Akhlak Muslim

Bahaya Ghibah Dan Terapinya Bagian Kedua (Terakhir)

Berikut adalah artikel sambungan dari “Bahaya Ghibah Dan Terapinya” yang telah ditulis oleh Al Akh Hasbi Nur P.W dan Al-Akh Hastin Nur Al-Fatah. Akh Hasbi dan Akh Hastin adalah Santri Unggulan Mahasiswa Al-Madinah. Berikut adalah artikel selanjutnya.

7. Mendekati pihak yang mempunyai pekerjaan atau proyek dan penanggungjawabnya dengan cara mencela orang –orang yang bekerja sama bersamanya, agar naik jabatan yang lebih tinggi atau agar disebut dipuji dsb.

Cara penanggulangannya adalah agar seorang muslim mengingat ayat-ayat dan hadist-hadist tentang rizki lalu merenunginya bahwasannya apa yang dimiliki Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak diperoleh dengan cara yang diharamkan Allah.

8. Banyak menganggur, merasa bosan, dan jenuh sehingga menyibukkan diri dengan membicarakan orang lain, mencampuri urusan orang lain, membicarakan kehormatan dan aibnya. Seharusnya sebagai seorang muslim meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya serta menyibukkan diri dalam hal ketaatan kepada Allah seperti ibadah, belajar, menuntuk ilmu dsb.

Sebagaimana Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam pernah bersabda :

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنهقَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم

(مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ اَلْمَرْءِ, تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ )رَوَاهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَقَالَ حَسَنٌ

Artinya: “ Dan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Diantara baiknya islam adalah meninggalkan hal yang tidak berguna,” (Diriwayatkan oleh Turmudzi, dan berkata Hasan)

D. GHIBAH YANG DIPERBOLEHKAN

Namun terkadang muncul pertanyaan di benak kita apakah ada ghibah yang diperbolehkan?
Imam Nawawi dalam kitab Syarah Shahih Muslim dan Riyadhu As-Shalihin, menyatakan bahwa ghibah hanya diperbolehkan untuk tujuan syara’ yaitu yang disebabkan oleh enam hal, yaitu:

1. Orang yang mazhlum (teraniaya) boleh menceritakan dan mengadukan kedzaliman orang yang mendzhaliminya kepada seorang penguasa atau hakim atau kepada orang yang berwenang memutuskan suatu perkara dalam rangka menuntut haknya.
Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 148:

لَّا يُحِبُّ ٱللَّهُ ٱلۡجَهۡرَ بِٱلسُّوٓءِ مِنَ ٱلۡقَوۡلِ إِلَّا مَن ظُلِمَ‌ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا

Artinya : “ Allah tidak menyukai Ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. “

Ayat ini menjelaskan bahwa orang yang teraniaya boleh menceritakan keburukan perbuatan orang yang menzhaliminya kepada khalayak ramai. Bahkan jika ia menceritakannya kepada seseorang yang mempunyai kekuasaan, kekuatan, dan wewenang untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, seperti seorang pemimpin atau hakim, dengan tujuan mengharapkan bantuan atau keadilan, maka sudah jelas boleh hukumnya.

Tetapi walaupun kita boleh meng-ghibah orang yang menzhalimi kita, pemberian maaf atau menyembunyikan suatu keburukan adalah lebih baik. Hal ini ditegaskan pada ayat berikutnya, yaitu Surat An-Nisa ayat 149:

إِن تُبۡدُواْ خَيۡرًا أَوۡ تُخۡفُوهُ أَوۡ تَعۡفُواْ عَن سُوٓءٍ۬ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَفُوًّ۬ا قَدِيرًا

Artinya :” jika kamu melahirkan sesuatu kebaikan atau Menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pema’af lagi Maha Kuasa”

2. Meminta bantuan untuk menyingkirkan kemungkaran dan agar orang yang berbuat maksiat kembali ke jalan yang benar.

Pembolehan ini dalam rangka isti’anah (minta tolong) untuk mencegah kemungkaran
dan mengembalikan orang yang bermaksiat ke jalan yang hak. Selain itu ini juga merupakan kewajiban manusia untuk ber-amar ma’ruf nahi munkar. Setiap muslim harus saling bahu membahu menegakkan kebenaran dan meluruskan jalan orang-orang yang menyimpang dari hukum-hukum Allah, hingga nyata garis perbedaan antara yang haq dan yang bathil.

3. Istifta’ (meminta fatwa) akan sesuatu hal.

Misalnya ucapan seseorang kepada seorang pemberi fatwa (mufti): “ Fulan mendzalimi aku, atau dia mengambil hakku. Lalu bagaimana penyelesaian yang bisa dilakukan ?” Dia boleh menyebut nama seseorang dan tindakannya secara langsung. Walaupun kita diperbolehkan menceritakan keburukan seseorang untuk meminta fatwa, untuk lebih berhati-hati, ada baiknya kita hanya menyebutkan keburukan orang lain sesuai yang ingin kita adukan. Misalnya :” Apa pendapat Tuan tentang seseorang yang mendzalimi saudaranya atau yang lain?

4. Memperingatkan kaum muslimin dari beberapa kejahatan seperti:

a. Apabila ada perawi, saksi, atau pengarang yang cacat sifat atau kelakuannya, menurut ijma’ ulama kita boleh bahkan wajib memberitahukannya kepada kaum muslimin. Hal ini dilakukan untuk memelihara kebersihan syariat. Ghibah dengan tujuan seperti ini jelas diperbolehkan, bahkan diwajibkan untuk menjaga kesucian hadits. Apalagi hadits merupakan sumber hukum kedua bagi kaum muslimin setelah Al-Qur’an.

b. Apabila kita melihat seseorang membeli barang yang cacat atau membeli budak (untuk masa sekarang bisa dianalogikan dengan mencari seorang pembantu rumah tangga) yang pencuri, peminum, dan sejenisnya, sedangkan si pembelinya tidak mengetahui. Ini dilakukan untuk memberi nasihat atau mencegah kejahatan terhadap saudara kita, bukan untuk menyakiti salah satu pihak.

c. Apabila kita melihat seorang penuntut ilmu agama belajar kepada seseorang yang fasik atau ahli bid’ah dan kita khawatir terhadap bahaya yang akan menimpanya. Maka kita wajib menasehati dengan cara menjelaskan sifat dan keadaan guru tersebut dengan tujuan untuk kebaikan semata.

5. Menceritakan kepada khalayak tentang seseorang yang berbuat fasik atau bid’ah seperti, minum-minuman keras, menyita harta orang secara paksa, memungut pajak liar atau perkara-perkara bathil lainnya.

Ketika menceritakan keburukan itu kita tidak boleh menambah-nambahinya dan sepanjang niat kita dalam melakukan hal itu hanya untuk kebaikan.

6. Bila seseorang telah dikenal dengan julukan si pincang, si pendek, si bisu, si buta, atau sebagainya, maka kita boleh memanggilnya dengan julukan di atas agar orang lain langsung mengerti. Tetapi jika tujuannya untuk menghina, maka haram hukumnya. Jika ia mempunyai nama lain yang lebih baik, maka lebih baik memanggilnya dengan nama lain tersebut.

E. HAL-HAL YANG HENDAK DIPERHATIKAN DALAM GHIBAH YANG DIPERBOLEHKAN

Namun ada hal – hal yang harus diperhatikan dalam masalah ghibah yang diperbolehkan di atas, yaitu :

1. Ikhlas karena Allah di dalam niat. Maka janganlah kamu katakan ghibah yang dibolehkan bagimu untuk menghilangkan kemarahan, mencela saudaramu atau merendahkannya.

2. Tidak menyebut nama seseorang selagi bisa dilakukan

3. Agar ketika membicarakan seseorang hanya tentang apa yang telah diperbuatnya dengan sesuatu yang diijinkannya, dan janganlah membuka pintu ghibah untuk menjatuhkan, sehingga menyebutkan aib-aibnya.

4. Berkeyakinan kuat tidak akan terjadi kerusakan yang lebih besar dari manfaatnya.

F. HAL-HAL YANG TIDAK DIANGGAP GHIBAH, PADAHAL SEBENARNYA GHIBAH

Hal ini yang harus diwaspadai, seringkali kita tidak sadar bahwa perbuatan yang sebenarnya itu adalah ghibah, karena ketidaktahuan kita atau karena menuruti hawa nafsu sehingga menganggap hal tersebut bukan ghibah. Hal-hal yang dianggap ghibah tapi sebenarnya adalah ghibah diantaranya :

1. Terkadang seseorang menggunjing saudaranya, dan jika dia dicegah/diingkari, dia malah berkata,” Aku siap mengatakan di hadapannya.” Dan, hal ini bias dibantah dengan beberapa bantahan diantaranya:

a. Bahwasannya kamu telah membicarakan orang di belakangnya dengan sesuatu yang dibenci, dan ini adalah ghibah.

b.Kesiapanmu untuk mengatakan di hadapannya, adalah suatu perkara lain yang berdiri sendiri. Di dalamnya, tidak ada dalil yang menunjukkan bahwasannya kamu boleh membicarakan saudaramu dibelakangnya dengan apa yang dibencinya.
2. Ucapan seseorang di tengah-tengah sekelompok orang sewaktu menggunjing orang tertentu,” Kami berlindung kepada Allah dari sedikit malu,”Kami berlindung kepada Allah dari kesesatan,” dan lain sebagainya. Sesungguhnya dia menggabungkan antara celaan terhadap orang yang digunjing dan antara pujian terhadap hawa nafsu.
3. Begitu pula, perkataan seseorang,” Si fulan sedang diuji dengan ini,” atau   “Kita semua melakukan ini”.
4. Perkataan seseorang,” Sebagian orang telah melakukan hal ini,” atau “…sebagian ulama fikih,” dan lain sebagainya, jika yang diajak bicara memahaminya sendiri, demi tercapainya pemahaman.
5. Perkataan seseorang,” Afandi telah berbuat begini,” atau “Paduka tuan” dan sebagainya, jika bermaksud untuk merendahkannya.
6. Ucapan mereka,”Ini perkara kecil boleh digunjingkan.”Tetapi,manakah dalil yang membolehkan ghibah semacam ini, selama nash-nash yang muncul bersifat mutlak ?
7. Menganggap remeh masalah ghibah kepada pelaku maksiat. Adapun orang yang terang-terangan melakukan maksiat, maka diperbolehkan untuk menggunjingnya. Sedangkan menganggap enteng masalah ghibah terhadap pelaku maksiat secara mutlak, itu tidak boleh. Karena sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda “Ghibah itu kamu membicarakan saudaramu dengan sesuatu yang dibencinya”
Dalam hal ini mencakup orang muslim yang taat, dan durhaka atau berbuat maksiat.
8. Ucapanmu,” Ini orang India, Mesir, Palestina, Yordania, ‘ajam ( non arab ), keturunan Arab, Badui, Kampungan, tukang sepatu, tukang batu atau tukang besi.” Jika ucapan itu mengandung unsure ejekan atau penghinaan.

Insya Allah dengan sedikit ilmu di atas memudahkan kita untuk terhindar dari salah satu bahaya lisan yaitu ghibah dan sepatutnya kita berlindung kepada Allah dari segala perbuatan dosa dan maksiat.

Wallahu a’lam bishshawab

F. DAFTAR RUJUKAN

  1. Ahmad Dr. Farid, 1428 H, Olahraga Hati cetakan , 1 Penerbit Aqwam : Solo
  2. Shalih Al Munajjid Syaikh, 2007, Dosa-dosa yang Dianggap Biasa, Penerbit Darul Haq: Jakarta
  3. Al-Wayisyah Husain, 2007, Saat Diam Saat Bicara Manajemen Lisan, Penerbit Darul Haq: Jakarta
  4. Al-Maqdisy, Ibnu Qudamah, 2008, Minhajul Qashidin cetakan 1 Penerbit: Pustaka as-Sunnah: Jakarta
  5. An-Nawawi Imam Muhyiddin, 2007, Syarah Hadits Arba’in Penerbit Pustaka Arafah: Solo
  6. Ibnu Katsir Al-Imam, 2006, Tafsir Ibnu Katsir, Penerbit Pustaka Imam Syafi’i: Bogor
  7. Ibnu Hajar Al-Asqalani Al-Hafidz, 2006, Bulughul Maram, Penerbit Pustaka Al Kautsar: Jakarta
  8. Shalih Al Munajjid Syaikh, 2007, Dosa-dosa yang Dianggap Biasa, Penerbit Darul Haq: Jakarta

 

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button