Pesimis dan Putus Asa dari Rahmat Allah
January 17, 2011
Sedekah Juga Perlu Latihan
January 19, 2011
Pesimis dan Putus Asa dari Rahmat Allah
January 17, 2011
Sedekah Juga Perlu Latihan
January 19, 2011

Mengapa Mahasiswa Burma Itu Menangis ?

Oleh Ustadz Rizki Narendra

Bismillahirohmanirrohim

“assalamu’alaikum”, ucap seorang pria tua sembari memasuki ruangan. Dengan penuh wibawa, menyambar kursi kosong terdepan yang menghadap ke arah para mahasiswa. Salamnya barusan memecah kegaduhan mereka yang  sejak tadi menjajah aula belajar. Tak berselang lama, suasana menjadi agak hening.

“fulan bin fulan”, kata doktor berkebangsaan Mesir ini memulai mengabsen mahasiswa.

“hadir”, jawab seorang  mahasiswa segera.

Begitu seterusnya, berurutan dari “alif’ hingga “waw”.

Mata pelajaran kali ini adalah ”Hadhir ‘Alam Al-Islamiy”. Dalam bahasa kita bermakna “Realita Umat Islam Terkini”. Materi inti yang dibahas dalam mata pelajaran ini adalah  keadaan umat Islam di berbagai belahan dunia, sejarah infiltrasi Islam ke sana, beserta problematika terkini yang di hadapi umat islam di masing-masing tempat. Sebagai kampus dengan komposisi mahasiswa yang heterogen dan multikultural, Universitas Islam Madinah sengaja memasukan materi ini ke dalam kurikulum wajib setiap fakultas.

Tujuannya tidak lain, agar mahasiswa yang heterogen tadi mengenal kondisi kaum muslimin di negara lain, memahami situasi umat Islam terkini, dan mengetahui problem-problem apa yang dihadapi kaum muslimin di tiap negara. Dengan begitu, diharapkan akan tumbuh dalam jiwa setiap mahasiswa rasa empati terhadap sesama kaum muslimin, serta rasa senasib sepenanggungan. Sebagaimana di singgung oleh Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam- dalam hadisnya:

« مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِى تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى »

Artinya: “orang-orang beriman yang saling mencintai, mengasishi, dan menyayangi, bagaikan satu-kesatuan tubuh, apabila salah satu organnya mengeluh sakit, maka yang lainnya akan ikut bersimpati dengan susah tidur dan demam” (HR. Muslim)

Sebagaimana biasanya, begitu absen usai, doktor Mesir itu selalu mengajak mahasiswa untuk loncat dari jendela aula, terbang menyebrangi padang pasir Saudi nan kerontang, melewati batas laut dan samudra, menjelajah ke negri lain untuk sejenak menilik keadaan kaum muslimin di sana.

“Ooo…” , “Subhanallah…” , “Laa haula wa laa quwwata illa billah…”, dan ungkapan-ungkapan sejenisnya, akan segera menghiasi bibir-bibir anak didiknya begitu mata mereka terbuka akan realita yang ada.

Marah, haru, iba, sedih, hati teriris, dendam kesumat terhadap orang-orang kafir, gelora semangat baru untuk memperjuangkan islam, dan perasaan lain yang semisalnya, seakan menjadi hal terpisahkan kala menyimak pelajaran ini.

Terkadang pula, setelah mendengar sepak terjang tokoh-tokoh zaman dahulu, dalam diri mereka timbul inspirasi-inspirasi baru, atau ide-ide segar di bidang inovasi media dakwah.

Begitulah kira-kira petualangan doktor itu, berlangsung dalam durasi kurang dari 1 x 50 menit setiap minggunya.

Namun, hari ini sang doktor sedikit mengubah haluan belajar, tidak melaju sebagaimana biasanya. Di sela-sela petualangannya bersama para mahasiswa, dia melemparkan sebuah pertanyaan,

“kira-kira, apa yang akan kalian lakukan setelah lulus kuliah?”

Tidak biasanya sang doktor melemparkan pertanyaan semacam itu disela-sela pelajaran. Tapi itu wajar-wajar saja, karena pertanyaan itu memang berhubungan erat dengan mata pelajaran yang dia ajarkan sekarang. “Apa yang akan kalian lakukan setelah lulus?” maknanya adalah “apa yang akan kalian lakukan untuk berkhidmah kepada agama ini?”, berarti juga “apa yang bisa kalian lakukan memajukan umat Islam?” berarti juga “solusi macam apa yang kalian tawarkan untuk mengentaskan umat dari problematika rumit ini?”.

Satu-persatu, para mahasiswa bergiliran menjawab pertanyaan tadi dengan antusias. Tidak ayal, jawaban mereka pun bervariasi. Ada yang ingin menjadi guru, ada yang jadi imam masjid, bahkan mungkin ada yang ingin jadi pengusaha, politisi, presiden, dan lain sebagainya.

Sampai tiba giliran anak itu.

“anta…?!”, ujar sang doktor sambil mengarahkan kata yang berarti “kamu” itu kepada  salah seorang mahasiswa berwajah melayu.

Dia bukan orang Malaysia, bukan pula Indonesia, Filipina, Kamboja ataupun Thailand, melainkan orang Burma (Myanmar).

Anehnya, tidak semisal mahasiswa lain, anak ini sepertinya tidak begitu antusias menjawab pertanyaan sang doktor.

Tidak, bukan tidak antusias, bahkan sepertinya dia sama sekali tidak ingin mendengar semuanya. Iya, semuanya. Baik semua yang di tanyakan sang doktor, ataupun semua jawaban rekan-rekannya.

Bukan itu saja, di lubuk hatinya seolah berdengung kalimat, “andai sebelumnya aku tahu kalau dosen Mesir ini akan bertanya seperti ini padaku, tentu aku tidak akan masuk kelas”.

Dia bingung… linglung… tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan sederhana ini. Bukan karena skill bahasa arabnya yang minim, tapi memang dia tidak tahu harus menjawab dengan apa.

Tak berselang lama, kedua bola mata anak Burma itu mulai memerah, berkaca-kaca, dan akhirnya … …

Tetes demi tetes, air mata mengalir tak terbendung. Isak tangis mulai terdengar, dan suaranya juga semakin parau. Sebuah pertanda bahwa hatinya baru saja terkoyak.

Reaksi yang tak lazim ini membuat seisi aula terheran-heran. Ada apa gerangan dengan anak asia ini?

Semakin lama, tangisnya semakin meledak-ledak. Sepertinya ini bukan sandiwara. Bukan juga air mata buaya.

Beberapa saat kemudian, mendadak hiruk suara isak tangis mulai menjajah aula. Suaranya begitu riuh, mungkin seperti riuhnya mereka ketika menunggu dosen tadi. Suara tangis nan gaduh itu tentu bukan berasal dari satu orang. Ada dua yang mengangis. Oh, bukan, bukan dua. Ada tiga orang. Oh, bukan, bukan tiga. Sepertinya empat atau lima atau … , ah entahlah…, yang pasti, anak Burma itu tidak sendirian, ada beberapa rekan senegaranya dalam aula itu, dan mereka semua mengangis sejadi-jadinya.

Apa ada yang salah dalam pertannyaan tadi? Salahkah seorang guru menanyakan kepada muridnya apa cita-citamu nanti? Segudang pertanyaan semisal ini tentu memenuhi isi kepala penghuni aula.

Dalam sejarah mengajarnya selama  37 tahun di kota Rosulullahu -sholallahu ‘alaihi wassalam-, baru kali ini sang doktor mengalami  peristiwa ini. Dia bingung, sebagaimana mahasiswa lainnya juga bingung, entah bagaimana harus bersikap.

Ketika ditanya mengapa mereka menangis, jawaban yang mereka berikan hanyalah isak tangis yang makin nyaring. Mereka tidak bisa menjawab dengan kata-kata, karena rasa sedih sedang menguasai hati dan pikiran mereka.

Malang nian anak-anak Burma itu, pasti obrolan hangat beberapa menit lalu seputar masa depan, baru saja membangkitkan kenangan perih masa lalu mereka. Kenangan, yang berusaha mereka kubur dalam-dalam di lubuk hati, agar dapat menghadapi tuntutan belajar di Universitas ini. Namun kini, semua itu bagaikan luka lama yang kembali terbuka kembali.

Pada menit-menit berikutnya, sang doktor mengalihkan topik pembicaraan. Dengan seribu satu cara, dia berusaha membuat mereka melupakan kejadian memilukan barusan. Tapi, sepertinya sia-sia saja, luka yang terbuka, tidak mungkin sembuh dalam hitungan menit.

Hingga akhirnya, datang juga saat-saat yang ditunggu, yaitu detik-detik terakhir jam pelajaran. Sang doktor, tentu sudah lama menunggu saat ini, dia tidak mau lama-lama terperangkap dalam lubang kesedihan yang tidak sengaja digalinya sendiri.

Pelajaran Usai.

Seminggu setelah kejadian itu, salah seorang dari mahasiswa Burma itu mendatangi sang doktor di luar jam pelajaran. Klarifikasi, itu tujuan utamanya.

“Dok”, ujarnya memulai penjelasan. “maafkan kami atas kejadian beberapa hari lalu. Sebenarnya, saya menangis karena teringat ayah saya. Pemerintah Burma mencekal dan memasukan beliau ke dalam penjara. Bukan itu saja. Mereka bilang, jika pulang ke Burma nanti, mereka akan memasukan saya ke penjara”, begitu pengakuan anak Burma itu.

Itu baru alasan salah seorang dari mereka, adapun rekan-rekannya yang lain, pasti juga punya alasan tersendiri. Apapun itu, yang telah membuat mereka terpaksa memerah air mata dihadapan forum belajar mahasiswa, pastilah bukan sesuatu yang sepele, pasti suatu hal yang serius dan juga sangat memilukan.

Penjelasan mahasiswa Burma tadi, sudah cukup untuk memperjelas duduk perkara tragedi di aula beberapa hari lalu. Hanya saja, masih terselip sebuah keganjilan. Mengapa mereka menangis serempak secara kompak?

Setelah ditelusuri lebih jauh, ternyata tangis segelintir anak Burma tadi adalah perwakilan dari jutaan tangis kaum muslimin lainnya di negri mereka. Tetesan air mata mereka, bukanlah apa-apa dibandingkan  banjir air mata yang hampir setiap hari terjadi disana.

Arakan, begitulah nama daerah tempat mereka berasal. Arakan adalah nama sebuah daerah di barat laut Myanmar. Berbatasan langsung dengan negara Bangladesh di sebelah utara, teluk Benggali di sebela barat. Area seluas 20.000 mil persegi dihuni sekitar 4 juta jiwa yang 70 %-nya beragama islam. Area ini merupakan titik berkumpul kaum muslimin di Myanmar.

Ajaran agama islam memasuki Burma pada abad ke-8 hijriyah. Ditangan para da’i dan pedagang dari Bangladesh, ajaran islam berkembang pesat. Puncaknya adalah didirikan kerajaan islam di Arakan yang bertahan sekitar tiga setengah abad lamanya.

Inggris berhasil menjamah tanah ini pada tahun 1303 H. Setelah perang dunia kedua berakhir, Myanmar memprklamirkan kemerdekaan dan secara resmi mendeklarasikan berdirinya negara baru berazaskan ajaran agama Budha.

Di tangan pemerintah kafir inilah, kaum muslimin merasakan pahit getirnya hidup sebagai warga minoritas yang persentase mereka hanya 20% dari total penduduk Burma 45 juta jiwa.

Terlebih, sejak komunis mengambil alih pemerintahan pada tahun 1382 H, siksaan hidup semakin bertubi-tubi. Pemerintah mengambil alih kepemilikan sebagian besar harta benda kaum muslimin, baik yang merupakan prasarana umum seperti masjid, dan tanah-tanah wakaf, hingga harta pribadi seperti tanah, ladang, pabrik, hingga kios-skios kecil penjual beras.

Itu semua merupakan implementasi paham komunis yang mengingkari adanya kepemilikan harta benda secara pribadi, dan bahwasanya semua kekayaan harus dinikmati semua orang yang prosesnya diatur negara. Padahal kenyataannya, hanya segelintir pejabat negaralah yang menikmati kekayaan.

Runtuhnya paham komunis beberapa dekade lalu, tidak membawa angin segar bagi perubahan nasib kaum muslimin Burma. Pemerintahan militer Myanmar ternyata tidak kalah kejam dari komunis. Selama dua puluh tahun terakhir ini, kaum muslimin disana mengahadapi tekanan pemerintah setempat yang memaksa setiap warga muslim untuk mengganti aqidahnya dengan aqidah paganisme Budha.

Mereka yang menolak tawaran iblis tadi, akan menghadapi 1001 macam tekanan dari pihak pemerintah. Tidak memperoleh hak belajar, tidak diperkenankan bekerja di badan usaha manapun, baik negri atau swasta, tidak memperoleh KTP, tidak di akui sebagai warga negara, dan sejenisnya, merupakan resiko teringan yang mereka hadapi. Adapun resiko beratnya, terlalu memilukan untuk ditulis disini, terlebih lagi apa yang dihadapi para wanita muslimah. Cukuplah kisah pilu para sahabat seperti Bilal, ‘Ammar bin Yasir, Khobbab bin ‘Arat, dan lainnnya sebagai gambaran, kira-kira cobaan macam apa yang akan diterima oleh orang-orang yang tegar di atas agamanya.

“kami dilarang bepergian dari satu kota ke kota lain. Kalau ingin pergi ke kota lain, kami diharuskan mengajukan surat izin terlebih dahulu. Tapi jangan terlalu harap mereka akan mengabulkannya”, ujar salah seorang mahasiswa Burma suatu hari kepada rekannya sesama mahasiswa.

Tidak ada tamasya, tidak ada jalan-jalan, tidak ada kebun binatang. Bisa dibayangkan bagaimana tertekannya mereka. Kalau di Indonesia, bepergian ke kota lain bisa dianggap sebagai tamasya, tapi di Burma itu sama saja dengan mengantar nyawa.

Pemerintahan iblis ini kelihatanya sangat bernafsu sekali untuk mengubah tanah Arakan menjadi kota Budha, terbukti dengan sepak terjang mereka selama ini yang tidak bisa dikatakan sebagai tindakan manusiawi terhadap warga muslim.

Mereka secara brutal mengusir sebagian warga muslim disana, mengahancurkan desa-desa mereka, dan memaksa mereka untuk berhijrah ke Bangladesh. Tidak  hanya itu, mereka juga dianggap sebagai imigran gelap. Kemudian, diatas reruntuhan desa mereka, dibangun pemukiman baru bagi warga Budha.

Mungkin, perasaan kaum muslimin Burma ketika memandang pagoda-pagoda  disana tidak jauh beda dengan perasaan bani isroil Musa –‘alaihissallam- ketika memandang piramid. Bedanya, mereka tidak merasakan pahitnya kerja rodi untuk membangunnya, namun sakitnya siksaan, kehinaan yang mereka rasakan tidak jauh berbeda.

Untungnya, negara zalim ini tidak cukup kaya dan tidak cukup pintar untuk mengembangkan senjata pemusnah massal. Kalau  tidak,  mungkin akan terjadi Holocoust besar di tanah Arakan. Atau kemungkinan nasib kaum muslimin Burma akan berakhir seperti suku Indian Cheerokee yang dibantai penguasa Amerika puluhan tahun silam menggunakan senjata kimia, demi mengubah tanah Indian menjadi lahan pembangunan modern.

Selain itu, mereka juga sangat gencar mempropagandakan kebudayaan Budha kepada para remaja sambil berusaha sebiasa mungkin melenyapkan setiap hal yang berbau islam. Jilbab, jenggot, dan syiar-syiar ibadah lainnya haram diperlihatkan.

Tidak tahan dengan perlakuan pemerintah biadab itu, sebagian besar dari mereka hijrah ke berbagai tempat. Sampai saat ini, sudah lebih dari 50% warga muslim Burma yang mengungsi ke berbagai negara islam. Kondisi para pengungsi di Bangladesh adalah yang paling buruk. Pasalnya, angka kemiskinan disana sangat tinggi, ditambah lagi, sebagian besar wilayahnya rawan banjir. Tapi apa mau dikata, tidak ada pilihan lain, bagi mereka Bangladesh adalah negara Islam terdekat yang bisa dijangkau.

Sederetan fakta diatas, membuktikan bahwa kondisi umat islam di Burma merupakan kondisi terburuk yang dialami warga muslim minoritas di dunia ini.

Jadi, itulah alasannya mengapa anak Burma tadi bingung bagaimana menjawab pertanyaan sang dosen. Mereka tidak tahu mesti berbuat apa selepas kuliah nanti. Jangankan untuk menjadi pengusaha atau presiden, bercita-cita saja tak berani.

Semoga Allah ta’ala memberkahi benih-benih kebangkitan umat ini, dan memperbaiki kaum muslimin di penjuru dunia.