Saat Harus Berbicara
February 26, 2011Kejahatan Calon-Calon Da’i
March 6, 2011Pendidikan Pesantren Dalam Konteks Peradaban : Analisis Nilai Dan Unsur Pesantren
Oleh : Ustadz Yayat Hidayat
Sejak lama pemerintah Indonesia telah memiliki perhatian yang khusus kepada pesantren. Hal ini setidaknya dibuktikan dengan pengakuan pemerintah terhadap pesantren sebagai salah satu sumber pembangunan nasional. Namun dalam konteks masa lalu pesantren dan pemerintah masih terlihat hubungan dualisme yang ambivalen.
Seiring dengan pergeseran ruang dan waktu, dalam beberapa kurun terakhir perhatian pemerintah terhadap pesantren terlihat semakin serius, dan hubungan keduanya semakin sinergis, bahkan strategis. Melalui Departemen Agama, misalnya, pemerintah terus berupaya mensinergiskan pendidikan pesantren dengan pendidikan umum dalam semua aspeknya. Demikian juga melalui Departemen Kesehatan, Pemerintah terlihat semakin memperhatikan kiprah pesantren dalam bidang kesehatan, dengan program Puskestren-nya.
Dalam kaitannya dengan pemberdayaan ekonomi pesantren, melalui Kementrian Koperasi, usaha kecil dan menengah, pemerintah berupaya menggerakkan potensi ekonomi pesantren. Dukungan modal, dana bergulir, program pembinaan dan pelatihan serta bantuan sarana dan prasarana pemberdayaan ekonomi pesantren melalui wadah Kopentren, merupakan bukti kongkrit perhatian pemerintah terhadap pengembangan potensi perekonomian pesantren.
Beberapa tawaran penting dari pemerintah terhadap pesantren merupakan peluang yang harus ditangkap oleh pesantren dengan sikap professional. Oleh karena itu, pesantren dituntut memiliki kesiapan lahir batin agar peluang yang ada dapat dijadikan kekuatan dan tidak berbalik arah menjadi hambatan atau bahkan menjadi ancaman bagi eksistensi pesantren, baik secara institusi maupun terhadap individu-individu yang ada di dalamnya. Untuk itu, pesantren harus belajar dari sejarah dan pengalaman masa lalu, baik pengalaman pribadi maupun pengalaman orang lain.
Eksistensi pesantren tidak dapat dilepaskan dari pandangan atau animo masyarakat terhadap pesantren. Dalam kaitannya dengan “Pendidikan dalam Teologi Pesantren” setidaknya terdapat beberapa hal yang perlu digaris bawahi, di antaranya adalah;
Pertama, sebagian masyarakat saat ini masih menganggap bahwa pesantren adalah tempat berkumpulnya orang-orang yang berpikiran (berpendidikan) kolot, kotor dan tidak siap menerima perubahan dalam semua tataran kehidupan maupun keilmuan.
Kedua, sebagian besar masyarakat saat ini memandang bahwa pesantren merupakan institusi pendidikan eksklusif yang hanya berorientasi pada kehidupan akhirat. Para santri hanya dibina dan untuk menjadi individu yang saleh secara vertical-trancendental. Padahal secara empiris masyarakat menyaksikan bahwa dalam kehidupan ini tidak ada korelasi yang signifikan antara kesalehan seseorang (suatu Bangsa) dengan kesejahteraan masyarakatnya.
Ketiga, beberapa kasus bom bunuh diri yang terjadi di wilayah Indonesia, tidak sedikit masyarakat yang beranggapan bahwa santri dan lingkungan pondok pesantren identik dengan sarang (pendidikan) teroris, sebuah kesimpulan yang hanya berdasarkan generalisasi, yang tidak sepenuhnya benar.
Keempat, dalam tataran praktik muamalah termasuk di dalamnya masalah pendidikan perekonomian masyarakat pesantren diposisikan sebagai komunitas yang tidak dapat diajak professional. Banyaknya kasus penyelewengan dana KUT oleh beberapa oknum pesantren, tidak adanya pembedaan keuangan pribadi dan institusi, dan perilaku lainnya. Seperti sulit menghargai waktu, menjadikan masyarakat umum memandang komunitas pesantren sebagai masyarakat yang tidak professional.
Diakui atau tidak, kondisi di atas telah menjadi animo yang diyakini kebenarannya oleh sebagian masyarakat. Oleh karena itu, seiring dengan munculnya berbagai peluang bagi pesantren, termasuk peluang dalam hal pengembangan institusi pendidikan (tradisi pengembangan keilmuan pesantren) dan pengembangan perekonomian pesantren, komunitas pesantren dituntut untuk bisa bersaing dan memiliki kesadaran untuk segera melakukan persiapan secara utuh baik lahir maupun batin. Dengan kesadaran ini, diharapkan pesantren bukan saja dapat meminimalisir animo miring masyarakat umum terhadap pesantren, akan tetapi juga dapat ikut ambil bagian strategis dalam proses pembangunan Nasional, khususnya melalui pembangunan pendidikan tradisi keilmuan yang dimiliki pesantren dan peran strategis pembangunan ekonomi masyarakat, melalui wadah kopontren dan UKM.
Pondok pesantren pada awal perkembangan merupakan Lembaga Pendidikan Indegenous dan penyebaran agama Islam di Indonesia tumbuh dari dalam dan untuk masyarakat (Nurkholis Madjid, 1997: 3). Pada abad ke- 16 M pesantren sebagai Lembaga Pendidikan rakyat terasa sangat berbobot terutama dalam bidang penyiaran agama Islam. Selanjutnya kehadiran Pesantren adalah sebagai pemenang dari persaingan “nilai” dengan “nilai” yang dianut oleh masyarakat sebelumnya, sehingga Pesantren dapat diterima sebagai panutan masyarakat, khususnya di bidang moral.
Pesantren telah berkembang untuk melayani berbagai kebutuhan masyarakat. Kehadiran pesantren di samping melayani kebutuhan pendidikan ketika masyarakat cinta terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan ketika Lembaga pendidikan modern belum mampu menembus ke pelosok-pelosok desa, pesantren juga melayani kebutuhan kesehatan masyarakat ketika pengobatan modern belum mampu menyentuh wilayah pedesaan sebagai bentuk kesalehan sosial. Lebih dari itu pesantren telah dapat menjadi simbol yang menghubungkan dunia pedesaan dengan dunia luas ketika penetrasi birokrasi dan kemudian media massa ke daerah pedesaan belum terlalu dalam. Bahkan pesantren telah menjadi simbol kekuatan sosial politik tandingan ketika partai politik modern belum menyentuh pedesaan (M. Dawam Raharjo, 1985 : 290).
Perkembangan pesantren seperti telah dipaparkan diatas, yang menurut M.A. Fattah Santoso dalam tulisannya yang berjudul “Pengembangan Masyarakat Melalui Pesantren : Mencari Akar Teologis“, Pesantren memberikan indikasi adanya daya suai dan daya tahan tertentu dalam diri pesantren terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Persoalan yang muncul di kalangan pengamat pesantren pada parohan kedua dasawarsa 1970-an adalah : Apakah daya tahan dan daya suai pesantren yang secara historis ada itu dapat dijadikan pangkal titik tolak untuk mengantisipasi pembangunan yang telah dijalani bangsa Indonesia? Pembangunan memerlukan dukungan dari pesantren karena pesantren yang kebanyakan berbasis di pedesaan dan diperkirakan pengaruhnya berakar di masyarakat itu yang dihadapkan pada masalah keterbelakangan mayoritas rakyat Indonesia di pedesaan akibat polarisasi ekonomi yang belum tuntas terpecahkan selama dua dasawarsa terakhir sejak pemerintahan orde baru mencanangkan program pembangunan nasional (Sudirman Tebba, tt : I). Walaupun paradigma pertumbuhan yang pada mulanya menjadi acuan pembangunan nasional telah dikoreksi dengan paradigma pemerataan sejak awal pelita III “ pembangunan lima tahun tahap III “ (Moelyanto Tjokrowinoto, 1986: 109). Dan keterbelakangan mayoritas rakyat, bagaimanapun menyebabkan potensi-potensi mereka tidak berkembang.
Atas dasar kesadaran akan kenyataan mayoritas rakyat yang belum menggembirakan itu, dan dalam rangka mengaktualisasikan daya tahan dan daya suai terhadap perkembangan masyarakat, beberapa pesantren pada akhir dasawarsa 1970-an dan awal dasawarsa 1980-an telah merintis program-program pengembangan masyarakat melalui bantuan dari dan kerja sama dengan Lembaga-Lembaga diluar pesantren, seperti Lembaga Penelitian, LP3ES, DEPAG, BKKBN, dan Organisasi-Organisasi non kepemerintahan yang lain, baik dari dalam maupun luar negeri.
Yang menarik dari program-program pengembangan masyarakat itu adalah orientasinya kepada pemecahan masalah, yaitu membantu masyarakat mengatasi persoalan mereka sendiri. Dengan demikian, masyarakat dihormati hak-hak keterampilan, dan aspirasi mereka dalam mengatasi berbagai persoalan mereka. Sehingga seluruh proses kegiatan merupakan proses pendidikan bagi masyarakat. Di bidang ekonomi misalnya, kepada masyarakat tidak hanya diajarkan tentang teori jual beli dalam setiap kajian tapi ada bentuk konkrit kerja salah satunya adanya Usaha Bersama Simpan Pinjam (UBSP) sebagai wahana pendidikan ekonomi, yaitu : bagaimana menghimpun modal bersama, menyediakan bahan baku, meningkatkan produksi, melakukan pemasaran, sampai bagaimana memanfaatkan waktu luang untuk kegiatan ekonomi .
Pro dan kontra terhadap program pengembangan masyarakat melalui pesantren mengimplisitkan kebaruan program tersebut bagi dunia pesantren, padahal pesantren sebagai Lembaga sosial keagamaan memiliki juga program-program sosialnya, seperti memberikan layanan medis tradisional dan layanan konsultatif tentang persoalan kehidupan sehari-hari (Mansour Faqih, 1987 : 5). Adakah perbedaan program sosial yang konvensional dan program pengembangan masyarakat? menurut pengamatan Mansour Faqih, seorang aktivitis (pada dasawarsa 1980-an) dari Lembaga P3M yang mengkoordinasikan jaringan kerja antara pesantren-pesantren yang melaksanakan program pengembangan masyarakat, terdapat perbedaan yang mendasar antara keduanya baik dalam basis filosofis dan motivasinya maupun dalam pendekatan dan teknik-teknik operasionalnya. Dengan di perolehnya informasi tentang perbedaan mendasar program pengembangan masyarakat dari program sosial konvensional pesantren, diajukan pertanyaan sebagai berikut :
Mengapa pengembangan masyarakat melalui pendidikan pesantren menjadi sebuah kebutuhan nyata dalam dunia pesantren terutama Indonesia atau lebih rincinya bagaimana gagasan konseptualisasi, sosialisasi, dan aktualisasi pengembangan masyarakat melalui pendidikan pesantren. Masalah-masalah diatas itulah yang ingin dicari jawabannya melalui tulisan ini.
Suatu hal yang tidak terlepas dalam wacana pendidikan di Indonesia adalah Pondok Pesantren. Ia adalah model sistem pendidikan pertama dan tertua di Indonesia. Keberadaannya mengilhami model dan sistem-sistem yang ditemukan saat ini. Ia bahkan tidak lapuk dimakan zaman dengan segala perubahannya. Karenanya banyak pakar, baik lokal maupun internasional melirik Pondok Pesantren sebagai bahan kajian. Tidak jarang beberapa tesis dan disertasi menulis tentang lembaga pendidikan Islam tertua ini.
Sungguh menarik apa yang disampaikan oleh Muhammad Jamhuri Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Asy-Syukriyyah-Tangerang; banyak para pakar dalam mengkaji lembaga ini adalah karena “modelnya”. Sifat keislaman dan keindonesiaan yang terintegrasi dalam pesantren menjadi daya tariknya. Belum lagi kesederhanaan, sistem dan manhaj yang terkesan apa adanya, hubungan kyai dan santri serta keadaan fisik yang serba sederhana. Walau di tengah suasana yang demikian, yang menjadi magnet terbesar adalah peran dan kiprahnya bagi masyarakat, negara dan umat manusia yang tidak bisa dianggap sepele atau dilihat sebelah mata. Sejarah membuktikan besarnya konstribusi yang pernah dipersembahkan lembaga yang satu ini, baik di masa pra kolonial, kolonial dan pasca kolonial, bahkan di masa kini pun peran itu masih tetap dirasakan.
Di tengah gagalnya sebagian sistem pendidikan dewasa ini, ada baiknya kita menyimak kembali sistem pendidikan pesantren. Keintegrasian antara ilmu etika dan pengetahuan yang pernah dicanangkan pesantren perlu mendapat perhatian, sehingga -paling tidak- mengurangi apa yang menjadi trendi di tengah-tengah pelajar dan pemuda kita yaitu kepincangan pola pikir.
Bentuk, sistem dan metode pesantren di Indonesia dapat dibagi kepada dua periodisasi; Periode Ampel (salaf) yang mencerminkan kesederhanaan secara komprehensif. Kedua, periode Gontor yang mencerminkan kemodernan dalam sistem, metode dan fisik bangunan. Periodisasi ini tidak menafikan adanya pesantren sebelum munculnya Ampel dan Gontor. Sebelum Ampel muncul, telah berdiri pesantren yang dibina oleh Syaikh Maulana Malik Ibrahim. Demikian juga halnya dengan Gontor, sebelumnya telah ada –yang justru menjadi cikal bakal Gontor- pesantren Tawalib, Sumatera. Pembagian di atas didasarkan pada besarnya pengaruh kedua aliran dalam sejarah kepesantrenan di Indonesia.
Sifat kemodernan Gontor tidak hanya terletak pada bentuk penyampaian materi yang menyerupai sistem sekolah atau perkuliahan di perguruan tinggi, tapi juga pada gaya hidup. Hal ini tercermin dari pakaian santri dan gurunya yang mengenakan celana dan dasi. Berbeda dengan aliran Ampel yang sarungan dan sorogan. Hal ini bisa dimaklumi, mengingat para Kyai salaf menekankan perasaan anti kolonial pada setiap santri dan masyarakat, hingga timbul fatwa bahwa memakai celana dan dasi hukumnya haram berdasarkan sebuah hadist yang berbunyi: “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum (golongan), maka dia termasuk golongan itu”.
Dalam hal ini, Gontor telah berani melangkah maju menuju perubahan yang saat itu masih dianggap tabu. Namun demikian bukan tidak beralasan. Penggunaan dasi dan celana yang diterapkan Gontor adalah untuk mendobrak mitos bahwa santri selalu terbelakang dan ketinggalan zaman. Prinsip ini tercermin dengan masuknya materi bahasa inggris menjadi pelajaran utama setelah bahasa Arab dan agama, dengan tujuan agar santri dapat mengikuti perkembangan zaman dan mampu mewarnai masyarakat dengan segala perubahannya.
Beberapa reformasi dalam sistem pendidikan pesantren yang dilakukan Gontor antara lain dapat disimpulkan pada beberapa hal. Di antaranya: tidak bermazdhab, penerapan organisasi, sistem kepimimpinan sang Kyai yang tidak mengenal sistem waris dan keturunan, memasukkan materi umum dan bahasa Inggris, tidak mengenal bahasa daerah, penggunaan bahasa Arab dan Inggris sebagai bahasa pengantar dan percakapan, olah raga dengan segala cabangnya dan lain-lain. Oleh karena itu Gontor mempunyai empat prinsip, yaitu: berbudi tinggi, berbadan sehat, berpikiran bebas dan berpengetahuan luas.
Langkah-langkah reformasi yang dilakukan Gontor pada gilirannya melahirkan alumni-alumni yang dapat diandalkan, terbukti dengan duduknya para alumni Gontor di berbagai bidang, baik di instansi pemerintah maupun swasta. Bila mazdhab Ampel telah melahirkan para ulama, pejuang kemerdekaan dan mereka yang memenuhi kebutuhan lokal, maka Gontor telah memenuhi kebutuhan di segala sendi kehidupan di negeri ini. Atas dasar itu pula penulis membagi sejarah sistem pendidikan pesantren kepada dua fase; fase Ampel dan fase Gontor.
Satu persamaan yang dimiliki dua madzhab ini adalah bahwa kedua-duanya tidak mengeluarkan ijazah negeri kepada alumninya, dengan keyakinan bahwa pengakuan masyarakatlah sebagai ijazahnya.
Langkah reformasi di atas tidak berarti Gontor lebih unggul di segala bidang, terbukti kemampuan membaca kitab kuning (turost) masih dikuasai alumni mazdhab Ampel dibanding alumni mazhab Gontor.
Pemerintah melalui Departemen Agama telah mengeluarkan kebijaksanaannya dalam pendidikan, yaitu dengan SK Menag tentang penyelenggaraan pendidikan agama. Maka berdirilah MI, Mts, Madrasah Aliyah dan IAIN dengan tujuan mencetak ulama yang dapat menjawab tantangan zaman dan memberi kesempatan kepada warga Indonesia yang mayoritas muslim mendalami ilmu agama. Ijazah pun telah disetarakan dengan pendidikan umum sesuai dengan SK bersama tiga menteri (Menag, Mendikbud, Mendagri). Dengan demikian lulusan madrasah disetarakan dengan lulusan sekolah umum negeri.
Namun demikian, setelah berjalannya proses kebijakan tersebut, terbukti masih terdapat kelemahan-kelemahan, baik mutu pengajar, alumni (siswa) dan materinya, sehingga cita-cita mencetak ulama yang handal kandas di tengah jalan. Hal ini terbukti masih dominannya lulusan pesantren dalam soal keagamaan. Bahkan lulusan madrasah dapat dikatakan serba tanggung, menjadi seorang profesional pun tidak, ulama pun tidak, Tidak heran bila banyak suara sumbang dan kritikan tajam bahwa SK bersama tiga menteri di atas hanya sebuah upaya pengikisan Islam dan keilmuannya melalui jalur pendidikan. Sehingga pada waktunya nanti Indonesia akan mengalami kelangkaan ulama. Ini terbukti dengan menjauhnya masyarakat dari madrasah. Mereka lebih bangga menyekolahkan anak-anaknya di sekolah-sekolah umum. Alasannya sederhana, lulusan madrasah sulit mencari pekerjaan dibanding lulusan sekolah umum, walaupun pendapat ini tidak seluruhnya benar, tapi demikianlah yang kini berkembang di masyarakat.
Lebih ironi lagi, pemerintah melarang alumni pondok pesantren non kurikulum pemerintah untuk masuk IAIN. Alasannya karena mereka tidak memiliki ijazah negeri atau karena ijazah pesantrennya tidak disetarakan dengan ijazah negeri. Akibatnya IAIN hanya diisi oleh lulusan-lulusan madrasah dan sekolah umum yang note bone mutu pendidikan agamanya sangat minim. Padahal di tengah-tengah suasana globalisasi dan keterbukaan , kwalitaslah yang menjadi acuan, bukan formalitas.
Fenomena di atas membuat beberapa pesantren mengadakan ujian persamaan negara dan mengadopsi kurikulum pemerintah. Dan tentu saja segala konsekwensi yang telah disebut di atas akan terjadi. Di samping karena hal itu menjadi tuntutan masyarakat.
Beberapa studi empiris tentang pendidikan Islam di Indonesia menyimpulkan masih terdapatnya beberapa kelemahan. Karena itu kini banyak ditemukan beberapa lembaga pendidikan alternatif yang mengakomodir berbagai tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Sekolah-sekolah unggulan, SMP Plus, SMU Terpadu yang kini banyak berdiri merupakan respon dari fenomena di atas. Tidak jarang kini ditemukan SMP atau SMU yang berasrama seperti halnya pondok pesantren. Dipergunakannya nama “SMP” dan “SMU” di atas hanya lebih karena dorongan kebutuhan market (pasar). Sebab, nama pondok pesantren pada sebagian masyarakat masih dianggap kolot dan ketinggalan zaman.
Bentuk pendidikan ini dilengkapi dengan kurikulum yang tidak kalah dengan yang terdapat pada pesantren dan sekolah umum. Terbukti adanya sejumlah sekolah ini yang melahirkan “Huffadz” (penghafal al-Quran) padahal lahir dari sebuah SMP atau SMA.
Di sisi lain, bentuk lembaga ini merindukan pudarnya dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum agar integritas keduanya berjalan bersama-sama sebagaimana yang pernah ditemukan dunia Islam masa silam. Inilah mungkin yang pernah diungkapkan oleh KH. Zainuddin MZ sebagai “Hati Mekkah, Otak Jerman”. Walaupun semboyan ini tidak seluruhnya benar. Soalnya, pendidikan Islam harus bersemboyan “Hati, Otak dan jiwa harus Islami”, dan ini telah terbukti dengan lahirnya ilmuwan-ilmuuwan Islam di zaman keemasan.
Kegiatan belajar-mengajar di lembaga ini sama dengan pesantren, Ia juga mempunyai nilai plus yang tidak didapatkan di sekolah umum biasa. Untuk menghasilkan alumi yang handal, lembaga ini menyaring calon siswanya dengan ujian masuk yang ketat. Kemampuan IQ dan intelejensi menjadi prioritas dalam menerima para siswa. Fasilitas yang memadai menjadi daya tarik minat masyarakat walau harus membayar dengan harga tinggi. Hal ini seiring dengan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Bahkan sebagian lapisan masyarakat merasa bangga dengan bayaran tinggi karena sesuai dengan mutu dan fasilitas.
Apakah bentuk pendidikan ini telah berhasil dan dianggap sukses?. Belum tentu, selain belum lahirnya para alumni model ini, sistem pendidikan akan terus berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat dan zaman. Bahkan kemungkinan bentuk terakhir ini tidak mampu berjalan selama kurun satu atau dua dasawarsa ke depan.