Sedekah Juga Perlu Latihan
January 19, 2011
Tiga Peneguh Agama
January 19, 2011

Berhati-Hatilah Dengan Angan-Angan Anda !

Segala puji bagi Allah ta’ala, sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam- beserta para sahabat, keluarga, dan pengikut setianya hingga akhir zaman, amma ba’du:

Angan-angan adalah proses berfikir yang dipengaruhi oleh harapan-harapan terhadap kenyataan yang logis1, berangkat dari rasa ketidakpuasan dengan kondisi diri saat ini disertai keinginan untuk memperoleh sesuatu yang lebih. Bagi sebagian orang, berangan-angan bisa menjadi salah satu cara seseorang menghibur diri tatkala menyaksikan jauhnya asa untuk meraih apa yang dia cita-citakan, atau harapan yang sulit untuk diwujudkan namun tidak mustahil suatu saat nanti akan diraih. Selain itu, angan-angan juga bisa menjadi sarana pengobar semangat untuk terus beramal dan mengejar mimpi. Bagi seorang muslim, berangan-angan bisa menjadi salah satu sarana ibadah, karena dengan berangan-angan berarti dia menanamkan niat mulia dalam hatinya. Dan bahkan bisa jadi pahala yang ia peroleh dari niatnya ini lebih besar dari pada pahala yang dia peroleh apabila dia mewujudkan niatnya itu, karena bisa jadi di tengah pelaksanaan timbul rasa riya yang berdampak pada ditolaknya amal perbuatan tersebut tanpa ada pahala sedikitpun, atau setelah pelaksanaan timbul rasa angkuh dan memandang remeh orang lain yang tidak beramal seperti amalnya.

 

Beribadah melalui angan-angan juga dilakukan oleh para sahabat Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam-. Suatu hari Amirul Mukminin Umar bin Khoththob pernah berkumpul bersama para sahabatnya dalam sebuah ruangan seraya berkata: “berangan-anganlah kalian!”, maka salah seorang berujar: “aku berangan-angan seandainya aku memiliki emas sepenuh ruangan ini untuk aku infakkan di jalan Allah dan aku sedekahkan”. Salah seorang lainnya berujar: “kalau aku berangan-angan seandainya aku punya intan dan permata sepenuh ruangan ini untuk aku infakkan di jalan Allah dan aku sedekahkan”. Umar kemudian berujar: “Berangan-anganlah kalian!”. Mereka menjawab: “Kami tidak tahu lagi harus berangan-angan apalagi, wahai amirul mu’minin”. Umar berkata: “aku berangan-angan seandainya ruangan ini penuh dengan orang-orang seperti Abu ‘Ubaidah bin Jarrah, Mu’adz bin Jabal, Salim Maula Abi Hudzaifah, dan Hudzaifah ibnul Yaman”. (HR. Al-Hakim: 5005, sesuai dengan syarat bukhori dan muslim)

Mengapa Umar – rodhiallau ‘anhu – lebih suka ruangan itu penuh dengan pemuda sekelas Abu Ubaidah dari pada penuh dengan emas permata? Karena infak emas permata semata tidak bisa mengantar umat islam menuju kemuliaan, tidak bisa membebaskan Baitul Maqdis dari tangan najis Raja Romawi Heraklius saat itu, tidak mampu mengibarkan panji islam sampai ujung timur Kekaisaran Persia. Sumber daya alam semata bukanlah solusi, butuh sumber daya manusia-manusia pilihan seperti mereka untuk mengawal umat islam menuju kejayaan.

Selain Umar bin Khoththob, sahabat lain yang pernah berangan-angan adalah anaknya sendiri Abdullah bin Umar bin Khothtob. Pada suatu hari di kota Mekkah tengah berkumpul empat orang di Hijr Ismail (samping Ka’bah), mereka adalah Mus’ab bin Az-Zubair, ‘Urwah bin Az-Zubair, Abdullah bin Az-Zubair, dan Abdullah bin ‘Umar. Mereka berkata: “mari kita berangan-angan!”, kemudian Abdullah bin Az-Zubair berkata: “kalau aku berangan-angan menjadi khalifah”, kemudian ‘Urwah berkata: “kalau aku berangan-angan menjadi seorang ‘Alim”, adapun Mus’ab berkata: “kalau aku berangan-angan menjadi gubernur ‘Iraq dan menikahi ‘Aisyah binti Tholhah dan Sakinah binti Al-Hasan”, adapun ‘Abdullah bin ‘Umar berkata: “kalau aku berangan-angan sekiranya Allah ta’ala mengampuniku”. Periwayat kisah ini berkata: “akhirnya masing-masing mereka bertiga memperoleh apa yang mereka angan-angankan, dan semoga saja Abdullah bin ‘Umar juga telah memperoleh apa yang dia angan-angankan” (Hilyatul ‘Auliya)

Dalam sebuah hadis sohih Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam- pernah menyinggung tentang angan-angan. Beliau -sholallahu ‘alaihi wasalam- bersabda:

إِنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةِ نَفَرٍ عَبْدٌ رَزَقَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مَالًا وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَيَعْلَمُ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فِيهِ حَقَّهُ قَالَ: فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ.

قَالَ: وَعَبْدٌ رَزَقَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالًا قَالَ: فَهُوَ يَقُولُ لَوْ كَانَ لِي مَالٌ عَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلَانٍ قَالَ: فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ. قَالَ: وَعَبْدٌ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا

وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لَا يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَلَا يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَلَا يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقَّهُ فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ. قَالَ: وَعَبْدٌ لَمْ

يَرْزُقْهُ اللَّهُ مَالًا وَلَا عِلْمًا فَهُوَ يَقُولُ لَوْ كَانَ لِي مَالٌ لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلَانٍ قَالَ: هِيَ نِيَّتُهُ فَوِزْرُهُمَا فِيهِ سَوَاءٌ. (أخرجه أحمد والترمدي، وصححه الألباني

في الجامع الصغير)

Artinya: “Dunia ini di huni oleh empat jenis hamba:

(pertama), hamba yang Allah ta’ala anugerahi harta dan ilmu sehingga keduanya menjadi perantara dia untuk bertakwa kepada Allah ta’ala, menyambung tali silaturahmi, dan dia mengetahui hak-hak Allah ta’ala. Inilah sebaik-baik golongan.

(Kedua), hamba yang Allah ta’ala anugerahi ilmu namun tidak dianugrahi harta, maka dia berangan-angan: “andaisaja aku punya harta tentu aku akan beramal seperti amalanya si fulan (yakni golongan yang pertama)”. Golongan ini pahalanya sama dengan yang pertama.

(Ketiga), hamba yang Allah ta’ala anugerahi harta namun tidak dianugerahi ilmu, maka dia belanjakan hartanya itu seenaknya tanpa ilmu, dia tidak menggunakannya untuk bertakwa kepada Allah ta’ala, tidak juga untuk menyambung tali silaturahmi, dan bahkan dia sama sekali tidak tahu hak-hak Allah ta’ala. Inilah seburuk-buruk golongan.

(Keempat), hamba yang tidak dianugerahi harta dan tidak pula dianugrahi ilmu, maka dia berangan-angan: “andaisaja aku punya harta tentu aku akan berfoya-foya seperti si fulan (yakni golongan yang ketiga)”. Golongan ini dosanya sama dengan yang ke tiga”.

(HR. Ahmad dan Tirmidzi, disahihkan oleh Al-Albani)

Dari hadits Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam- diatas kita ketahui bahwasanya seseorang yang mengangan-angankan kebaikan dan dia berazam kuat seandainya itu terwujud dia benar-benar melaksanakannya, mendapatkan pahala sebagaimana orang yang telah melaksanakan kebaikan tersebut. Golongan kedua sampai kepada derajat golongan pertama karena mereka berangan-angan disertai azam yang kuat.

Jadi, jangan heran kalau pada hari kiamat nanti kita akan menyaksikan ada orang yang sama sekali belum pernah berjihad tiba-tiba memperoleh derajat para mujahid, atau orang-orang yang bukan termasuk alim namun dia bersama dengan para ulama, atau orang yang di dunia ini termasuk yang paling miskin diantara orang-orang miskin namun memperoleh pahala orang yang bersedekah emas permata.

Memang, ketika di dunia dia tidak pernah menapakkan kaki sejengkal pun di medan jihad, namun hatinya senantiasa terbakar oleh kerinduan untuk mati syahid. Setiap kali berdoa dia selalu meminta agar Allah ta’ala memberinya kesempatan untuk mengangkat senjata di jalan-Nya. Setiap kali membaca ayat-ayat jihad dadanya merintih menahan rindu akan kesyahidan, bagaikan istri yang menahan kerinduan akan suaminya yang entah kapan akan datang atau mungkin tidak akan pernah datang. Baginya, sebutir peluru yang menembus batang tenggorokannya di jalan Allah lebih manis dibandingkan menikahi bidadari dunia. Baginya, bau amis lumuran darah di bajunya saat mempertahankan panji Allah lebih harum dari parfum terbaik dunia. Mimpi-mimpi dalam tidurnya dihiasi oleh desingan AK-47 dan dentuman-dentuman granat dan bazooka. Tidak ada yang menghalangi dia dari berjihad selain uzur syar’i: entah sakit, atau kodisi fisik yang tidak memungkinkan, atau karena dia memiliki kedua orang tua yang telah renta dan tidak mengizinkan dia pergi, atau karena memang tidak ada peperangan, atau yang lainnya. Sampai akhir hayat, malam harinya tidak pernah luput dari doa: “Ya Allah, Izinkanlah aku mati membela agama-Mu”.

Memang, ketika di dunia dia tidak dikenal sebagai orang ‘alim, bukan lulusan pesantren bukan pula lulusan universitas terkemuka di timur tengah. Dia baru memperoleh hidayah ketika umurnya 40 tahunan, dan baru bisa membaca Alquran beberapa tahun sesudahnya. Selama ini tidak ada yang mengingatkan dia perihal ilmu-ilmu agama. Hatinya seakan tercabik-cabik setiap kali mengingat masa mudanya yang habis di arena persaingan dunia. Iri setiap kali berjumpa dengan pemuda yang sedang menuntut ilmu atau menghadiri kajian. Kalau saja pemuda itu mau menjual masa mudanya tentu dia akan membelinya dengan seluruh kekayaannya. Dalam hatinya dia berkata: “Andaikata aku mengenal hidayah ketika aku masih muda dahulu tentu akan kuhabiskan untuk menuntut ilmu seperti ulama fulan”. Namun begitu, dia pantang menyerah menuntut ilmu. Dia gunakan sisa umurnya untuk terus belajar mengenal Allah ta’ala dan syariatnya, berusaha sekuat tenaga menghafal ayat-ayat suci-Nya dan sabda-sabda rosul-Nya. Hampir tidak ada kesempatam menghadiri kajian ilmiah yang dia lewatkan. Disela-sela waktu senggangnya mencari nafkah dia mencoba menghafal satu dua ayat alquran. Dia mendidik anak-anaknya untuk mencintai ilmu dan ulama. Dan hal itu terus menerus dia lakukan sampai akhir hayatnya.

Memang, ketika di dunia dia bukan raja ataupun pengusaha kaya. Hari-harinya tak luput dari suara nyaring perut menahan lapar. Mimik wajahnya seolah mangabarkan bahwa selama puluhan tahun dia membanting tulang untuk bisa melalui hari demi hari dengan sesuap nasi. Namun selama ini, hati tulusnya yang terus-menerus ia bekali dengan ilmu, iman, dan taqwa, selalu mendorongnya untuk membantu orang lain. Setiap kali melihat orang kaya membangun ma’had dia berkata dalam hati: “andai Allah ta’ala memberiku harta tentu aku akan bangun ma’had seperti si fulan, atau bahkan lebih besar dan lebih banyak dari yang dia bangun”. Setiap kali melihat saudaranya kesulitan dia berkata dalam hati: “andai aku punya harta tentu aku bantu dia”. Bila melihat anak-anak yatim bergelimang asap kendaraan di jalan-jalan dia berkata: “andai aku bisa membangun panti asuhan untuk merawat dan mendidik mereka sehingga menjadi generasi yang berguna untuk agama ini”. Begitulah keadaanya hingga akhir hayatnya.

Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam- bersabda:

من سأل الشهادة بصدق بلغه الله منازل الشهداء وإن مات على فراشه (رواه مسلم)

Artinya: “barangsiapa yang berdoa memohon kepada Allah ta’ala dengan tulus untuk mematikan dia dalam keadaan syahid maka Allah ta’ala akan menyampaikan dia ke derajat orang-orang yang mati syahid sekalipun dia mati diatas kasurnya” (HR.Muslim)

Hadist lainnya, ketika Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam- dalam perjalanan pulang usai perang Tabuk dan beliau beserta pasukan muslimin sudah mendekati kota Madinah beliau bersabda:

إن بالمدينة أقواما ما سرتم مسيرا ولا قطعتم واديا إلا كانوا معكم. قالوا: يا رسول الله وهم بالمدينة؟ قال: وهم بالمدينة حبسهم العذر. رواه

البخاري

Artinya: “sesungguhnya di kota Madinah ini terdapat orang-orang yang mana tidaklah kalian menyusuri jalan atau menyebrangi lembah kecuali mereka senantiasa bersama kalian”. Para sahabat bertanya keheranan: “wahai Rosulullah, mereka itu kan tetap berada di dalam kota Madinah?” Beliau berkata: “mereka tetap berada di dalam kota karena tertahan oleh uzur” (HR. Bukhori)

Orang-orang yang Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam- singgung dalam hadis di atas adalah mereka yang sangat menginginkan pergi berperang bersama Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam- hanya saja mereka tidak mampu, entah karena kondisi fisik yang tidak memungkinkan, atau tidak memilki senjata dan perbekalan, atau karena Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam- memerintahkan mereka untuk menetap di Madinah menjaga para wanita dan anak-anak. Maksud dari sabda Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam-: “kecuali mereka senantiasa bersama kalian” adalah mereka memeroleh pahala jihad sebagaimana yang kalian peroleh karena mereka telah berazam untuk berangkat, hanya saja mereka tertahan oleh uzur. Seandainya tidak ada uzur mereka pasti bergabung bersama pasukan muslimin. Ini menunjukan bahwa angan-angan akan sebuah kebaikan disertai azam yang kuat dapat mengantarkan seorang muslim kepada derajat orang-orang yang telah melakukan kebaikan tersebut.

Namun perlu diwaspadai pula bahwa angan-angan selain bisa mengantarkan seseorang kepada kemulian, juga bisa menjadi sarana efektif menuju kehinaan abadi dan penyesalan tiada akhir di hari kiamat kelak –na’udzubillahi min dzalik-. Golongan keempat dari empat golongan yang disebut dalam hadis diatas adalah contohnya. Dia harus menanggung dosa sebesar dosa golongan ketiga bukan karena mengerjakan apa yang dia kerjakan, melainkan hanya berangan-angan untuk bisa mengerjakan sebagaimana yang dia kerjakan. Jadi jangan heran apabila pada hari kiamat nanti kita akan menemukan ada orang yang ketika di dunia terlihat sebagai rakyat jelata yang senantiasa tertindas tiba-tiba harus menanggung dosa sebesar dosa para penguasa diktator. Atau orang yang terlihat soleh, namun pada hari kiamat dia harus menanggung dosa sebesar dosa orang yang berzina. Atau yang seumur hidup miskin tiba-tiba harus menanggung dosa sebesar dosa para koruptor. Atau orang biasa dengan wajah pas-pasan dan tidak terkenal tiba-tiba harus menanggung dosa sebesar dosa para artis dan bintang film yang selalu penebar fitnah. Adapun rakyat jelata yang tertindas tadi, dia selalu berangan-angan: “andaisaja aku menjadi penguasa diktator seperti si fulan itu, tentu hidupku akan senang. Aku bisa melampiaskan seluruh nafsuku. Aku bisa merampas kebun siapa saja tanpa takut siapapun, karena aku punya banyak prajurit. Aku juga bisa menarik pajak sesukaku tanpa peduli. Andai ku jadi raja, tinggal tunjuk sana tunjuk sini terpuaskanlah seluruh nafsuku, wah indahnya…!”

Adapun orang yang terlihat soleh tadi, dia memang tidak pernah berzina karena tidak memiliki kesempatan untuk melakukan perbuatan nista nan terkutuk itu –naudzubillahi min dzalik -, namun dia selalu berangan-angan seandainya dia punya kesempatan berzina sebagaimana orang lain tentu dia akan melakukannya.

Adapun orang miskin tadi, dia memang tidak pernah korupsi karena memang tidak ada kesempatan. Apa yang mau dikorupsi? Sedangkan jabatan saja tidak ada!. Namun ketika dia mendengar berita bahwa ada koruptor ratusan milyar rupiah hanya divonis 1 tahun penjara dia seraya berkata: “wah, andaisaja aku berada diposisi dia..! enak sakali jadi koruptor seperti dia..! sudah korupsi ratusan milyar, hukumannya ringan pula Cuma 1 tahun..! berarti tahun depan begitu keluar dari penjara dia langsung kaya mendadak..!”

Adapun orang biasa tadi, dia selalu berangan-angan: “andaisaja aku punya wajah ganteng / cantik seperti artis fulan / fulanah, tentu aku bisa pamer muka kesana-kemari. Aku juga bisa menggoda setiap wanita / pria. Selain itu, aku juga bakal di kelilingi wanita-wanita cantik / lelaki-lelaki tampan”.

Orang-orang seperti mereka berempat inilah yang paling sial hidupnya. Sudah angan-angan di dunia tak sampai, sengasara pula di akhirat. Na’udzubillahi ta’ala min dzalik.

Lalu bagaimana cara kita bisa selamat dari perangkap hati ini? Bagaimana caranya agar hati ini tidak mengangan-angankan hal-hal yang tercela?

Dalam surat Al-Qhoshosh Allah ta’ala berfirman menceritakan kisah Qorun:

“Maka keluarlah Karun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: “semoga saja kita mempunyai (harta) seperti apa yang telah diberikan kepada Karun; Sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar (79) Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: “Kecelakaan besarlah bagi kalian, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali oleh orang- orang yang sabar (80) (Al-Qoshosh: 79-80)”.

Allah ta’ala menerangkan bahwa ketika Qorun keluar dari kediamannya dengan membawa serta kekayaan dan kemegahannya untuk dipamerkan dihadapan khalayak ramai, seketika itu juga orang-orang terbagi menjadi dua golongan:

Golongan pertama adalah orang-orang tertipu dengan kemegahan Qorun sehingga berangan-angan seandainya Allah ta’ala memberikan kekayaan dan kemegahan seperti Qorun agar mereka bisa pamer dihadapan manusia sebagaimana yang dilakukan Qorun. Coba perhatikan baik-baik ayat diatas..! Allah ta’ala mensifati mereka sebagai “orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia”. Sifat inilah yang mendorong mereka untuk berangan-angan seperti yang disebutkan diatas. Mereka itu orang-orang bodoh yang hanya melihat fenomena hidup dari kulitnya saja tanpa mengetahui hakikatnya. Mereka beranggapang bahwa kasih sayang Allah ta’ala kepada hamba-Nya berbanding lurus dengan limpahan kenikmatan materi. Artinya, kalau Allah ta’ala semakin banyak melimpahkan kenikmatan materi kepada seorang hamba, itu tandanya Dia semakin sayang kepada hamba tersebut.

Adapun golongan kedua, Allah ta’ala mensifati mereka sebagai “orang-orang yang diberi ilmu”. Mereka itulah orang-orang cerdas. Mereka sadar bahwasanya dunia ini disisi Allah ta’ala tidak lebih berharga dari bangkai tikus. Allah ta’ala memeberikan dunia kepada semua makhluk, baik yang beriman maupun yang kafir. Seandainya harga dunia ini disis-Nya menyamai harga sepotong sayap nyamuk niscaya Dia tidak akan membiarkan orang-orang kafir merasakan nikmatnya satu tegukan air, karena segala sesuatu yang berharga disisi-Nya hanya diperuntukan bagi para kekasihnya dari golongan orang-orang yang beriman dan beramal salih. Mengapa Allah ta’ala membiarkan orang-orang kafir makan, minum, dan bersenang-senang di dunia ini sebagaimana binatang makan, minum, dan bersenang-senang? Itu tidak lain karena dunia ini tidak ada harganya disisi-Nya. Orang-orang berilmu tadi memahami betul akan hal ini, sehingga mereka sama sekali tidak tergoda oleh kemegahan dan kemewahan perhiasan Qorun. Jangankan mengagumi, berangan-angan pun sama sekali tidak.

Dari firman Allah ta’ala diatas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa faktor pemicu seseorang untuk mengangan-angankan kenikmatan dunia sekalipun itu maksiat adalah kecintaan mereka kepada dunia itu sendiri. Dan kecintaan mereka terhadap dunia timbul karena kebodohan mereka akan hakikat kehidupan. Semakin bodoh mereka, semakin dasyat cinta mereka kepada dunia. Dan semakin dasyat cintanya kepada dunia semakin tinggi pula angan-angan keduniaannya sekalipun seumur hidup mereka miskin. Adapun faktor pencegah seseorang untuk mengangan-angankan sesuatu yang diharankan Allah ta’ala adalah ilmu mereka. Semakin berilmu seseorang, semakin kenal dia dengan Allah ta’ala, dan semakin paham akan hakikat kehidupan.

Pembaca yang beriman…

Mari kita terus menuntut ilmu sampai hembusan nafas terakhir, karena hanya dengan ilmu itulah kita akan kita dapat mencegah kecintaan terhadap dunia bersarang di dada kita, dan hanya dengan ilmulah kita semakin mengenali Allah ta’ala serta mengenali hakikat hidup ini.

Perlu diketahui, hakikat ilmu bukanlah seberapa pintar kita menganilsa masalah-masalah fikih, atau seberapa luas kita memahami seluk-beluk riwayat hadis, atau seberapa banyak hafalan Al-Qur’an kita. Tapi hakikat ilmu adalah seberapa takut kita kepada Allah ta’ala.

Artinya: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (fathir: 28)

Marilah kita koreksi kembali diri ini..! kita selidiki lagi isi hati kita masing-masing..! periksalah satu persatu apakah ada keinginan-keinginan buruk yang bersemayam dalam dada ini..? bongkarlah rahasia-rahasia hati kita sebelum datang sebuah hari dimana Allah ta’ala sendiri yang akan membongkarnya..! Allah ta’ala berfirman:

“pada hari dinampakkan segala rahasia” (Ath-Thoriq:9)

Wallahu a’lam bishowab

Semoga sholawat dan salam selalu tercurah kepada Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam-, beserta para sahabat dan keluarganya.

1 KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) edisi III