Dinar Vs Uang Kertas
August 28, 2011
Kelebihan Dan Keutamaan Masjidil Haram
September 27, 2011
Dinar Vs Uang Kertas
August 28, 2011
Kelebihan Dan Keutamaan Masjidil Haram
September 27, 2011

1 Syawal dan Sikap Bijak Ibnu Mas’ud

Bulan Ramadhan akan meninggalkan kita. Salah satu hikmah puasa adalah terwujudnya persatuan yang hakiki dalam tubuh umat Islam. Tapi apa daya. Kontroversi seputar hisab dan rukyat mencuat kembali.

Dan, seperti lima tahun yang lalu, kontoversi hisab dan rukyat tahun ini mungkin tidak sekadar wacana. Kita menghadapi dua pilihan 1 Syawal 1427H.: Senin, 23 Oktober, atau mungkin Selasa, 24 Oktober 2006M.

Terlepas dari kontroversi penetapan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan di atas, tampaknya kita perlu belajar dari hikmah dan sikap bijak yang dicontohkan oleh para sahabat dalam menghadapi perbedaan pendapat seperti ini. Kisahnya demikian. Diceritakan bahwa Utsman bin Affan, yang kala itu menjabat khalifah, sedang memimpin kafilah haji kaum muslimin. Dalam pelaksanaan haji tersebut, Utsman melaksanakan tata cara ibadah yang kurang lazim. Beliau meninggalkan qashar (mengurangi jumlah rakaat dari empat menjadi dua) shalat di Mina. Shalat yang jumlah raka’atnya adalah empat beliau laksanakan secara lengkap, empat raka’at; dan bukannya dua rakaat. Kebijakan beliau ini sangat baru. Karena tindakan tersebut bukan hanya berbeda dengan pelaksanaan shalat yang beliau lakukan pada tahun-tahun sebelumnya, dimana beliau melakukan shalat dua rakaat. Tapi kebijakan tersebut juga telah menyelisihi tradisi yang telah diwarisi sejak zaman Nabi dan diteruskan oleh dua khalifah sebelum Utsman, yaitu Abu Bakar dan Umar bin Khattab.

Bukan tanpa alasan Utsman mengambil kebijakan tersebut. Beliau tidak ingin jamaah haji orang-orang Arab Badui yang datang dari pedalaman dan umumnya kurang terpelajar pulang dengan pemahaman yang keliru. Beliau khawatir orang-orang Arab Badui itu, yang besar kemungkinan meningkat jumlahnya pada tahun itu, akan menyangka bahwa shalat duhur, asar dan isya’ memang hanya dua raka’at saja, bukannya empat raka’at. Apalagi kesempatan untuk shalat langsung di belakang khalifah, yang menjadi sentral panutan di masa itu, memang kesempatan yang cukup langka bagi mereka. Untuk mengantisipasi hal ini, Utsman berijtihad. Beliau akhirnya sampai pada kesimpulan: sempurnakan shalat yang empat raka’at.
Di antara jamaah haji tahun itu kebetulan terdapat seorang ulama besar sahabat.  Abdullah bin Mas’ud, namanya. Dalam kuliah-kuliah dan fatwa-fatwanya, Ibnu Mas’ud mengajarkan bahwa, menurut sunnah Nabi, shalat di Mina dilaksanakan secara qashar atau dua raka’at saja. Demikianlah yang senantiasa diajarkan Ibnu Mas’ud kepada murid-muridnya dan masyarakat umum yang berkonsultasi kepadanya.
Menariknya, ketika Ibnu Mas’ud mengetahui bahwa khalifah meningalkan qashar dan melaksanakan shalat empat raka’at, beliau juga ikut shalat empat raka’at. Tindakan ini jelas telah menyalahi fatwa dan ajaran beliau sendiri. Beliau tiggalkan pendapat beliau dan mengamalkan pendapat yang, menurut beliau sendiri, marjuh (lemah).

Karena penasaran dengan tindakan Ibnu Mas’ud, murid-murid beliau melakukan konfirmasi. Kenapa Ibnu Mas’ud mengamalkan pendapat yang menurut beliau sendiri lemah? Dengan tenang, beliau menjawab, “Berbeda pendapat itu (lebih banyak) yang berakibat tidak baik.” Dalam riwayat yang lain, beliau mengatakan, “Sesungguhnya aku tidak suka berselisih paham” (riwayat Abu Dawud dan al-Bayhaqi).
Alangkah indahnya kebesaran hati dan kekayaan jiwa yang ditunjukkan oleh Ibnu Mas’ud di atas. Beliau adalah ulama besar dengan pengikut dan murid-murid juga tidak sedikit. Kapasitas keilmuan dan popularitas beliau tidak diragukan lagi. Tapi dalam situasi seperti itu beliau mampu memposisikan diri beliau secara bijak. Beliau kedepankan kepentingan umat secara keseluruhan. Walau untuk itu, beliau harus mengalah dan meninggalkan “kebenaran” yang beliau yakini.

Alangkah indahnya bila sikap Ibnu Mas’ud ini dapat dicontoh oleh ulama dan pemimpin-pemimpin umat sekarang. Mengalah dengan “kebenaran” yang diyakini demi mewujudkan persatuan umat yang lebih hakiki. Dengan demikian, masyarakat tidak perlu kebingungan lagi, kapan sebaiknya berlebaran. Wallahu ta’ala a’lam.(Ilham Jaya Abdurrauf,Lc)

Sumber : wahdah.or.id