Rukun Iman (Bagian 2)
April 17, 2011
Rukun Iman (Bagian 4)
April 20, 2011
Rukun Iman (Bagian 2)
April 17, 2011
Rukun Iman (Bagian 4)
April 20, 2011

Rukun Iman (Bagian 3)

Oleh Ustadz Rizki Narendra

Tauhid Rububiyah

Pasal 1: Determinasi Tauhid Rububiyah
Tauhid rububiyah adalah keyakinan akan eksistensi Allah ta’ala sebagai  pencipta, penguasa, serta pengatur segala sesuatu. Berikut ini beberapa dalil yang menerangkan hal tersebut:

1. Firman Allah Ta’ala, “Apakah mereka tercipta (begitu saja) tanpa asal-usul, ataukah mereka menciptakan (diri mereka sendiri)? Atau apakah mereka yang menciptakan langit dan bumi?; sebenarnya mereka sendiri tidak yakin (dengan ucapan mereka).” (Ath-Thur: 35-36)

Maksud dari ayat di atas adalah: mungkinkah mereka ada tanpa adanya pencipta, ataukah mereka menciptakan diri mereka sendiri?  Tentu jawabannya bukan kedua-duanya, melainkan  Allah-lah yang menciptakan dan menjadikan mereka tumbuh dan berkembang, padahal awal mulanya mereka sama sekali bukan apa-apa.

2. Firman Allah Ta’ala, “Ketahuilah, (bahwa) menciptakan dan memerintah adalah hak Allah semata. Maha suci Allah, Rabb semesta alam.” (Al-A’raaf: 54)
Maknanya adalah: Dialah pemilik kekuasaan dan otoritas penuh untuk mengatur alam semesta, tidak ada yang menentang kehendak-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan tidak pula Dia merasa rendah diri hingga memerlukan bantuan pihak lain.

3. Firman Allah Ta’ala, “Musa berkata, “Rabb kami ialah (Rabb) yang telah menganugrahkan bentuk fisik kepada setiap makhluk hidup, kemudian memberinya naluri (insting).” (Thaha: 50)
Dia-lah yang menciptakan mahkluk hidup, menentukan takdir mereka, memberi mereka karakter fisik sesuai dengan kehendak-Nya dan memberi mereka apa yang sesuai dan cocok dengan kondisi mereka masing-masing.

Pasal 2: Beberapa bukti yang mendasari keyakinan akan eksistensi Allah ta’ala

Bukti pertama: Tendensi Natural (fitrah) Manusia
Pada  dasarnya, akreditasi  akan eksistensi Allah ta’ala sebagai pencipta merupakan sebuah naluri alami yang ada pada diri setiap individu, baik yang salih maupun yang jahat. Hal tersebut merupakan fitrah yang sejak lahir tertanam dalam lubuk hati. Keyakinan akan adanya sang pencipta disertai tendensi (kecenderungan) kuat untuk menghambakan diri kepada-Nya. Inilah perasaan yang mengalir begitu deras dalam sanubari  setiap insan dan tidak seorang pun mampu menyangkalnya.

Beberapa pakar tafsir berkomentar bahwa fitrah ini merupakan perpanjangan tangan dari kesaksian segenap manusia yang pernah diambil saat mereka dikeluarkan dari tulang rusuk nabi Adam –‘alaihissalam- sebelum mereka diciptakan. Fitrah ini adalah bukti riil yang tidak mungkin diingkari. Seseorang tidak akan dimaafkan apabila dia menyelisihi fitrah ini dengan alasan mengikuti jejak leluhur ataupun melestarikan warisan nenek moyang.

Allah Ta’ala menyinggung hal ini dalam firman-Nya, “dan (ingatlah), ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan Adam dari tulang rusuk mereka dan mengambil kesaksian atas diri mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Rabbmu?” mereka menjawab: “Benar, kami bersaksi (bahwa engkau adalah Rabb kami)”. (Kami melakukan hal itu) agar di hari kiamat kalian tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami tidak tahu-menahu tentang hal ini (yakni; keesaan Rabb)”. Atau agar kalian tidak mengatakan: “Sesungguhnya nenek moyang kami sejak dahulu telah berbuat syirik, sedangkan kami ini hanyalah keturunan mereka (yang meniru perbuatan mereka). Apakah Engkau akan menyiksa kami (atas) kesalahan (mereka) orang-orang yang sesat?” (Al-A’raaf: 172-173)

Tak jarang kemunculan fitrah ini dalam diri manusia terhalangi oleh kenikmatan hidup, kemakmuran harta,  kesehatan, atau juga karena hati yang telah dikuasai kelalaian. Namun apabila seseorang berada dalam kondisi gawat darurat, fitrah ini akan segera muncul menguasai hati dan perasaanya. Serta merta, fitrah ini akan membawa dirinya untuk kembali tunduk dan mengemis dihadapan sang pencipta, sekalipun orang itu kafir.

Allah Ta’ala menyinggung hal ini dalam firman-Nya, “Dialah yang memberi kalian kemampuan untuk melintasi daratan dan lautan. Hingga (suatu waktu) kalian menaiki bahtera yang melaju dengan tiupan angin yang baik membawa para penumpang dan mereka merasa gembira karenanya, datanglah badai dasyat disertai gempuran ombak dari segenap penjuru. Dan (saat) mereka yakin bahwa mereka (benar-benar) telah dikepung (bahaya), mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan semata-mata hanya untuk-Nya. (mereka berkata): “Sungguh, apabila Engkau menyelamatkan kami dari malapetaka ini, pasti kami akan menjadi orang-orang yang bersyukur.” (Yunus: 22)

Dan juga firman-Nya, “Dan apabila mereka dilamun ombak besar laksana gunung, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan semata-mata hanya untuk-Nya. Setelah Allah menyelamatkan mereka hingg sampai ke daratan, (hanya) sebagian dari mereka saja yang tetap menempuh jalan yang lurus. Dan seorangpun mengingkari ayat- ayat Kami kecuali orang-orang yang tidak setia lagi ingkar.” (Luqman: 32)

Sekafir apapun manusia, dia tidak akan mampu mengingkari realita ini, dan tidak pula kuasa untuk membohongi diri sendiri, sekalipun kesombongan dan kezhaliman yang bercokol dalam dirinya memaksanya untuk membantah perasaan ini dengan lisannya.

Hal ini disinggung oleh Allah Ta’ala dalam kisah kaum Fir’aun, “dan mereka mengingkari (ayat-ayat Allah) karena kezaliman dan kesombongan (mereka), padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah bagaimana akhirnya nasib orang-orang yang berbuat kerusakan.” (An-Naml: 14)

Dan juga firman-Nya “dan jika kamu bertanya kepada mereka, “siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka akan menjawab, “yang menciptakan mereka semua adalah (Allah) yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui”. (Az-Zukhruf: 9)

Dan juga firman-Nya, “katakanlah (kepada mereka), “siapakah yang mendatangkan kepada kalian rezki dari langit dan bumi? atau siapakah yang menguasai pendengaran dan penglihatan? dan siapakah yang mengeluarkan sesuatu yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan sesuatu yang mati dari yang hidup? dan siapakah yang mengatur segala urusan?” mereka akan menjawab, “Allah”. Maka Katakanlah, “Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?” (Yunus: 31)

Bukti kedua: eksistensi makhluk hidup
Indikasi konkret seputar eksistensi Allah ta’ala jumlahnya sebanding dengan jumlah makhluk ciptaan-Nya, karena pada dasarnya eksistensi makhluk merupakan bukti riil akan eksistensi Allah ta’ala sebagai sang pencipta sekaligus penguasa tunggal yang mengatur alam semesta, mulai dari atom terkecil di muka bumi hingga benda langit terbesar di antariksa.

Eksistensi jagad raya ini sendiri sudah cukup untuk menjawab keraguan orang-orang ateis akan eksistensi Allah ta’ala, sekaligus membungkam mulut kotor mereka nan sombong, kerena setiap jengkal jagad raya ini menjadi saksi akan eksistensi zat yang memiliki karakteristik rububiyah dan uluhiyah.
Jagad raya yang begitu besar dan sempurna ini mustahil jika diciptakan tanpa asal-usul, sebagaimana mustahil jika dia menciptakan dirinya sendiri. Ini adalah fakta yang terakreditasi oleh naluri dan akal sehat tanpa memerlukan justifikasi siapapun.

Kalau jagad raya ini mustahil diciptakan tanpa asal-usul, serta tidak mungkin dia menciptakan dirinya sendiri, maka hanya ada satu kemungkinan yang tersisa, yaitu; jagad raya ini diciptakan oleh suatu Zat Yang Maha Perkasa dan Maha Mengetahui. Dia-lah yang menciptakan, dan menyempurnakan ciptaan-Nya. Dia pula yang menentukan kadar ciptaan-Nya, kemudian memberinya petunjuk.

Demikianlah metodologi Al-Quran dalam menetapkan eksistensi Sang Pencipta. Al-Quran mengajak pembacanya untuk mengenali ayat-ayat-Nya yang berwujud alam semesta ini. Dengan mengenal ciptaan ia akan terbimbing dengan sendirinya untuk mengenali sang pencipta,  sebagaimana dia dengan sendirinya akan terbimbing untuk mengenali matahari saat melihat sinarnya.

Allah Ta’ala berfirman, “Apakah mereka tercipta (begitu saja) tanpa asal-usul? ataukah mereka menciptakan (diri mereka sendiri)?” (Ath-Thur: 35)

Bukti ketiga: konsensus umat-umat terdahulu
Dalam sejarah peradaban umat-umat terdahulu, belum pernah tercatat ada satu golonganpun yang mengingkari eksistensi Sang Pencipta, kecuali hanya sekelompok kecil saja yang pendapatnya tidak terakreditasi.

Para pakar telah mengumpulkan banyak pendapat, pemikiran serta persepsi seputar teologi dari berbagi macam agama dan aliran kepercayaan, baik yang klasik maupun kontemporer. Namun, tidak ada satupun persepsi yang mengatakan adanya pihak lain menginterfensi urusan Allah ta’ala dalam penciptaan alam semesta, atau adanya zat lain yang memiliki karakteristik ketuhanan seperti-Nya, ataupun yang secara total mengingkari rububiyah-Nya.
Allah Ta’ala berfirman, “Para rasul mereka berkata, “Apakah ada keraguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi?” (Ibrohim: 10)

Pada ayat diatas, para rasul berdialog dengan kaumnya menggunakan retorika seorang yang sedang berbicara dengan lawan bicara yang tidak meragukan eksistensi Allah ta’ala. Hal ini tidak lain karena kaum mereka meyakini sepenuhnya bahwa Allah ta’ala benar-benar eksis.

Bukti keempat: justifikasi intelektual (pembenaran berdasarkan akal sehat)
Sebagaimana telah dikemukaan sebelumnya, bahwa indikasi konkret seputar eksistensi Allah Ta’ala jumlahnya sebanding dengan jumlah makhluk ciptaan-Nya. Untuk memahami bahwasanya indikasi – indikasi kasat mata tersebut merupakan sebuah bukti konkret, ada tiga prinsip dasar yang menjadi landasan berpikir. Ketiga prinsip dasar ini kolateral (sejalan) dengan akal sehat manusia, disepakati oleh alquran dan sunnah. Serta tidak ada seorang pun yang bisa menyelisihinya. Berikut ketiga prinsip tersebut:

1. Setiap ciptaan pasti ada yang menciptakan
Sesuatu yang tidak ada mustahil memiliki kemampuan untuk menciptakan sesuatu. Hal ini merupakan kepastian yang selaras dengan akal sehat, dan diakui oleh syari’at.

Allah Ta’ala berfirman mengenai hal ini, “Apakah mereka tercipta (begitu saja) tanpa asal-usul ataukah mereka menciptakan (diri mereka sendiri)?Ataukah mereka yang menciptakan langit dan bumi?; sebenarnya mereka sendiri tidak yakin (dengan ucapan mereka).” (Ath-Thur: 35-36)
Bagaimana mungkin seseorang mampu membantah hal ini, sementara benda-benda mati disekitarnya menjadi saksi kebenarannya. Sandal yang dia gunakan, baju yang dia kenakan, mobil yang dia kendarai, payung yang dia pakai saat panas dan hujan, bahkan makanan dan minumannya, dan benda mati lainnya menjadi bukti bahwasanya sesuatu yang tidak ada mustahil memiliki kemampuan untuk menciptakan sesuatu. Tentu akal sehat tidak sudi untuk mengakui kalau ada yang mengatakan bahwa benda-benda tersebut muncul begitu saja tanpa ada yang menciptakan.

Apabila kita implementasikan prinsip pertama tersebut pada fenomena-fenomena yang terjadi di alam raya ini, tentu kita akan yakin sepenuhnya bahwa semua itu pasti ada yang menciptakan.

2. Ciptaan merupakan refleksi dari kemampuan sang pencipta beserta beberapa karakteristiknya.
Hal ini dikarenakan ada hubungan erat antara ciptaan dengan sang pencipta. Tidak mungkin sesuatu itu tercipta kecuali sang pencipta memiliki kemampuan untuk mencipta. Contohya, apabila kita melihat lampu listrik, kita otomatis akan tahu bahwa pembuat lampu ini mempunyai kaca, kabel, skill untuk merangkai kaca dan kabel tadi hingga menjadi lampu, serta mengerti seluk beluk listrik.

Begitulah, kita bisa mengetahui kemampuan dan beberapa karakteristik pencipta hanya dengan dengan menyaksikan secara kasat mata bekas-bekas perbuatannya. Oleh karenanya, sangat benar kalau kita mengatakan bahwa ciptaan merupakan refleksi dari kemampuan sang pencipta beserta beberapa karakteristiknya.

Al-Quran mengarahkan kita untuk mengimplementasikan prinsip dasar ini. Ayat-ayatnya menyuruh kita untuk menerawang dan merenungi langit, bumi beserta segala isinya, agar dengan begitu  kita bisa mengenal berbagai karakteristik Sang Pencipta Yang Maha Bijaksana.
Allah ta’ala berfirman, “Allah-lah yang menggerakan angin, lalu angin itu menggiring awan dan (Allah) membentangkannya di langit sesuai kehendak-Nya, kemudian dia menjadikannya bertumpuk-tumpuk, lalu kamu melihat air hujan keluar dari celah-celahnya. Dan bila hujan itu menimpa siapapun yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya, mereka seketika bergembira. Padahal, sebelum hujan itu turun, mereka benar-benar telah berputus asa. Maka perhatikanlah bekas-bekas rahmat Allah (itu), bagaimana Dia menghidupkan bumi yang sudah mati. Sungguh (Rabb yang mampu melakukan) semua itu, benar-benar (berkuasa untuk) menghidupkan orang-orang mati, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Ar-Rum: 48-50)

Peristiwa turunnya hujan, lalu membasahi bumi yang kering, dan kembalinya kehidupan tanah yang sebelumnya mati, selain menunjukan eksistensi Sang Pencipta juga menunjukan betapa besar kekuasaaan-Nya, khususnya dalam hal mengembalikan kehidupan yang telah mati. Selain itu, hal tersebut juga membuktikan betapa besar kasih sayang-Nya kepada makhluk hidup.

Jadi, mengenali dengan beberapa karakteristik Sang Pencipta dengan menyaksikan dan merenungi bekas-bekas perbuatan-Nya merupakan metode yang diakreditasi baik oleh akal dan syariat. Inilah metode yang diakui kebenarannya oleh akal, dilegalkan oleh syariat, dan menjadi pondasi utama dalam membangun keimanan.

Dengan mengimplementasikan prinsip ini, kita akan menyadari bahwa eksistensi alam raya yang begitu besar ini membuktikan bahwa penciptanya senantiasa eksis dan abadi. Keagungan ciptaan ini juga menunjukan betapa agung kekuasaan penciptanya. Kehidupan yang ada di alam semesta ini juga menunjukan bahwa penciptanya senantiasa hidup. Keteraturan yang ada di dakamnya juga menunjukan bahwa penciptanya Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui. Kestabilan dan keserasian yang ada di dalamnya juga menunjukan bahwa penciptanya Maha Adil, Maha Esa, dan Maha Kuasa.

Demikianlah, semua makhluk tersebut telah mengarahkan kita kepada keyakinan mantap akan eksistensi Zat Yang Maha Pencipta, Maha Bijaksana, Maha Mengetahui, Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Hidup, dan Tak Terkalahkan, sekaligus menjawab keraguan orang ateis akan eksistensi-Nya.

3. Sebuah ciptaan mustahil diciptakan oleh siapapun yang tidak memiliki kemampuan mencipta
Ini juga merupakan salah prinsip yang diakui kebenarannya baik oleh akal maupun syariat. Mustahil seorang yang bisu berbicara dengan fasih. Mustahil pula seekor hewan tak berakal atau seorang idiot berhasil meluncurkan satelit untuk mengeksplorasi angkasa luar serta menyingkap rahasia-rahasianya. Mustahil seorang kampungan yang tinggal di ujung padang pasir dengan kesibukan sehari-hari menggembala unta dan kambing berhasil menjalankan operasi rumit bedah otak untuk mengeluarkan sel kanker, atau menulis buku seputar teknologi nuklir.

Sama halnya dengan sebuah batu, mustahil dia memiliki kemampuan untuk mencipta, atau memberi rizki, menghidupkan, mematikan atau memberi manfaat atau mudarat kepada siapa yang dikehendakinya.

Allah Ta’ala berfirman, “Apakah mereka menyekutukan (Allah dengan) berhala-berhala yang tak mampu menciptakan suatu apapun? bahkan mereka sendiri (berhala-berhala itu) diciptakan (oleh manusia). Mereka (berhala-berhala itu) juga tidak mampu menolong mereka (para penyembahnya), dan (bahkan) menolong diri mereka sendiri pun tak sanggup. Dan jika kalian (hai orang-orang musyrik) meminta kepada mereka petunjuk, mereka tidak akan mampu mengabulkan permintaan kalian itu; sama saja (hasilnya), entah kalian menyeru mereka ataupun berdiam diri saja. Sebenarnya, berhala-berhala yang kalian seru selain Allah itu hanyalah makhluk (yang lemah) seperti kalian. Maka serulah mereka! lalu biarkanlah mereka mengabulkan permintaan kalian, jika kalian memang orang-orang yang benar. Apakah mereka mempunyai kaki yang membuat mereka mampu berjalan? atau tangan yang membuat mereka mempu bertindak keras? atau mata yang membuat mereka mampu melihat? atau telinga yang membuat mereka mempu mendengar? Katakanlah: “Panggillah berhala-berhala  yang kalian jadikan sekutu bagi Allah, lalu buatlah (segera) tipu daya (untuk mencelakakan)-ku dan tak perlu menunda-nunda”. (Al-A’raf: 191-195)

Allah Ta’ala juga berfirman, “Lalu mereka mengangkat (berhala-berhala itu sebagai) ilah-ilah lain selain-Nya, (padahal) mereka (ilah-lah itu) itu tidak mampu menciptakan suatu apapun, bahkan mereka sendiri diciptakan (olah manusia). Mereka juga tidak mampu membela diri dari marabahaya, dan tidak pula mampu memberi manfaat untuk diri sendiri. Mereka juga tidak mampu mematikan, menghidupkan dan tidak (pula) mampu menghidupkan kembali (yang sudah mati).” (Al-Furqon: 3)

Allah Ta’ala juga berfirman, “Katakanlah: “Terangkan kepadaku tentang para sekutu yang kalian seru selain Allah (seberapa pantaskah mereka untuk disembah?) . Tunjukan  kepadaku (belahan) bumi mana yang mereka ciptakan? Ataukah mereka mempunyai saham dalam (penciptaan) langit? Ataukah Kami menurunkan kepada mereka sebuah kitab, sehingga mereka memperoleh keterangan-keterangan yang mendukung (perbuatan syirik mereka)? Sebenarnya orang-orang yang zalim itu, sebahagian dari mereka memprovokasi sebagian yang lain (dengan memberi) keterangan-keterangan palsu.” (Fathir: 40)

Kalau kita implementasikan prinsip ini pada setiap makhluk yang ada di alam sesesta ini, tentu kita akan menyadari bahwasanya tidak ada satu makhlukpun yang memenuhi kriteria untuk menyandang gelar Sang Pencipta, karena tidak ada satupun dari mereka yang memiliki karakteristik sebagai Maha Bijaksana, Maha Mengetahui, Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Pemberi Petunjuk, Maha Hidup, dan Maha Abadi. Jika kita menyadari bahwa diantara makhluk alam semesta ini tidak ada satupun layak menyandang gelar Sang Pencipta, maka jelaslah bahwa Sang pencipta adalah zat yang bukanlah termasuk bagian dari alam semesta ini

Perlu diketahui bahwa untuk memasukan seseorang ke dalam islam, pengakuan atas tauhid rububiyah semata tidaklah cukup, tapi juga memerlukan tauhid uluhiyah yang  merupakan ikrar bahwa tidak ada yang layak diibadahi kecuali Allah ta’ala semata seraya berlepas diri dari kesyirikan. Hal ini dikarenakan orang-orang musyrik juga mengakui tauhid rububiyah, namun hal ini tidak serta merta memasukan mereka kedalam agama islam.

Allah Ta’ala menyinggug hal ini dalam firman-Nya, “dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka akan menjawab: “yang menciptakan mereka adalah (Allah)  yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (Az-Zukhruf: 9)

Dan juga firman-Nya,”dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka menjawab: “Allah”. ( Az-Zumar: 38)

Oleh karena itu, para ulama mengatakan bahwa konsekuensi pengakuan tauhid rububiyah adalah pengakuan tauhid uluhiyah.

bersambung…

Rukun Iman (Bagian 1): http://www.belajarislam.com/rukun-iman-bagian-1/
Rukun Iman (Bagian 2): http://www.belajarislam.com/rukun-iman-bagian-2/