Diatas Kelembutan Dakwah
Berikut merupakan artikel terakhir dari Penetrasi Amerika Melalui Tarekat-Tarekat Sufi. Hendaknya membaca artikel sebelumnya pada Penetrasi Amerika Melalui Tarekat-Tarekat Sufi (1) kemudian Penetrasi Amerika Melalui Tarekat-Tarekat Sufi (2) dan Penetrasi Amerika Melalui Tarekat-Tarekat Sufi (3) agar mendapatkan pemahaman yang utuh.
I. Kedutaan Besar AS di Mesir dan Pendekatan Kepada Kelompok Sufi
Secara singkat dapat dicontohkan beberapa upaya koalisi antara AS dan kelompok sufi sebagai berikut:
II. Kedutaan Besar AS di Sudan dan Pendekatan kepada Kelompok Sufi
Melalui kuasa usaha AS di Sudan, Joseph Stafford, diplomasi Amerika telah sibuk dalam tugas menarik berbagai tarekat sufi Sudan untuk terlibat dalam proyek AS. Tentunya dengan menggunakan diplomasi publik, kunjungan ramah, pertukaran hadiah dan ikut berpartisipasi dalam zikir mereka. Semua itu menjadi sarana utama dalam membangun jaringan hubungan AS dengan kelompok sufi Sudan.
Kuasa usaha AS itu pertama-tama memilih kelompok-kelompok tasawuf yang berafiliasi kepada tarekat Qadiriah Jaelaniah yang tersebar lebih banyak di Sudan dibandingkan dengan tarekat-tarekat sufi lainnya. Di antara tarekat-tarekat Qadiriah yang telah di kunjungi oleh diplomat AS tersebut adalah sebagai berikut:
Sebelumnya diplomat AS tersebut juga telah berkunjung ke markaz Tarekat Burhaniah di kota Khartoum.
Di setiap daerah yang dikunjungi oleh diplomat AS di Sudan, nampak tanda-tanda kesuksesan bagi proyek AS. Hal itu ditandai dengan hangatnya sambutan para tokoh sufi yang dikunjungi. Para tokoh itu menjamunya dengan sembelihan, memakaikan pakaian sufi yang hijau kepadanya, mengalunginya dengan tasbih, dan menyertakannya dalam halaqah zikir mereka di beberapa daerah yang dikunjungi.
Tasawuf di Sudan menyaksikan gerakan kebangkitan dan pembaruan serta penampilan gaya baru. Ditandai dengan terbentuknya dewan tinggi tasawuf, terbentuknya banyak jaringan mahasiswa sufi di berbagai universitas, dan berdirinya dewan tinggi zikir dan para pezikir dengan SK yang dikeluarkan oleh Dewan Legislatif Sudan. Juga ditandai dengan diluncurkannnya manhaj sufi melalui saluran televisi, terbentuknya komunitas ulama sufi, serta tersebarnya grup-grup band yang menyanyikan lagu dan syair-syair sufi.
Keenam, Tantangan Penerapan Proyek AS dalam Pemberdayaan Tasawuf
Dalam penelitiannya yang berjudul “Sufi .. antara identitas, moderasi dan kemanusiaan”, Abu Bakar Krolaa,[25] peneliti berkebangsaan amerika, mengemukakan pertanyaan logis seputar kesiapan kelompok Sufi untuk terlibat dalam proyek AS. Ia menyatakan: “Apakah komunitas-komunitas sufi di Barat ataupun di tempat-tempat lainnya mempersiapkan diri secara ideologis untuk membangun perspektif global dan terlibat serius dengan Barat untuk mengembangkan kerangka moral dan etika demi menegakkan keadilan dan kesetaraan ..?”. Sayangnya peneliti itu hanya mengajukan pertanyaan saja dan tidak memberikan jawaban dan mengembalikan jawabannya kepada kelompok sufi itu sendiri.
Selanjutnya, peneliti itu beralih kepada persoalan yang lebih urgen pada satu sisi, untuk mengkaji sifat kemitraan AS dengan kelompok sufi dan peluang keberhasilannya. Ia mencatat tentang Pemerintah Amerika Serikat bahwa: “Pemerintah AS harus sadar akan fakta bahwa itu adalah mitra di dunia, dan bahwa tidak mungkin bagi siapa pun hingga kelompok sufi bernegosiasi atau berdialog dengan mitra yang hanya memburuh kepentingan dirinya sendiri atas dasar hegemoni dan kekuasaan!”.
Kemudian peneliti itu menjelaskana bahwa dalam jangka panjang, strategi kemitraan antara AS dengan kelompok sufi itu menuju kepada kegagalan sebagai akibat dari watak AS. Ia menegaskan bahwa: “Kebijakan pemerintah AS untuk mengintegrasikan kelompok sufi moderat dan kalangan muslim tradisional atau pemerintahan yang bermitra dengannya, akan mencapai beberapa keberhasilan, tetapi pendekatan AS dalam segi politik dan sosial tidak memiliki kesinambungan jangka panjang untuk meyakinkan umat Islam. Hal itu karena penggunaan kekuatan secara berlebihan oleh AS lebih banyak merusak daripada mewujudkan tujuan-tujuan budaya, perdamaian dan keadilan yang ingin dicapai.”
Jadi kepentingan saja yang menjadi penggerak bagi proyek AS menurut pandangan peneliti itu, bukan karena semangatnya menyebarkan keadilan dan perdamaian sebagaimana yang diklaim selama ini! Yang menentukan peluang suksesnya “proyek Amerika-sufi” adalah kesediaan AS untuk berkompromi pada prinsip eksploitasi pihak lain dan meninggalkan hegemoni dan dominasi dalam rangka berinteraksi dengan mitranya di atas prinsip kesetaraan dan tidak menggunakan standar ganda ataupun standar terbalik.
Bertolak dari konteks yang sama, nampak sejumlah tantangan dalam kebijakan mendorong tasawuf untuk memimpin dunia Islam, terutama bermuara pada tantangan berikut:
Tantangan pertama berwujud keraguan terhadap kemungkinan suksesnya pembangunan jaringan (sufisme-liberalisme) dengan cara yang diinginkan AS, dan dengan tujuan yang diharapkan berupa formulasi bangsa-bangsa Muslim yang tidak peduli tentang agama mereka, dan meninggalkan arena untuk musuh-musuhnya, dan membatasi praktek keagamaannya dalam urusan rohani dan bertabarruk dengan kuburan serta berpegang kepada akidah dan dzikir batil.
Tantangan kedua mencakup keraguan atas potensi kepemimpinan kaum sufi terhadap bangsa-bangsa Muslim, atau kemampuannya mengatasi arus kepemimpinan Islam yang memimpin kebangkitan agama yang berlandaskan kepada pendalaman ilmu syar’i dan upaya yang serius menempatkan Islam sebagai jalan hidup, atau bekerja tak kenal lelah untuk menyatukan umat di bawah bendera Kitab dan Sunnah sesuai kemampuan.
Dalam tantangan ini muncul pula pertanyaan atas kemungkinan mengintegrasikan semua kelompok-kelompok sufi ke dalam proyek AS, khususnya yang tersebar di berbagai negara Arab, terutama setelah melihat realitas hubungan yang tidak harmonis di kalangan kelompok-kelompok sufi di negara mereka.
Tantangan ketiga berbentuk keraguan atas keseriusan AS menjadikan kelompok-kelompok sufi sebagai mitra Islam yang strategis untuk mewakili negara Islam, dan sejauh mana kesabaran AS untuk meniti jalan yang sangat panjang dalam memformulasi ulang seluruh negara Islam sesuai dengan cara yang diinginkan Amerika, di hadapan pencapaian target yang juga sangat kabur dan diragukan.
Selain itu, mempertanyakan kemampuan anggaran AS untuk menanggung beban operasi yang tidak memiliki batas akhir dan hanya bertumpu pada strategi yang mengunggulkan pihak lain sebagai agen dan tidak didalami oleh pemerintah AS dengan baik, dan hanya menghandalkan asumsi dan harapan beberapa pusat penelitian Amerika.
Peran yang Dinantikan dari Kelompok-kelompok Salafiah
Tahap perumusan strategi Amerika dan Barat secara umum telah selesai. Tahapan pembangunan jaringan kerja dan kepentingan antara pihak AS dan pihak tarekat-tarekat sufi pada setiap negara juga telah mulai berjalan. Demikian juga pembangunan jaringan lintas batas dan jaringan internasional juga telah terbentuk, seperti Dewan Sufi Internasional di Inggris yang dipimpin oleh tarekat Syahawiah Barhammeh, Dewan Agung Islam di Amerika yang dipimpin oleh tarekat Naqsyabandi.
Di balik realitas itu, terdapat peran besar yang ditunggu dari kalangan salafiyin. Peran itu berbentuk antara lain; membongkar strategi dan rencana musuh dan bekerja sama menyatukan potensi untuk menghadapi berbagai rencana dan langkah praktis dari strategi tersebut.
Peran ini berhubungan erat dengan perlunya mengaktifkan dialog dan komunikasi intern salafiyin. Yaitu antara kalangan ulama, ahli, pemimpin, da’i, peneliti, pemilik kekayaan, badan resmi dan sipil, dan setiap muslim yang memiliki kemampuan memberikan kontribusi.
Apabila kalangan salafiyin belum mampu meluncurkan program penyadaran dan perlawanan melalui badan-badan resmi dan sipil maka peran itu wajib diambil alih oleh ormas-ormas Islam. Terkait dengan peran ini, berikut beberapa usulan yang dapat dijadikan sebagai langkah awal untuk memulai peran tersebut:
Mungkin tantangan terbesar strategis proyek anti-Amerika, terletak pada keberhasilan kelompok Salafi untuk mendeportasi tasawuf dan menetralisir mereka dari berpartisipasi dalam strategi Amerika melalui komunikasi, pertemuan dan dialog antara Salafi dan Sufi.
Di sini harus ditekankan bahwa kalangan tasawuf sebagai salah satu kelompok Islam memiliki peran sangat penting melibihi kelompok lainnya dalam menghadapi proyek AS yang berusaha untuk penetrasi dan bekerja melalui organisasi mereka untuk menyerang Islam dari dalam, dan membawa mereka ke dalam konflik yang tidak jelas dan tidak diperhitungkan hasilnya dengan kelompok Salafi.
Dan yang terpenting, kita harus bertawakkal kepada Allah Ta’ala dan memohon bantuannya sebagaimana kebiasaan setiap Muslim, karena Allah Ta’ala Maha Mengetahui rencana dan strategi mereka. Allah pun telah membeberkan kerja-kerja musuh dalam Al-Quran al-Aziz:
Sesungguhnya orang-orang yang kafir menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam Jahannamlah orang-orang yang kafir itu dikumpulkan. Supaya Allah memisahkan (golongan) yang buruk dari yang baik dan menjadikan (golongan) yang buruk itu sebagiannya di atas sebagian yang lain, lalu kesemuanya ditumpukkan-Nya, dan dimasukkan-Nya ke dalam neraka Jahannam. Mereka itulah orang-orang yang merugi. (QS. al-Anfal: 36-37).
Maraji’ :
[1] Robin Wright adalah salah seorang peneliti di Institute of American peace, tulisannya seputar salafiyin diterjemahkan dari Majalah New York Times edisi 20-8-2012. (http://www.nytimes.com/2012/08/20/opinion/dont-fear-all-islamists-fear-salafis.html?_r=0).
[2] Konferensi tersebut diselenggarakan di kota Hamburg, lihat koran al-Syarq al-Ausath, edisi Rabu, 4 Muharram 1422/28 Maret 2001, No 8156.
[3] Konferensi ini diadakan di Universitas Gothenburg Johansen (Kota Mainz), dan inisiator konferensi ini adalah Asosiasi Studi Timur Tengah, di Amerika Utara, dan dihadiri oleh 2000 peneliti dan pemikir Dunia. Hadir dalam konferensi ini juga hampir seribu politisi formal dan informal .. Al-Ahram, edisi (25 Muharram 1423/8 April 2002) No. 42 126.
[4]Diadakan di Aula Konferensi al-Azhar atas dukungan Rektor al-Azhar University-Kairo, Dr Ahmed al-Tayeb.
[5] Lihat: Majalah al-Buhuts wa al-Dirasat al-Shufiyah, Vol. I, hal. 595.
[6] Lihat: al-Sharq al-Awsath (12 Juli 2003) No. 8992. Makalah itu disajikan di Pusat Kebudayaan Eropa (Bulgaria) oleh Alexander Vslenov dan Prof. Tasvitan Taovanov. Keduanya telah masuk Islam beberapa waktu lalu dan meraka berdua dari jurusan Orientalisme di Universitas Sofia.
[7] Kantor berita Maroko (09/10/2004). Konferensi ini diadakan dengan partisipasi AS dan dipimpin oleh Hisham Kabbani, penghubung antara pemerintah AS dan denganTarekat Naqshbandiah.
[8] Kota Bamako, lihat situs: http://www.alelam.net/policy/details.php?id=1760&country=1&type=N.
[9] Lihat situs: http://www.libsc.org/LSC/elan1
[10] Lihat rincian seputar konferensi tersebut di situs: http://www.doroob.com/?p=23756
[11] Lihat informasi ini di situs para dubes AS di kementrian Luar Negeri AS, tanggal 23 Oktober 2007. (http://iipdigital.usembassy.gov/st/arabic/texttrans/2009/06/20090610161555bsibhew0.4015619.html#axzz19bVFfvL2WO)
[12] Ibid.
[13] Lihat laporan sebagaimana dimaksud “U.S. Democracy Promotion Policy in the Middle East: The Islamist Dilemma”di situs Perpustakan Manajemen Kelautan AS (tanggal 6 Juni 2006):
((http://www.history.navy.mil/library/online/democ%20in%20middle%20east.htm#combating))
Dalam Majalah al-Mujtama yang terbit di Kuwait, terdapat laporan ekstensif tentang: “al-Shufiyah . . . Adat al-Sulthah fi Muwajah Khushumiha/Sufi .. alat penguasa dalam menghadapi lawan”, edisi 13 Oktober 2012.
[14] Untuk informasi lebih lanjut lihat majalah, lihat situs Majalah Syita’ wa Shaif –Maroko yang spesifik untuk music: (http://djodaba.maktoobblog.com/96921/
[15] Lihat: Majalah al-Mujtama; al-Shufiyah . . . Adat al-Sulthah fi Muwajah Khushumiha, edisi 13 Oktober 1012.
[16] Untuk informasi lebih lanjut lihat majalah, lihat situs Majalah Syita’ wa Shaif –Maroko yang spesifik untuk music: (http://djodaba.maktoobblog.com/319795/).
[17] Lihat situs: .(http://www.sawtordon.com/index.php)
[18] Konferensi ini diselenggarakan dalam rangka pengukuhan “Irbid sebagai kota budaya untuk tahun 2007, dan berlangsung pada tanggal 5-6 Desember 2007, dengan partisipasi dari sejumlah besar penulis, intelektual dan akademisi dari perguruan tinggi, publik dan swasta Yordania dan universitas Suriah, Palestina, Irak, dan Sorbonne-Perancis. Lihat: (http://www.doroob.com/?p=23756)
[19] Lihat: Majalah al-Tashawwuf al-Islami, No. 323, edisi Zulqa’dah 1426.
[20] Lihat: Tabloit al-Liwa’-Yordania, edisi November 2007.
[21] Tabloit al-Dustur, Tanggal 3 Agustus 2010.
[22] Lihat: (http://asha3ira.blogspot.com/p/blog-page_3764.html)
[23] Lihat: Koran kuwait al-Qabas, edisi 27 Februari 2012.
[24] Lihat: (http://en.wikipedia.org/wiki/Sufi_Muslim_Council)
[25] Lihat: Abu Bakar Krolaa “Sufism – Between Hegemony, Moderation and Humanness/ Sufisme – Antara Hegemoni, Moderasi dan kemanusiaan”: (http://www.academia.edu/1354990/)
Sumber : albayan.co.uk