Artikel BaruKisah

Hamba Pecinta Masjid

(ditulis oleh seorang warga saudi)

Oleh : Ustadz Rizki Narendra

Di Jeddah, sekitar 2 jam dari Mekah ke arah barat daya, disana aku tengah bersantai di rumah ibuku. Kala itu jum’at pagi, tepatnya saat waktu sholat dhuha, aku mengajak omku pergi sholat jum’at di masjidil haram.

”Om, gimana kalo kita pergi ke Mekah, jum’atan di masjidil haram, trus kita langsung pulang?”, Ajakku.

“hmm, boleh juga tuh idenya. Sebentar ya, kita minum teh dulu”, jawabnya.

”Sekarang aja om. Kalo ditunda-tunda, keburu malas. Nanti di jalan aku belikan teh  ‘Adn deh.”, bujukku. ”lagian om, kalo hari jumat, jalanan kota Mekah pasti padat, soalnya semua orang ingin jum’atan di Haram. Jadi kita harus masuk mekah sebelum jam-jam padat itu.”

Tanpa pikir panjang, omku pun langsung setuju. Tak lama kemudian, kami sudah berpacu bersama angin di jalan tol Mekah – Jeddah. Selama perjalan, ada sesuatu yang menyita perhatianku. Sekitar 45 kilometer sebelum memasuki kota Mekah, ada sebuah bangunan di tepi jalan yang berlawanan arah. Sebuah masjid. Satu diantara puluhan masjid yang bertebaran disepanjang jalan kedua kota ini. Warnanya putih cerah. Menaranya menjulang begitu indah. Letaknya unik, di lereng bukit. Sepertinya untuk mencapai tempat itu butuh sedikit usaha keras.

Yang aku pahami, orang yang membangun masjid itu sepertinya ingin agar orang-orang bisa menyaksikan dari jauh bahwa di situ ada masjid, jadi dia membangun dengan posisi agak tinggi seperti itu. Kondisi fisiknya mengenaskan. Sepetiganya hancur. Tepatnya bagian belakang. Hancur total. Hanya 2/3 bagian saja yang bisa digunakan. Tidak ada pintu maupun jendela. Benar-benar terbengkelai.

Entah mengapa, gambar masjid ini terus menerus membayangiku selama perjalanan. Aku tidak bisa menghapusnya dari ingatan. Mungkin karena aku sangat kagum dengan “kegigihannya” bertahan menghadapi terpaan zaman. Atau mungkin karena sebab lain, aku tidak tahu.

Kami pun tiba di Mekah. Mobil sengaja kami parkir agak jauh dari masjidil haram, guna menghindari kemacetan hebat yang biasa terjadi sebelum dan sesudah sholat jumat. Usai mendengarkan khutbah yang dilanjutkan dengan sholat jum’at, kamu bergegas menuju mobil dan memacunya ke arah jalan yang tadi kami lewati saat pergi.

Tiba-tiba, dia datang lagi. Entah mengapa, gambar masjid itu kembali bergentayangan dalam pikiranku. Masjid putih yang terbengkelai. Aku hanya termenung, berdialog dengan hatiku sendiri.

Tak lama kemudian, dia mulai nampak. Aku ingat betul, sekitar lima ratus meter setelah masjid itu ada gedung Lembaga Pendidikan Saudi – Jepang. Semua orang yang melewati jalan tol Mekah – Jeddah dapat melihatnya dengan jelas.  Aku pun melewati masjid itu.  Pandanganku terpaku ke arah kanan. Ke arah masjid putih yang selama perjalanan menghantui pikiranku. Tapi tidak seperti tadi, kulihat ada lain yang menarik perhatianku. Sebuah mobil. Di dekat masjid itu terpakir sebuah Ford biru.

Beberapa detik aku berpikir, “kenapa bisa ada mobil di sana? Apa yang dikerjakan si supir di sana?”

Tanpa berpikir panjang, aku segera menurunkan kecepatan. Saat mendekati gedung Lembagza Pendidikan Saudi – Jepang, aku banting stir ke kanan, lalu melewati jalan tanah setapak guna untuk mencari jalan memutar ke arah masjid tadi.

”Woi.. woi.. woi.. ada apa nih?”, protes si om. Tentu saja dia kaget, karena aku tidak melapor terlebih dulu.  Tanpa menggubris omelanya, aku terus menyisir jalan berkerikil itu. Sampai  sekitar lima ratus meter kemudian aku belok kanan lagi, memasuki area perkebunan tua, lalu mengambil jalan lurus yang menuju ke arah masjid itu. Semua itu terjadi tak lain karena Allah hendak merealisasikan takdir yang telah Dia tetapkan.

Omku terus bertanya, “hei, kamu mau apa sih? Jawab dong!”

Enggak kok om, Cuma mau lihat sopir mobil yang parkir di masjid tadi, lagi ngapain dia di sana.” Jawabku santai.

“Ih, ngapain ngurusin urusan orang. Kurang kerjaan.”

“Sebentar aja kok om. Lagi pula ini kan dah mau masuk waktu sholat ashar. Sebentar lagi juga azan.”

Mendengar ucapanku tadi, omku hanya pasrah sambil bergumam.  Aku pun cuek seraya memacu mobil lebih cepat. Setelah kami parkir mobil di dekat bukit, segera kami berjalan mendaki.  Sesampainya dimasjid, kami dikejutkan dengan lantunan ayat suci dengan suara nyaring. Begitu syahdu. Dia membaca dengan penuh tangis. Dia membaca sepenggal ayat dari surat Ar-Rahman.

كل من عليها فان * ويبقى وجه ربك ذو الجلال والإكرام

 Aku berpikir, lebih baik menunggu di luar sambil mendengarkan bacaan syahdu itu. Namun, aku tak bisa menahan diri untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di dalam. Aku segera masuk. Namun, apa yang kusaksikan benar-benar mengejutkan. Seorang pemuda. Dia duduk beralaskan sajadah kecil. Duduk seorang diri, seraya menggenggam sebuah mushaf kecil.

“Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh…”, sapaku.

Dia tertegun. Tatapan matanya mengatakan bahwa dia merasa tekejut dengan kehadiran kami. Sepertinya, kedatangan kami memecah kekhusyukan hatinya.

“wa’alaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh…”, jawabnya.

“sudah sholat Ashar dik?”, tanyaku.

“belum.”

“sudah kumandangkan adzan?”, tanyaku lanjut.

“belum. Memang sekarang jam berapa?”

“sudah masuk waktu nih.”

Aku pun segera mengumandangkan azan dan bersiap-siap mengambil posisi sebagai imam. Namun, ada kejadian yang menyita perhatianku. Saat keuda makmum itu berdiri menghadap kiblat, ada sesuatu yang aneh. Sebelum takbir, pemuda tadi memndangi arah kiblat sambil tersenyum seraya berbisik. Bisikan lirih, namun cukup terdengar di telingaku. Sepenggal ungkapan singkat, tapi membuat akalku melayang.

“Baiklah, satu solat berjamaah.”

Omku memandangiku keheranan. Entah apa yang ingin dia katakan. Aku pura-pura cuek dengan kejadian itu. Lekas aku belikan badan dan mengucapkan takbratul ihram.

“Allahu akbar…”

Meskipun sudah memulai sholat, aku tetap saja sepenggal ungkapannya itu sangat mengganggu pikiranku.

Kepada siapa dia tersenyum? Kenapa dia tersenyum?  Kata-katanya itu. Siapa yang dia ajak bicara? Kan tidak ada seorang pun di sini selain kita bertiga. Jangan-jangan dia ini gila. Tapi kurasa tidak. Tidak ada tanda-tanda bahwa dia gila. Aku terus melanjutkan sholat meskipun pikiranku tetap melayang-layang mengingat kejadian itu.

Usai sholat, aku membalikan badan ke arah mereka. Omku dengan sigap memberi isyarat untuk segera meninggalkan tempat itu. Namun aku menolak.

“Om duluan saja, sebentar lagi saya menyusul.”, jawabku.

Namun, dia malah memandangiku seakan-akan khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu jika ditinggal berdua dengan pemuda asing tadi. Seorang pemuda yang aneh, sendiri membaca alquran di masjid terasing, dan  berdialog dengan dirinya sendiri sebelum sholat.

Aku memberi isyarat kepadanya bahwa aku hanya duduk sebentar saja di sini. Aku memandangi pemuda itu. Kulihat, dia begitu khusuk tenggelam dalam tasbihnya.

“apa kabar dik?”, tanyaku memecah kesunyian.

“Alhamdulillah, baik.” Jawabnya ringan.

“siapa namamu?”

“aku Fulan bin Fulan.”

“Alangkah senangnya aku bisa mengenalmu. Hanya saja -Semoga Allah memaafkanmu- engkau telah mengganggu sholatku tadi.”

Dengan sejuta rasa terkejut, dia bertanya, “lho, mengganggu bagaimana?”

Tada saat aku ingin berdiri mengimami kalian, aku mendengar engkau berujar, “Baiklah, satu solat berjamaah.”

Dia pun tertawa, “memangnya kenapa?”

“tidak apa-apa, hanya saja aku bertanya-tanya, siapa gerangan yang adik ajak bicara?”

Dia tersenyum. Sejenak dia memandangi lantai masjid dan terdiam. Sepertinya dia tengah berpikir. Aku bertanya-tanya dalam hati, “akankah dia menjawab pertanyaanku tadi?” sejenak, aku perhatikan dia. Lalu aku rapatkan kedua lututku ke dada, sehingga kami berdua terlihat layaknya sepasang sahabat karib yang telah berteman lama.

“Aku yakin adik bukan orang gila kan. Penampilan adik terlihat sangat tenang. Saat sholat pun, adik terlihat khusyuk.”

Dia memandangiku, lalu mengucapkan sepatah kata yang menciptakan sebuah ledakan dalam dadaku. Sepatah kata, yang membuatku berpikir sekali lagi, jangan-jangan dia ini memang gila.

“aku  tadi… berbicara kepada.. masjid.”

Aku tidak ingin berdebat panjang. Oleh karenanya, aku balas saja ucapan pemuda itu, “lalu, apa jawaban masjid?”

Dia tersenyum lagi. “Paman ini bagaimana? Tadi paman yang mengira aku ini gila. Sekarang gantian aku yang mengira hal serupa. Memangnya menrut paman bebatuan ini bisa menjawab? Inikan hanya sekedar batu.”

Sekarang giliran aku yang tersenyum. “benar juga ya… mana mungkin dia menjawab.”, sahutku. “kalau begitu, kenapa adik berbicara kepadanya?”

Dia malah balas bertanya, “Paman… apa paman percaya bahwa diantara bebatuan di dunia ini ada yang jatuh disababkan takut kepada Allah?

“Subhanallah.. bagaimana mungkin aku mengingkarinya sementara hal itu termaktub di dalam alquran?”, jawabku.

“kalau begitu, tidak aneh jika aku mengajaknya bicara, karena Allah ta’ala juga mengatakan bahwa mereka juga bisa bicara.  Allah ta’ala berfirman:

 وإن من شئ إلا يسبح بحمده

“Sejujurnya, aku tidak paham ucapanmu dik. Coba adik utarakan dengan jujur, apa maksud adik?”

Pemuda itu sejenak menundukan pandangan. Nampaknya dia tengah berpikir, haruskah dia mengatakan kepadaku yang sebenarnya. Apakah aku berhak tahu.

Lantas, tanpa mengangkat pandangannya, dia berujar, “sebenarnya, aku ini hanyalah orang yang jatuh cinta kepada masjid.

setiap kali aku malihat sebuah masjid tua tak terawat, atau masjid yang terbengkelai, aku berpikir.

aku berpikir alangkah indahnya menyaksikan hari-hari di saat orang-orang sholat di sana. Dalam hati, aku merasakan betapa rindunya sang masjid akan hari-hari semacam itu. Hari-hari dimana dahulu orang-orang beramai-ramai mengerjakan sholat di dalamnya. Hari-hari indah, saat lafadz-lafadz dzikir bergaung memenuhi setiap sudutnya.

Aku bisa merasakan, betapa rindunya dang masjid kepada kalimat tasbih dan tahlil. Betapa inginnya dia mendengarkan ayat-ayat suci yang menggetarkan setiap jengkal dindingnya.

Aku bisa merasakan, alangkah sedihnya masjid itu setiap tiba waktu sholat. Alangkah sedihnya menaranya yang rindu akan panggilan, Hayya ‘alash sholah.

Aku bisa merasakan, betapa kesepian dia. Betapa malangnya dia, berharap ada satu saja ruku’ atau sujud yang dilakukan di dalamnnya. Berharap, ada bacaan al-fatihah yang mampir di sana walau hanya sekejap.

Setiap kali membayangkan hal itu, aku berkata dalam diriku,”demi Allah, aku akan mengembalikan sebagian hari-harinya yang dahulu dia rasakan. Akan ku padamkan api rindunya yang tengah membara, walau hanya sejenak.” Lalu aku pun mendatanginya, sholat dua roka’at, dan membaca satu juz alquran di dalamnya. Paman boleh bilang kalau perbuatanku ini aneh. Tapi asal paman tahu, ini semua ku lakukan semata-mata karena aku mencintai masjid.”

Memdengar ucapannya itu, aku tak kuasa menahan air mata. Pandangdanku tertunduk, sama dengan hatiku yang tertunduk oleh aura ucapan dan perasaan pemuda itu. Betapa aku mengagumi pemuda ini. Baru pertama kali ada pemuda yang hatinya tertambat di masjid selayak dia. Aku tidak ingin memperpanjang dialog. Sebagai kalimat perpisahan, aku katakan kepadanya, “jazakallahu khoiran.”

Sementara dari luar, omku telah mengetuk-ngetuk, mengisyaratkan agar aku segera pulang. Aku pun berdiri, lalu memberi salam kepada pemuda itu sambil meminta, “dik, jangan lupa sertakan aku dalam doamu.”

“tahukah paman, apa yang aku doakan setiap kali keluar masjid seperti ini?”, tanyanya seraya pandangannya tetap mengarah ke lantai.

Pikiranku sejanak melayang. Manusia semacam ini, doa macam apa yang kira-kira dia panjatkan? Dalam hati, aku berharap waktu berjalan lambat agar aku bisa menebak apa yang selalu dia minta kepada Tuhannya. Namun, andaipun itu terjadi tidak ada gunanya, karena ternyata apa yang dia panjatkan sangatlah jauh dari apa yang aku perkirakan. Bunyi doanya:

 اللهم..  اللهم..  اللهم..

إن كنت تعلم أني آنست هذا المسجد بذكرك العظيم … وقرآنك الكريم … لوجهك يا رحيم …

 فآنس وحشة أبي في قبره وأنت أرحم الراحمين

“Duhai Allah, Duhai Allah, Duhai Allah… sekiranya engaku tahu bahwa aku mengusir kesepian masjid ini dengan dzikir-Mu nan agung, dan Quran-Mu nan mulia, hanya karena mengharap ridho-Mu duhai Yang Maha penyayang, maka usirlah kesepian ayahku di kuburnya, karena Engkaulah sebaik-baik penyayang.”

Laksana mata air bertemu hujan, banjir air mataku tak terelakkan. Sama sekali aku tak malu menangis dihadapannya. Pemuda macam apa dia ini. Alangkah mencengangkan baktinya kepada orang tua.  Andai aku bisa sepertinya! Andai aku memiliki anak selayak dirinya! Tarbiyah macam apa yang pernah iya kenyam? Pendidikan seperti apa yang orang tuanya berikan? Apa pun itu, aku yakin itu bukan tarbiyah dan pendidikan yang selama ini kita suguhkan ke anak-anak kita.

Dia menamparku. Sungguh dia menamparku habis-habisan dengan ucapannya. Sebuah tamparan yang menyadarkanku, betapa kerdilnya baktiku selama ini kepada mendiang ayahku. Bahkan, mungkin aku masih pantas jika disebut sebagai anak durhaka.

Diterjemahkan dan disadur dari : www.binatiih.com

Related Articles

One Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button