20.4 C
New York
Saturday, October 5, 2024

Buy now

spot_img

The Battle Of Khandaq (Bagian 2 Dari 4)

(Kisah Perjuangan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam Dan Para Shahabatnya Dalam Mempertahankan Kota Madinah)

Oleh. Rahman Hakim

Mahasiswa Fakultas Dakwah Dan Ushuludin, Universitas Islam Madinah

Disini, kita dapat melihat bagaimana sikap sejati seorang pemimpin ketika dihadapkan pada suatu permasalahan yang pelik. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, yang ketika itu menjabat sebagai pemimpin kaum muslimin di Madinah tidak langsung membuat keputusan sendiri, melainkan memanggil para shahabatnya untuk memusyawarahkan persoalan ini bersama-sama. Musyawarah adalah salah satu ajaran Islam dalam memecahkan permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat.

Hari-Hari Yang Melelahkan
Dengan segera, dimulailah proyek pembangunan konsep pertahanan parit itu, secepat mungkin. Sebelum tentara gabungan kaum musyrikin itu sampai Madinah. Daripada itu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mempercayakan kepada setiap sepuluh orang, untuk menggali parit seluas empat puluh hasta.

Kaum Muslimin mengerjakan penggalian parit itu dengan penuh semangat dan etos kerja yang tinggi. Sementara itu, Rasulullah tidak hanya memberikan motivasi kepada para shahabat, namun juga turut menyingsingkan lengan baju dan turun langsung bersama mereka menggali parit. Bukhari meriwayatkan dalam kitab “Shahih”nya: dari Sahl bin Sa’ad, dia mengisahkan peristiwa itu, “Kami bersama Rasulullah di dalam parit. Sementara mereka menggali, kami memindahkan tanah galian, sedangkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berdoa:

Ya Allah, tiada kehidupan kecuali di akhirat.  Maka ampunilah orang-orang Muhajirin dan Anshar.

Dari Anas berkata, “ (Ketika) Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam beranjak menuju parit, beliau mendapati kaum Muhajirin dan Anshar sedang menggali parit di pagi hari yang dingin, karena mereka tidak mempunyai hamba sahaya yang bisa mereka pekerjakan untuk itu. Begitu menyaksikan keadaan mereka yang keletihan dan kelaparan, beliau pun lantas berdoa:

Ya Allah, sesungguhnya kehidupan yang kekal adalah kampung akhirat, maka ampunilah kaum Anshar dan Muhajirin.

Daripada itu, kaum Muslimin mengerjakan penggalian parit itu dengan penuh semangat, meskipun perut mereka dihinggapi rasa lapar yang sangat. Sungguh keadaan yang memilukan hati. Berikut ini Anas mengisahkan kondisi mereka saat itu, “(Suatu hari para penggali parit) mendapat kiriman segenggam gandum. Gandum itu kemudian dimasak dengan minyak yang sudah kadaluarsa. Lalu dihidangkan untuk semua pekerja yang sedang lapar. Padahal makanan itu sendiri tidak enak rasanya dan tidak sedap aromanya” (Al-Mubarakfuri, 2005).

Rasulullah pun Turut Merasakannya
Abu Thalhah bercerita, “Kami mengadu kepada Rasulullah tentang rasa lapar yang kami alami. Lalu kami perlihatkan perut kami yang kami ganjal dengan sebuah batu. Tiba-tiba Rasulullah pun memperlihatkan perutnya yang telah diganjal dengan dua buah batu” (Al-Mubarakfuri, 2005).

Mu’zijat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam
Pada masa-masa penggalian parit itu, banyak sekali tanda-tanda kenabian yang tampak. Seperti yang dialami oleh Jabir bin Abdullah. Suatu hari ia mendapati kondisi Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam keadaan rasa lapar yang sangat. Maka segera si Jabir menyembelih seekor kambing. Sementara istrinya menggiling satu sha’ (=± 2,5 kg) gandum. Kemudian ia meminta Rasulullah agar bersedia datang secara diam-diam ke rumahnya bersama dengan beberapa orang sahabat saja; khawatir makanan yang ada tidak mencukupi. Namun, justru, Nabi shallallahu alaihi wa sallam malah mengajak seluruh penggali parit yang jumlahnya mencapai seribu orang. Anehnya, mereka semua bisa memakan suguhan itu hingga kenyang. Terlebih lagi, masih tersisa sepanci daging dalam keadaan tertutup seperti belum terjamah. Begitu pula adonan roti itu masih tetap utuh seperti semula.

Lain lagi cerita saudara perempuan Nu’man bin Basyir. Ketika itu, ia membawa sekeranjang kurma ke lokasi penggalian parit untuk dimakan oleh ayah dan pamannya saja. Namun, di saat berjalan, ia berpapasan dengan Rasulullah yang kemudian meminta darinya beberapa buah butir kurma. Tiba-tiba kurma itu beliau letakkan di atas bajunya seraya memanggil seluruh penggali parit. Maka serta merta mereka semua berdatangan untuk memakan kurma tersebut. Tapi anehnya, seakan-akan kurma itu tidak ada habis-habisnya. Bahkan ketika semua penggali parit itu telah beranjak dari sisi beliau, kurma itu masih berjatuhan dari ujung bajunya.

Kali ini, keanehan yang terjadi jauh lebih dahsyat dari dua hal di atas. Yakni seperti apa yang di riwayatkan oleh Bukhari dari Jabir. Ia mengisahkan, “Ketika kami sedang menggali parit dalam perang khandaq, kami menemukan tanah yang sangat keras. Serta merta kami mengadukannya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Tiba-tiba saja beliau berkata, “Aku akan turun (ke dalam parit).” Lalu beliau berdiri. Sementara perutnya diganjal dengan batu. Sedangkan kami sudah tiga hari tidak merasakan makanan. Kemudian beliau mengambil cangkul, lalu menghantamkannya ke tanah keras itu. Di tangan beliau, tanah itu berubah menjadi lunak bagaikan pasir.”

Berikut ini Al-Bara’ menegaskan, “Ketika perang Khandaq, kami menemukan sebuah batu besar yang keras di salah satu parit yang tidak bisa dipecahkan dengan cangkul. Lalu kami mengadukan hal itu kepada Rasulullah. Maka beliaupun datang sambil membawa cangkul kemudian mengucapkan, “Bismillah”. Selanjutnya langsung memukul batu itu dengan sekali pukulan. Kemudian mengucapkan, “Allahu Akbar, telah diberikan kepadaku kunci-kunci kerajaan Syam. Demi Allah, saat ini aku benar-benar melihat istana-istananya yang (penuh dengan gemerlapan).” Kemudian beliau memukul tanah itu untuk yang kedua kalinya. Maka terpecahlah sisi yang lainnya. Lalu beliaupun bersabda, “Allahu Akbar, telah diberikan kepadaku negeri Persia. Demi Allah, aku benar-benar melihat istana kerajaannya yang penuh dengan gemerlapan sekarang ini.” Lantas beliau memukul tanah itu untuk yang ketiga kalinya seraya mengucapkan, “Allahu Akbar”. Maka terpecahlah bagian yang tersisa dari batu itu. Kemudian beliau bersabda, “Allahu Akbar, aku benar-benar diberi kunci-kunci kerajaan Yaman. Demi Allah, aku benar-benar melihat pintu-pintu Shan’a dari tempatku ini” (Al-Mubarakfuri, 2005).

Kondisi Geografis Kota Madinah
Kota Madinah dikelilingi oleh perbukitan, gunung-gunung, dan perkebunan kurma dari segala penjuru kecuali dari arah utara. Dilihat dari sisi geografis yang sedemikian rupa, kota Madinah sangat diuntungkan dari segi pertahanan. Nabi shallallahu alaihi wa sallam sangat mengetahui bahwa agresi militer dan penyerangan oleh pihak musuh hanya akan terjadi dari arah utara saja. Maka beliaupun memutuskan untuk menggali parit di sebelah utara kota Madinah itu.

Berkaitan dengan itu, kaum Muslimin mengerjakan penggalian parit itu sepanjang hari. Meraka baru pulang ke rumah masing-masing pada sore harinya. Dengan demikian, penggalian parit itu bisa selesai sesuai dengan apa yang direncanakan. Yakni, sebelum pasukan gabungan kaum musyrikin itu sampai ke perbatasan Madinah.

Detik-Detik Yang Menegangkan
Suku Quraisy bergerak dengan kekuatan tempur empat ribu prajurit plus peralatan perang mereka. Ketika mendekati Madinah, mereka mengambil posisi di muara air Rumat yang  terletak antara Al-Jarf dan Zaghabah. Sedang suku Ghatafan dan sekutunya dari penduduk Nejed mengerahkan kekuatan sekitar enam ribu tentara. Mereka bermarkas di bagian bawah lembah Naqma di sisi gunung Uhud.

Sementara itu, Rasulullah berangkat menuju ke medan pertempuran dengan kekuatan infanteri sebanyak tiga ribu tentara Muslimin. Kemudian mengambil posisi tempur di gunung Sila’, dan menjadikannya sebagai benteng pertahanan. Sedangkan posisi parit berada di antara mereka dan orang kafir. Sebelum berangkat ke medan tempur, beliau mengangkat Ibnu Ummi Maktum sebagai pemimpin sementara Madinah, seraya memerintahkan para wanita dan  anak-anak untuk berlindung di tempat khusus di benteng-benteng Madinah.

Panji perang kaum Muhajirin dipegang oleh Zaid bin Haritsah, sedangkan panji perang kaum Anshar berada di tangan Sa’ad bin Ubadah. Sedangkan Abbad bin Bisyr menjadi pasukan khusus pengaman sang panglima perang kaum Muslimin, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Ia dan beberapa orang shahabat dari kalangan Anshar, mengemban tugas khusus untuk menjaga beliau (Al-Masyath, 2006).

Parit Pertahanan Sukses Membendung Serangan Pasukan Gabungan
Syahdan, ketika tentara kaum Musyrikin bergerak dengan penuh keyakinan dapat menaklukkan Madinah, serta mengakhiri perjalanan dakwah Nabi Muhammad. “Kali ini habis sudah riwayat Muhammad dan ajarannya”, kira-kira begitulah jalan pikiran yang terngingang-ngiang dalam kepala mereka sepanjang perjalanan menuju Madinah. Maklum, dengan kekuatan infanteri sebanyak sepuluh ribu orang, hasil koalisi pelbagai pihak yang ingin menghentikan aktivitas dakwah Rasulullah itu, rasanya hampir mustahil serangan gabungan ini bisa ditahan, apalagi dipatahkan.

Diluar dugaan, betapa terkejutnya Abu Sufyan beserta ribuan pasukannya ketika sampai di perbatasan. Mereka melihat suatu hal yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Sebuah parit membentang lebar menghalangi jalan mereka untuk bisa meneruskan perjalanan menyerang kaum Muslimin dan menaklukkan Madinah.  Di sisi lain, barisan pasukan pemanah kaum Muslimin terlihat berjaga-jaga dan dalam keadaan posisi siap tembak. Ketika mata pasukan pemanah itu menangkap gerakan tentara kaum Musyrikin yang mencoba mendekati parit, seketika itu juga  anak panah akan langsung melesat dari busurnya menghujani target. Hal ini mengakibatkan pasukan musuh hanya mampu mengepung dari jarak agak jauh saja. Mereka tidak bisa mendekati parit itu, apalagi sampai melewatinya. Terlebih-lebih menimbuni parit tersebut dengan tanah; sehingga mereka bisa membuat jalan yang memungkinkan bagi pasukannya untuk melewatinya.

Alhasil, orang-orang musyrik itu hanya bisa mengelilingi parit itu sambil menggerutu, karena tidak dapat berbuat sesuatu apapun menghadapi stretegi perang yang belum pernah mereka kenal sebelumnya. Kaum Musyrikin mengelilingi parit itu sambil mencari-mencari titik lemah, untuk mereka jadikan sebagai pintu masuk ke Madinah. Namun mereka sama sekali tidak berani terlalu dekat dengan parit itu. Karena hal itu hanya akan menjadikan diri mereka sebagai santapan empuk bagi para pasukan pemanah yang senantiasa berjaga-jaga di seberang parit (al-Mubarakfuri, 2005).

Sementara itu, Pasukan kavaleri (penunggang kuda) Quraisy, merasa benci bila harus berdiam diri di sekitar parit tanpa membuahkan hasil sama sekali dari pengepunga itu. Karena hal semacam ini bukan sifat mereka. Maka bergeraklah sebagian dari mereka, sebut saja Amr Ibnu Abdu Wud, Ikrimah bin Abi Jahl, Dhirar bin al-Khatthab dan beberapa orang lainnya. Mereka ini bermaksud menuju galian parit yang sempit dan bisa diseberangi. Mereka melompat dan mengelilingi tanah yang lembab (berair) di antara parit dan pecahan tanah dengan kuda mereka. Spontan, beberapa orang shahabat Nabi menghadang gerakan mereka. Sehingga mereka mengambil alih celah yang dilewati pasukan berkuda milik Musyrikin itu. Si Amr berteriak, “Siapa yang berani berduel (melawanku)?” Maka tampillah Ali bin Abi Thalib menjawab tantangan itu. Sebelum duel terjadi, sempat terjadi dialog di antara mereka berdua. Di antaranya, “Demi Allah, aku tidak ingin bertarung denganmu”, ujar Amr. Lantas Ali bin Abi Thalib pun menimpali, “Namun, sungguh, Demi Allah, aku ingin sekali membunuhmu”. Mendengar hal itu, emosi Amr pun terbakar. Segera ia turun dari kuda lalu mengusirnya dengan memukul wajahnya. Baru kemudian menemui Ali bin Abi Thalib. Maka terjadilah duel sengit di antara keduanya, yang akhirnya dimenangkan oleh Ali. Begitupun semua petarung dari Quraisy itu akhirnya kalah. Sehingga mereka keluar dari parit tempat terjadinya pertarungan itu dan melarikan diri dalam keadaan ketakutan. Sampai-sampai Ikrimah lari meninggalkan tombaknya begitu melihat kekalahan temannya, si Amr (Ibnu Hisyam, 2007).

Usaha kaum Musyrikin yang berhari-hari mengepung dan mencoba melewati parit itu, juga diimbangi usaha pasukan Muslimin mempertahankannya berhari-hari lamanya, hanya saja karena faktor adanya parit yang menghalangi kedua kubu, tidaklah memungkinkan terjadinya perang terbuka, melainkan hanya saling memanah saja. Dalam pertempuran saling memanah ini, telah jatuh korban jiwa dari kedua belah pihak, enam orang dari pasukan kaum Muslimin, dan sepuluh orang dari kaum Musyrikin.

bersambung…

Related Articles

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

0FansLike
0FollowersFollow
0SubscribersSubscribe
- Advertisement -spot_img

Latest Articles