Surah Al-Fatihah
January 15, 2011Keutamaan Membaca Al-Qur’an
January 15, 2011Metode Penafsiran Terbaik
Metode penafsiran yang paling baik shahih adalah penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Ayat yang di-mujmal-kan pada suatu tempat akan dibeberkan di tempat yang lain. Apabila metode ini tidak dapat Anda lakukan, maka tafsirkanlah dengan As-Sunnah karena ia merupakan penjelasan bagi Al-Qur’an. As-Syafi’I berkata, “Semua perkara yang ditetapkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan bagian dari apa yang dipahaminya dari Al-Qur’an.” Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran supaya kamu menetapkan hukum di antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.” (QS. An-Nisa’: 105)
Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al-Qur’an dan sesuatu yang serupa dengannya (yaitu As-Sunnah).”
Apabila Anda tidak dapat menafsirkan Al-Qur’an dengan Sunnah, maka merujuklah kepada pendapat para sahabat. Mereka lebih mengetahui hal itu sebab mereka melihat fakta dan kondisi kejadian Sunnah. Mereka memiliki pemahaman yang sempurna, ilmu yang shahih, dan amal shaleh.
Al-A’masy berkata, dari Abi Wail, dari Ibnu Mas’ud, dia berkata, “Apabila seseorang di antara kami mempelajari sepuluh ayat, maka dia tidak akan melanjutkannya sebelum memahami seluruh makna dan mengamalkannya.” Demikianlah para sahabat, mereka tidak berpindah kepada ayat lain sebelum mereka memahami dan mengamalkan ayat yang sebelumnya.
Di antara mereka terdapat “penafsir Al-Qur’an” seperti Abdullah bin Abbas, yaitu putra paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sesungguhnya Rasululllah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mendoakan Ibnu Abbas. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ya Allah, pahamkanlah ia dalam agama dan ajarilah penakwilan.”
Apabila Anda tidak menemukan penafsiran Al-Qur’an di dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, dan pendapat para sahabat, maka carilah penafsiran itu di dalam pendapat para tabi’in, seperti Mujahid bin Jabir, Said ibnu Jubeir, Ikrimah (budak Ibnu Abbas), Atha’ bin Abi Rabah, Hasan Bashri, Said ibnul Musayyab, Ar-Rabi’ bin Anas, Qatadah, dan para tabi’in lainnya serta pengikut mereka. Apabila para sahabat itu bersepakat, maka penafsiran mereka merupakan hujjah. Akan tetapi, apabila mereka ber-ikhtilaf, maka menurut sebagian pendapat, bukan merupakan hujjah.
Adapun penafsiran Al-Qur’an hanya dengan penalaran semata, maka hal tersebut haram. Hal ini berdasarkan keterangan yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Jarir dengan sanadnya dari Ibnu Abbas, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Barangsiapa yang berbicara tentang Al-Qur’an berdasarkan penalarannya atau berdasarkan sesuatu yang tidak diketahui, maka siaplah untuk menempati neraka.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasa’i)
Oleh karena itu, sekelompok ulama salaf berkeberatan menafsirkan sesuatu yang tidak diketahuinya. Hal itu sebagaimana diriwayatkan oleh Syu’bah dengan sanadnya dari Abu Bakar Ash-Shiddiq bahwa ia berkata, “Bumi manakah yang akan menyanggaku dan langit manakah yang akan menaungiku jika aku mengatakan sesuatu yang tidak aku ketahui tentang kitabullah.”
Adapun orang yang berbicara, baik secara lughawi maupun syara’, berdasarkan pengetahuannya dari Kitab Allah, maka hal itu tidak apa-apa. Keberatan para ulama salaf tersebut harus diartikan sebagai penafsiran tanpa pengetahuan mengenai Kitab Allah. Abu Ubaid berkata melalui sanadnya dari Masruq, dia berkata, “Waspadalah dalam penafsiran karena ia merupakan penuturan tentang Allah.” Mayoritas kaum salaf berpandangan demikian.
Telah diriwayatkan mengenai kegiatan para ulama salaf. Penafsiran merupakan kewajiban bagi setiap individu. Akan tetapi, dia pun wajib dia mengenal penafsiran yang tidak diketahuinya. Individu pun wajib menjawab penafsiran yang ditanyakan jika hal itu diketahuinya, sebab Allah Ta’ala berfirman, “Agar kamu menjelaskannya kepada manusia dan kamu tidak boleh menyembunyikannya.” Juga karena ada keterangan dalam hadits, “Barangsiapa ditanya tentang ilmu, lalu ia menyembunyikannya, maka pada hari Kiamat dia akan dipasangi kendali dari api.”
Sumber:
Muhammad Nasib Ar-Rifa’i. 2004. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1 terjemah Syihabuddin. Jakarta: Gema Insani Press