The Battle Of Khandaq (Bagian 3 Dari 4)
January 16, 2011
Pada Kubangan yang Sama
January 17, 2011
The Battle Of Khandaq (Bagian 3 Dari 4)
January 16, 2011
Pada Kubangan yang Sama
January 17, 2011

The Battle Of Khandaq (Bagian 4 Dari 4)

(Kisah Perjuangan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam Dan Para Shahabatnya Dalam Mempertahankan Kota Madinah)
Oleh. Rahman Hakim
Mahasiswa Fakultas Dakwah Dan Ushuludin, Universitas Islam Madinah

Kaum Anshar atau yang sebelumnya dikenal sebagai suku Aus dan Khazraj, dikenal sejarah sebagai kaum Arab yang pemberani dalam hal pertempuran. Cepat dalam melakukan penetrasi pertempuran, dan pantang mundur, itulah ciri khas mereka. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr. Al-Amin Muhammad, dosen sejarah di fakultas Dakwah, Universitas Islam Madinah. Suku Aus dan Khazraj memiliki keberanian yang jarang dimiliki oleh kabilah-kabilah Arab pada umumnya. Bahkan tersebut dalam sebuah riwayat: jika mereka hendak berduel dengan musuhnya, mereka terlebih dahulu mengajak musuhnya untuk masuk ke suatu tempat kemudian menguncinya. Di situlah mereka akan bertanding hingga titik darah penghabisan. Sungguh luar biasa! Maka tidak salah, apabila suku Aus dan Khazraj mendapat kehormatan dari Allah, sebagai Anshor Rosulullah (penolong Rasulullah).

Sebelum menjalankan taktik ini, Nabi shallallahu alaihi wa sallam terlebih dahulu bermusyawarah dengan Sa’d bin Muadz dan Sa’d bin Ubadah. “Wahai Rasulullah, jika apa yang kau putuskan itu perintah dari Allah, maka kami akan patuh dan taat”, begitu jawaban keduanya. Lalu melanjutkan, “Namun, jika itu merupakan sesuatu yang engkau lakukan untuk kepentingan (meringankan beban) kami, kami tidak membutuhkannya. Sebab (ketika) kami dan mereka dulu masih dalam (keadaan) musyrik dan menyembah patung, mereka tidak tergiur oleh buah-buahan kami, kecuali apa yang dihidangkan dan lewat jual-beli. Maka ketika Allah memuliakan kami dengan Islam dan memberi kami petunjuk kepadanya, lalu kami dimuliakan dengan kebersamaanmu, relakah kami memberikan harta kami kepada mereka? Demi Allah, kami tidak akan memberikan kepada mereka kecuali pedang!” Dan akhirnya Rasulullahpun sependapat dengan keduanya. Lantas beliaupun berujar, “Aku melakukan itu untuk kepentingan kalian. Karena aku melihat bangsa Arab telah bersatu untuk menyerang kalian” (Al-Mubarakfuri, 2005).

Pertolongan Yang Ditunggu-Tunggu Akhirnya Tiba
Di tengah pengepungan yang masih berlangsung, tanpa ada kepastian sampai kapan keadaan yang menyesakkan dada kaum Muslimin ini akan terjadi. Tiba-tiba seorang laki-laki dari suku Ghathafan yang bernama Nu’aim bin Mas’ud al-Asyja’i datang menghadap Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya telah masuk Islam. Sedangkan kaumku tidak mengetahui akan keislamanku. Maka perintahkanlah apa saja yang harus saya lakukan.” Nabipun menukas, “Engkau ini hanya seorang diri. Berbuatlah semampumu agar suku Ghatafan itu tidak menolong kaum Quraisy. Karena perang itu adalah tipu daya.” Saat itu juga, ia pergi menuju Bani Quraizhah –karena masih ada tali kekerabatan antara dirinya dengan mereka pada masa Jahiliyah dulu- dengan misi memecah belah kekuatan pasukan musyrikin. “Kalian tahu akan kecintaanku kepada kalian, khususnya antara sukuku dengan suku kalian,” ujar Nu’aim mencoba meyakinkan Bani Quraizhah. Spontan merekapun menjawab, “Engkau benar!” Lalu Nu’aim melanjutkan, “Sesungguhnya orang-orang Quraisy itu tidak sama dengan kalian. Negeri ini adalah negeri kalian. Di sinilah tempat harta, anak, dan istri kalian tinggal. Di mana kalian tidak bisa berpindah darinya ke daerah yang lainnya. Kaum Quraisy dan Ghathafan itu datang kemari untuk menyerang Muhammad dan pengikutnya. Sedangkan kalian telah membantu Quraisy dan Ghatafan untuk menyerangnya. Padahal negeri, harta, dan istri mereka tidak bersama mereka. Maka jika mereka mendapatkan kesempatan untuk mewujudkan cita-cita yang mereka inginkan, mereka akan memanfaatkannya. Namun, jika tidak, mereka akan pulang ke negeri mereka dan meninggalkan Muhammad dan kalian. Sehingga Muhammad bisa membalas perbuatan kalian atasnya.” Tanpa disadari, akhirnya suku Quraizhah itu termakan umpan yang dilempar oleh Nu’aim kepada mereka, yang tidak lain adalah sebuah tipuan perang. Serta merta mereka pun menjawab, “Apa yang harus kami perbuat wahai Nu’aim?” Nu’aim pun menjawab, “Janganlah berperang bersama mereka sebelum mereka memberikan jaminan kepada kalian.” “Pendapatmu sungguh benar,” sahut mereka.

Sukses mengecoh Bani Quraizhah, selanjutnya Nu’aim berangkat menemui orang-orang Quraisy guna melancarkan aksi tipu dayanya. Ia terlebih dahulu meyakinkan suku Quraisy sebagaimana  yang ia lakukan sebelumnya. “Bukankah kalian tahu betapa sayang dan tulusnya saranku kepada kalian?” kata Nu’aim membuka perbincangannya. Lalu dijawab oleh orang-orang Quraisy, “Tentu.” Kemudian ia melanjutkan, “Sesungguhnya orang-orang Yahudi itu merasa menyesal atas pengkhianatan mereka terhadap Muhammad dan shahabatnya. Dan mereka telah berulang kali mengabarkan kepada Muhammad, bahwasanya mereka akan menerima harta jaminan dari kalian, yang akan mereka bayarkan kepada Muhammad. Lalu setelah itu, mereka akan kembali loyal kepadanya untuk menyerang kalian. Maka jika mereka (orang-orang Yahudi) meminta jaminan itu, janganlah kalian berikan kepada mereka.” Kemudian dia pergi ke Bani Ghathafan, dan dia mengatakan hal yang sama kepada mereka.

Pada malam sabtu bulan Syawal tahun kelima hijriyah, orang-orang Quraisy yang telah termakan umpan tanpa sadar itu mengirim utusan kepada orang-orang Yahudi. Utusan itu berkata, “Kami tidak bisa lagi diam berlama-lama di sini. Kaki dan sepatu kami telah rusak. Segeralah bergabung bersama kami sehingga kita bisa menghabisi Muhammad.” Lalu orang-orang Yahudi itupun mengirim utusan untuk menyampaikan pesan balasan kepada Quraisy, “Bahwa hari ini adalah hari sabtu. Dan kalian sudah mengetahui apa yang menimpa orang-orang sebelum kami ketika mereka melanggar larangan di hari sabtu. Disamping itu, kami tidak akan berperang bersama kalian, kecuali jika kalian mengirim harta jaminan kepada kami.”

Ketika utusan itu datang dengan membawa berita itu, orang-orang Quraisy dan Ghathafan berkata, “Demi Allah, (ternyata) Nu’aim benar.” Lalu mereka balik mengirim utusan kepada orang-orang Yahudi untuk menyampaikan pesan, “Demi Allah, kami tidak akan mengirim apapun kepada kalian. Keluarlah bersama kami sehingga kita bisa menyerang Muhammad.” Mendengar hal itu, Bani Quraizhahpun berkata, “Demi Allah, (ternyata) Nu’aim benar.” Siasat propaganda yang dijalankan Nu’aim sukses besar. Akibatnya, kedua kelompok itu akhirnya saling acuh tak acuh. Perpecahan pun terjadi di antara barisan mereka, yang berimbas pada melemahnya semangat juang mereka.

Sementara itu, kaum Muslimin tak henti-hentinya memanjatkan doa kepada Allah, “Ya Allah, tutupilah kelemahan kami dan berilah kami rasa aman.” Rasulullah juga turut berdoa untuk kehancuran pasukan gabungan itu. Beliau berdoa, “Ya Allah yang menurunkan kitab, yang cepat perhitungan-Nya, hancurkanlah pasukan sekutu itu. Ya Allah hancurkan dan cerai-beraikan mereka.”

Allah Maha Mendengar, tidak menyia-nyiakan doa kekasih-Nya dan kaum Muslimin. Tidak berapa lama setelah terjadi perpecahan di dalam barisan kaum Musyrikin, serta semangat untuk saling mengkhianati mewarnai mereka, Allah mengirimkan kepada mereka pasukan-Nya yang berupa angin kencang. Angin itu menghancurkan mereka. Sampai-sampai tidak tersisa satu tempatpun kecuali diterbangkannya. Bahkan tali-tali kemah mereka juga ikut terlepas karena kuatnya angin yang berhembus. Akibatnya, mereka tidak merasa tenang lagi, maka rasa takut dan cemas pun menghinggapi hati mereka (Al-Mubarakfuri, 2005).

Misi Intelijen Hudzaifah Bin Yaman
Dalam hal ini, pihak yang kalah adalah kelompok yang terlebih dahulu meninggalkan arena pertempuran. Sedangkan pemenangnya adalah kelompok yang tetap teguh dalam posisinya. Dalam posisi seperti ini, informasi intelijen tentang kondisi pihak lawan, baik itu fisik maupun mental, hingga manuver apa yang akan dilakukannya selanjutnya, sangatlah dibutuhkan, guna memutuskan, langkah apa yang selanjutnya akan di ambil. Berkaitan dengan itu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sebagai panglima perang pasukan Muslimin, mau tidak mau harus mengirim seorang shahabat terbaiknya untuk memata-matai pergerakan pasukan koalisi. Lalu siapakah gerangan orang yang mampu melakukan misi berbahaya ini?

Rasulullah bertanya kepada para shahabatnya, “Adakah salah seorang di antara kalian yang berani melihat kondisi musuh sekarang? Semoga Allah mengumpulkannya denganku pada hari kiamat kelak.” Ditanyai seperti itu, para shahabatnya terdiam tak seorangpun yang menjawabnya. Lalu beliau ulangi lagi pertanyaannya itu hingga tiga kali. Namun, tetap saja tak ada yang menjawab. Akhirnya Rasulullah memanggil seorang dari mereka untuk menjalankan misi berbahaya ini. “Berdirilah wahai Hudzaifah, informasikan kepada kami kondisi musuh (saat ini)”, begitu perintahnya kepada Hudzaifah bin al-Yaman. Kelak, si Hudzaifah ini dikenang dalam sejarah sebagai seorang intel tangguh di era Islam. Begitu mendapat perintah, segera si Hudzaifah bangkit dan berjalan mencoba menyusup masuk ke kamp musuh. Namun, sebelum ia menjalankan tugas, Rasulullah berpesan agar ia tidak berbuat apapun yang dapat mengejutkan pasukan musuh. Karena misi Hudzaifah hanyalah memata-matai, tidak lebih.

Lalu Hudzaifah pun berjalan dengan ekstra hati-hati menuju kamp musuh. Ia diuntungkan oleh gelapnya malam, sehingga musuh tidak mengenalinya. Pun ketika ia memasuki kamp musuh, tak seorangpun dari mereka yang menaruh curiga terhadapnya. Hudzaifah berjalan seakan-akan ia salah seorang dari pasukan musuh. Betul-betul rapi dan tidak membuat orang curiga. Akhirnya, ia mendapati posisi Abu Sufyan, salah seorang tokoh pasukan musuh, sedang menghangatkan badannya di dekat api unggun. Melihat hal itu, spontan Hudzaifah tidak menyia-nyiakan kesempatan emas untuk membunuhnya. Ia letakkan anak panahnya di busurnya dan hendak membunuhnya dengan sebuah lesatan panah saja. Tetapi, buru-buru niat itu ia urungkan, setelah teringat pesan Rasulullah kepadanya itu. Di lain pihak, ternyata Abu Sufyan nampaknya hendak memberikan suatu briefing penting kepada pasukannya. Namun, untuk berjaga-jaga agar jangan sampai ada mata-mata yang mengawasinya, ia mengeluarkan sebuah instruksi cerdik yang tidak diduga sebelumnya oleh Hudzaifah, “Wahai kaum Quraisy, hendaklah setiap orang dari kalian saling mengecek siapa gerangan orang yang ada didekatnya!” Mendengar hal itu, Hudzaifah tidak kalah pintar, secara spontan ia pegang tangan orang yang ada di dekatnya seraya bertanya, “Siapa engkau?” Karena kaget, orang disampingnya itu langsung menjawab, “Fulan bin fulan!” Dengan demikian, amanlah posisi Hudzaifah. Tak seorangpun yang mengecek identitas aslinya, karena ia yang terlebih dahulu bertanya sebelum sempat di tanya. Setelah dirasa cukup aman, Abu Sufyan berkata bahwa ia sudah tidak kuat lagi bertahan, dan akan kembali ke Mekah saja. Diantara salah satu perkataannya, “(…) Sungguh, onta-onta kita telah binasa, dan Bani Quraizhahpun telah meninggalkan kita. Ditambah lagi angin kencang yang menghantam kita seperti yang kalian lihat sendiri. Maka sekarang kembalilah (ke Mekah), karena aku akan pergi sekarang!” Selesai berkata seperti itu, Abu Sufyan segera menuju ontanya dan melepaskan ikatannya, lalu duduk di atasnya. Kemudian ia memecut ontanya dan berjalan pulang menuju Mekah.

Hudzaifah pun segera bangkit kembali menuju markas kaum Muslimin di Madinah untuk menyambaikan berita ini kepada Rasulullah. Sebagaimana yang ia lakukan ketika masuk, kali inipun ia tetap tenang dan hati-hati agar tidak menimbulkan kecurigaan pada diri orang-orang Musyrikin itu. Begitu mendengar kabar ini, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sangat gembira dan senang. Kemudian beliau mengucapkan puji dan syukur ke Hadirat Allah atas kabar gembira ini. Dengan kembalinya Abu Sufyan beserta pasukannya itu, berarti selesai sudah penderitaan berat kaum Muslimin dalam menghadapi pasukan gabungan ini (periksa: Ra’fat Basya, 2007; Rizkullah, 2003).

PR Terakhir Kaum Muslimin
Kembalinya Abu Sufyan beserta pasukannya ke Mekah, bukan berarti kaum Muslimin bisa beristirahat dengan tenang dan tidur nyenyak setelah itu. Masih ada satu PR lagi yang harus diselesaikan. Pada hari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pulang ke Madinah, Malaikat Jibril mendatanginya, yaitu ketika beliau sedang mandi di rumah Ummu Salamah pada waktu Dhuhur. Jibril bertanya, “Apakah kamu telah meletakkan senjata? Sungguh, para malaikat belum meletakkan senjata mereka. Kepulanganmu ini tidak lain kecuali untuk mengejar musuh. Pergilah beserta para shahabatmu menuju Bani Quraizhah. Aku juga ingin turut serta di hadapanmu untuk menggoncangkan benteng pertahanan Bani Quraizhah itu, dan memasukkan rasa takut ke hati mereka.” Selanjutnya, Jibril pun berangkat bersama pasukan malaikat (Al-Mubarakfuri, 2005).

Maka, berangkatlah Rasulullah bersama tiga ribu prajurit untuk memberi pelajaran kepada Bani Quraizhah yang telah mengkhianati perjanjian dan turut membantu pihak musuh dalam memerangi kaum Muslimin. Sesampainya di benteng, beliau dan pasukannya segera mengepungnya, sehingga membuat para penduduk Bani Quraizhah merasa ketakutan yang luar biasa. Menghadapi serbuan kaum Muslimin, tak ada yang bisa diperbuat oleh Bani Quraizhah itu melainkan bertahan di balik benteng mereka itu. Kaum Muslimin terus mengepung mereka hingga dua puluh lima hari lamanya (Khudhori bek, 2000). Setelah sekian hari lamanya bertahan di benteng itu, kondisi mental Bani Quraizhah semakin runtuh, dan ketakutan makin menyusup ke dalam dada mereka. Puncak dari keruntuhan mental mereka itu adalah manakala Ali bin Abi Thalib dan Zubair bin Awwam maju ke hadapan. Lantas si Ali berteriak lantang, “Wahai pasukan Iman, demi Allah, aku akan merasakan apa yang dirasakan oleh Hamzah, atau aku membuka benteng ini!” Seketika itu juga mereka menyerah.

Selanjutnya, Rasulullah memerintahkan untuk menangkapi seluruh kaum laki-laki dan memborgol tangan mereka, serta menawan anak-anak dan wanita. Sebagai balasan setimpal atas pengkhianatan keji mereka itu, digalilah parit-parit di pasar Madinah, kemudian dipenggallah kepala mereka di parit itu secara bergiliran. Sebuah hukuman yang sangat adil dan pantas, mengingat pengkhianatan Bani Quraizhah. Disamping itu, Bani Quraizhah juga mengumpulkan sekitar seribu lima ratus pedang, dua ribu tombak, tiga ratus baju besi, tiga ratus perisai dan topi perang, guna memerangi kaum Muslimin (Al-Mubarakfuri, 2005).

Tidak berselang lama setelah perang ini, seorang shahabat Rasulullah, Sa’d bin Mu’adz, akhirnya menghirup nafas terakhirnya, setelah menderita luka serius di badannya akibat terkena serangan musuh, ketika turut mempertahankan kota Madinah dari serangan pasukan koalisi. Rasulullah mengabarkan, “Arsy Allah yang Maha Penyayang bergetar karena kematian Sa’d bi Mu’adz.” Ketika jenazah Sa’d diusung, orang-orang munafik berkata, “Alangkah ringannya jenazah Sa’d ini”. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berujar, “Sesungguhnya para malaikat juga turut membawanya”.

Penyerangan terhadap Bani Quraizhah terjadi pada bulan Dzulqa’dah tahun kelima Hijriyah. Pengepungan itu berlangsung selama dua puluh lima malam. Tidak jauh berbeda dengan perang Khandaq yang terjadi di tahun yang sama, yaitu pada bulan Syawwal. Sementara itu, pasukan musuh mengepung Rasulullah dan kaum Muslimin selama sebulan atau kurang beberapa hari. Pengepungan itu dimulai dari bulan Syawwal hingga bulan Dzulqo’dah.

Berkaitan dengan semua hal di atas, perang Khandaq bukanlah pertempuran yang mengakibatkan kerugian besar di kedua belah pihak, melainkan perang urat saraf semata. Di mana tak ada pertempuran sengit sama sekali. Namun, perang Khandaq merupakan pertempuran yang sangat menentukan sepanjang sejarah Islam, yang melahirkan perpecahan di barisan kaum Musyrikin. Dari situ bisa diambil kesimpulan bahwa kekuatan apapun yang berkembang di Arab dewasa itu tidak akan mampu memusnahkan kekuatan kecil yang sedang tumbuh di Madinah. Karena bangsa Arab itu tidak akan mampu mendatangkan pasukan yang lebih kuat dari apa yang mereka datangkan pada saat pertempuran Khandaq. Oleh sebab itu, ketika Allah mengusir pasukan sekutu itu, Rasulullah  berkata, “Sekarang giliran kita yang menyerang mereka, bukan mereka yang menyerang kita, dan kita yang akan mendatangi mereka” (Al-Mubarakfuri, 2005). Selesai!

PUSTAKA RUJUKAN

  1. Suryohadiprojo, Sayidiman. 2008. Pengantar Ilmu Perang. Jakarta: Pustaka Intermasa.
  2. Al-Mubarakfuri, Shafiyyurrahman. 2005. Ar-Rachiq al-Makhtum. Riyadh: Dar Al-Minhaj.
  3. Pasya, Abdurrahman Raf’at. 2007. Shuwar min hayatis shohabah. Cairo: Islamic Literatur House.
  4. Ibnu Hisyam, Abu Muhammad Abdulmalik. 2007. Siroh Ibnu Hisyam. Beirut: Dar Al-Ma’rifah.
  5. Al-Umari, Akrom Dhiya’. 2009. As-Siroh an-Nabawiyyah as-Shohihah. Riyadh: Maktabah Obekan.
  6. Ahmad, Mahdi Rizqullah. 1424 H. As-Siroh an-Nabawiyyah. Riyadh: Dar Imam ad-Dakwah.
  7. Al-Masyath, Hasan bin Muhammad. 2006. Inaroh Duja fi Maghoozi Khoiril Waro. Jeddah: Dar al-Minhaj.