu mengguncang mata lelaki yang memandang, tipis nian dan transparan. Katanya berbusana muslimah tapi modelnya begitu rupa hingga memancing mata untuk meliriknya. Katanya berbusana muslimah tapi dengan entengnya berjabat tangan bahkan colak colek dan boncengan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya.
Anjuran menutup aurat itu diperintahkan agar wanita tidak menarik perhatian orang. Agar dirinya terjaga dari mata-mata liar, dari nafsu yang tidak terkendali. Agar keindahan yang dimilikinya hanya dipersembahkan untuk orang yang hak, orang yang memang pantas mendapatkannya, bukan sembarang orang di sembarang tempat.
Yah, saya menyadari, masih banyak saudariku di luar sana yang belum memahami secara benar kaidah berbusana muslimah. Mereka yang merasa sudah berbusana muslimah tapi sebenarnya belum sesuai tuntunan syari’at, saya berhusnuzhan bahwa mereka bukan bermaksud menggadaikan cinta yang telah dikrarkan, tapi memang masih sebatas itu yang dipahaminya. Seperti itu teladan yang dilihatnya dari orang-orang di sekitar yang dianggapnya paham agama. Seperti itu lingkungan mengajarkannya. Saya senantiasa menaruh harapan dan doa semoga pada akhirnya saudari-saudariku tersebut mendapatkan jalan dan kemudahan hingga bisa memahami kaidah syari’at secara benar dalam berbusana muslimah, hingga bisa menerapkannya pada diri sendiri dan menjadi teladan kebaikan bagi orang-orang di sekitarnya. Aamiin ….
Barangkali yang sedang membaca tulisan saya ini merasa tersentil? Ah, tidak mengapa. Alhamdulillah jika tersentil. Jika kemudian timbul pertanyaan, lalu saya harus bagaimana? Seperti apa sebenarnya berbusana muslimah yang sesuai syari’at Islam? Karena di kampung saya juga guru agamanya berjilbab hanya ketika ngajar. Karena yang saya pahami, kalau tidak mau jabat tangan dengan lawan jenis itu Islam fanatik. Saya harus bertanya kepada siapa?
Saya sebenarnya tahu seperti apa berbusana muslimah yang syar’i, tapi lingkungan tidak mendukung saya. Saya ingin menerapkan seperti apa yang saya pahami, tapi takut dibilang ekstrim, dibilang calon istri teroris. Saya takut dikucilkan. Saya takut tidak punya teman. Saya belum siap dengan sindiran dan tatapan aneh ketika busana muslimah syar’i saya kenakan.
Dan mungkin masih banyak deretan argument untuk membenarkan diri ….
Marilah ke sini, saya kasih solusi alternatif. Mintalah pertolongan kepada Allah agar senantiasa ditunjukkan kepada jalan kebenaran. Ihdinash shiraathal mustaqiima. Jika kita mencari kebenaran dengan jujur, maka Allah akan menolong kita, menunjukkan kita pada arah yang benar. Allah akan mempertemukan kita dengan orang-orang yang dapat menjadi wasilah, menjadi jalan bagi kita untuk berubah. Seumpama kita seekor ulat yang tidak menarik, berubah menjadi kupu-kupu yang indah yang menawan hati.
Kemudian, belajarlah. Memahami Islam tidak bisa sim salabim layaknya tukang sihir, atau dengan mandi kembang tujuh rupa tiba-tiba kita bisa memahami syari’at Islam dengan benar. Tapi dengan menimba ilmu. Juga berkumpul dengan orang-orang shalihah, dengan penjual minyak wangi yang dapat memercikkan keharumannya pada kita, bukan dengan pandai besi yang memercikkan api ….
Dan sadarilah bahwa menjadi baik, menjadi lebih baik itu butuh proses, butuh waktu, tidak serta merta. Dengan berjalannya waktu, setahap demi setahap, dengan senantiasa menjaga kelurusan niat, insyaAllah kita bisa berproses menjadi baik, menjadi lebih baik. Kita bisa berproses memurnikan kadar kecintaan kita kepada Allah dan Rasul-Nya, hingga pada akhirnya kecintaan kita tersebut tidak bertepuk sebelah tangan. Sekali lagi berproses.
Dan bagi yang sudah paham, yakinlah, intanshurullaha yanshurkum, jika kita menolong agama Allah maka Allah akan menolong kita. Bagaimana mungkin kita lebih takut dengan cemoohan orang yang kejahatannya tidak akan mencelakai kita tanpa izin dari Allah, sementara kita justru mengabaikan rasa takut akan azab Allah karena mengabaikan perintah-Nya yang sudah kita pahami.