Salafiyah dan Pemahaman yang Komprehensif terhadap Ajaran Islam
November 29, 2013
Seminar Kemuslimahan – Wanita Shalihah Dirindu Surga
December 1, 2013
Salafiyah dan Pemahaman yang Komprehensif terhadap Ajaran Islam
November 29, 2013
Seminar Kemuslimahan – Wanita Shalihah Dirindu Surga
December 1, 2013

Akhlak Orang yang Berjiwa Besar (1)

Oleh: Fadhilatus Syaikh Dr. Khalid bin Utsman as-Sabt

Akhlak dan perangai terpuji begitu tinggi kedudukannya di mata Allah Ta’ala dan umat secara umum, terlebih bagi mereka yang mengusung misi dakwah Ahlu Sunnah wal Jama’ah, maka kami tergerak mengalih-bahasakan sebuah muhadharah (ceramah) ilmiyah yang sangat bermanfaat, diketengahkan oleh salah seorang ulama tafsir terpandang di kota Dammam Fadhilatus Syaikh Dr. Khalid bin Utsman as-Sabt –hafidzahullah-, yang berjudul “Akhlaq al-Kibar”.

Dan dikarenakan terjemahan ini berpijak pada audio, maka kami mohon maaf sebelumnya jika gaya bahasa yang digunakan tidak keluar seratus persen dari gaya bahasa ceramah. Semoga kita sekalian dapat memetik hikmah dan pelajaran dari ceramah berharga ini.

Segala puji hanya bagi Allah Rabb Seru Sekalian Alam, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah bagi penghulu para Nabi dan Rasul, Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa salam, amma ba’du.

Ayyuhal Ikhwah, tema kajian ini berkaitan dengan akhlaaqul kibar. Yang kami maksudkan kibar di sini bukan orang yang berumur kibar (tua), namun maksudnya adalah, ashaab an-nufuus al-kabiirah, atau “orang yang memiliki jiwa besar”. Mereka itulah sang pemilik akhlak yang tinggi dan mencampakkan akhlak-akhlak rendah serta perkara-perkara hina. Termasuk pula dalam hal ini, kalangan para ulama, du’at dan kaum muslimin secara umum.

Maksud akhlaqul kibar di sini adalah orang yang berjiwa besar, bukan yang berjiwa kerdil dimana senang jika dipuji dan marah bila dicela. Memutuskan hubungan dengan orang hanya karena tidak senang, tersinggung, atau kerena jengkel dan marah. Atau, menjalin silaturahmi atas landasan senang dengan orang-orang tertentu dan memutuskan hubungan silatuhrahmi atas dasar karena tidak senang atau karena sebab-sebab lainnya. Orang yang berakhlak kibar adalah orang yang tidak memusuhi hanya karena orang lain itu melontarkan kritik atau mengejek dirinya.
Sang pemilik akhlak kibar, bukan pula berarti orang yang memiliki jabatan-jabatan tinggi. Dalam bahasa Arab, “kibar”, bisa berarti tua dan bisa berarti tinggi jabatannya. Jadi orang yang berjiwa besar adalah orang yang menyikapi sesuatu untuk satu kepentingan besar, kemaslahatan Islam dan kaum muslimin, serta bukan atas dasar kepentingan pribadi. Orang-orang seperti inilah yang lebih pantas kita sebut dan sebarkan kisah heroik mereka, agar menjadi pelajaran bagi kita.
Kita sangat butuh materi penyegar seperti ini, lantaran cakupan persoalan yang begitu penting. Sebab kita saksikan berapa banyak khitbah (proses melamar seorang wanita) dibatalkan, berapa banyak jalinan cinta berubah menjadi permusuhan, dan berapa banyak hubungan kerjasama dalam urusan duniawi maupun ukhrawi (dakwah) bubar, hanya karena sikap orang-orang yang berjiwa kerdil. Tidak rela bila ada atau muncul kekurangan orang lain terhadap dirinya. Dan apabila hal itu terjadi, maka hubungan itu otomatis putus, tidak lagi mengingat kebaikan-kebaikan yang pernah diperoleh, tidak mengingat lagi kebersamaan yang pernah dijalin apik pada waktu silam. Semua itu menjelma menjadi permusuhan dan kebencian, lantaran kesalahan dan kekurangan dari orang lain terhadap dirinya. Lalu dia menjadi sosok yang mudah membenci, mencela, dan berbuat hal-hal kurang (terpuji) pada dirinya. Seluruh perbuatan diukur melalui timbangan hawa nafsu. Bila menyenangkan dirinya ia senangi namun bila menjengkelkan, dia benci. Sikap seperti ini lahir karena ada orang-orang yang lebih memilih asal penciptaannya, yaitu tanah. Sebab manusia itu diciptakan dari dua unsur yaitu tanah dan ruh. Dan kita tahu, bahwa tanah berada di bawah. Orang-orang yang berjiwa kerdil mengukur segala sesuatu melalui hal-hal hina, dan itu kembali ke asal penciptaanya tadi yaitu tanah. Maka nampaklah dari dirinya akhlak yang rendah dan hina pula. Beda halnya dengan orang-orang mulia. Dimana mereka mengukur sesuatu melalui hal-hal yang tinggi dan mulia. Dan itulah sifat kedua dari penciptaan manusia, yaitu ruh.
Orang yang berjiwa besar adalah mereka yang berusaha mengurai simpul-simpul yang melingkupi jiwanya. Tidak memandang seluruh (perkaranya) dengan takaran hawa nafsunya. Dan tatkala dia sanggup melerai simpul-simpul tersebut, maka dia masuk dalam tingkatan lebih tinggi, yaitu orang yang bisa melepaskan diri dari semua keinginan hawa nafsunya. Dia bisa berhubungan dengan orang, siap menerima kesalahan, kekurangan, dan kelemahan yang muncul dari diri orang lain. Orang yang ingin merengkuh derajat tinggi, tidak mungkin sanggup merengkuhnya tanpa modal jiwa yang tinggi dan akhlak seperti telah disinggung.
Ayyuhal Ihkwan, kala berbicara tentang tema ini, kita tidak mengarahkan pada orang lain. Sebab sasaran utama adalah diri kita pribadi dan kemudian para hadirin sekalian. Jangan sampai kita berpikir bahwa “tema ini untuk si fulan yang akhlaknya masih kurang, atau si fulan yang akhlaknya tidak seperti ini”. Jangan kita bayangkan seperti itu, yakni tema ini ditujukan pada sekelompok orang tertentu. Yang perlu dilakukan adalah menghadirkan diri dan hati kita untuk mencerna dan menerima materi ini. Jadilah orang yang berfikir. Hadir dengan hati dan kemudian mendulang manfaat dan hikmah darinya. Perbaharui hidup anda, tingkatkan akhlak anda, kemudian berubahlah. Lalu kembali dengan wajah berubah, suasana dan akhlak yang berbeda pula.
Materi ini diarahkan pada seluruh kalangan baik ulama, du’at, thulabul ilmi dan mereka yang memangku jabatan, baik jabatan tinggi atau-pun rendah. Juga ditujukan kepada para bapak, ibu, para pendidik dan pengajar serta orang awam pada umumnya. Demikian pula ditujukan kepada semua yang ingin mencari kesempurnaan. Mungkin diantara kita tidak rela disifati dengan sifat kerdil, hidup dalam cara berfikir sempit, hati sempit, dan jiwa yang sempit pula. Semua orang sepakat, bahwa materi kajian ini adalah sesuatu yang baik, terpuji dan mulia dimana semua jiwa pasti merindukannya.
Seandainya dakwah Rasul -shallallahu alaihi wasallam-, hanya bertujuan pada (perbaikan) akhlak saja, tentu orang-orang akan menyambut dakwahnya. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, “Kalaulah dakwah ini hanya tertuju pada (perbaikan) akhlak, sebagaimana jika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berdakwah hanya pada masalah (perbaikan) akhlak tanpa membahas kemusyrikan dan tauhid, tentu orang-orang pasti akan mengikuti dakwahnya”.
Dalam tataran teori semua sepakat, namun pada prakteknya akan nampak sendiri hakikat sebenarnya. Semua orang dapat dengan fasih berbicara tentang akhlak yang baik, tapi dalam kenyataannya akan terlihat aslinya. Yang penting bukan orang menganggap baik, kemudian senang mendengarkan akhlak yang baik, tapi yang paling utama adalah perubahan, dan ada akhlak yang berubah. Orang yang halus lembut bukan orang yang lembut saat senang saja, tapi juga pada saat marah. Yang namanya akhlak, bukan hanya dapat tersenyum kepada saudara kita saat bersama teman-teman, bersama orang-orang yang duduk di majlis, tetapi akhlak adalah yang dapat kita bawa dalam setiap keadaan dan pada setiap tempat.
Ayyuhal Ikhwan, Allah Ta’ala menyifati Dzat-Nya dengan sifat al ‘afuu (Yang Maha Mengampuni). Sifat ini adalah salah satu sifat yang sangat agung dan mulia. Maksud sifat Allah al ‘afuu adalah Allah membiarkan hamba-Nya, mengampuni mereka yang berbuat kesalahan dan tidak menimpakan adzab atasnya secara spontan kala mereka durhaka pada-Nya. Kita memohon pada Allah agar menaungi kita dengan segala ampunan dan kemurahan-Nya.
Ayyuhal Ikhwan, ketika mendengar beberapa sifat ini, mungkin yang manjadi pertanyaan dalam diri adalah apakah kita memiliki sifat-sifat tersebut? Atau kita termasuk orang yang ketika melihat hal ini ternyata akhlak tersebut tidak banyak melekat dalam diri hingga ketika berurusan dengan orang lain, kita sampai bertikai dan membuat hitung-hitungan dengan mereka.
Banyak diantara kita yang rancu membedakan antara membela diri sendiri (al-intishar ‘ala an-nafs) dan membela agama. Kadang balas dendam kepada orang lain dikamuflasekan atas nama agama, aqidah dan keimanan. Namun pada hakikatnya dia hanya membela diri sendiri, dan untuk memuaskan hawa nafsunya, lalu merasa membela Allah Ta’ala. Ada juga yang kemudian mengatasnamakan ‘izzah (kemuliaan jiwa). Mungkin dia mau menunjukkan bahwa orang mukmin adalah orang yang memiliki ‘izzah, karena ‘izzah itu milik Allah Ta’ala, rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman. Namun, dalam prakteknya, kadang dia membalas dendam dan tidak terima dengan semua ejekan atau hal-hal yang menjatuhkan harga dirinya, yang sebenarnya bukan atas nama kemuliaan sebagai seorang mukmin tapi karena dia tidak rela namanya disinggung kemudian diejek oleh orang lain.

Banyak orang rancu atau mencampuradukkan antara sikap mempertahankan diri sendiri serta hawa nafsunya dan mempertahankan agama, juga kemuliaan sebagai seorang mukmin atau kemuliaan pribadinya. Hingga apabila marah dan membalas, dia menyangka hal ini dalam rangka mempertahankan jati diri-nya sebagai seorang mukmin. Padahal sebenarnya dia mempertahankan hawa nafsunya, lalu mengais-ngais pembenaran melalui firman Allah Azza Wa Jalla,

وَالَّذِينَ إِذَا أَصَابَهُمُ الْبَغْيُ هُمْ يَنتَصِرُونَ

“Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim mereka membela diri.” (Qs: As-Syura : 39).
Padahal sudah ma’lum, bahwa ayat ini dan ayat-ayat lain yang semisal, menjelaskan tentang keutamaan sikap ‘afuu, sikap pemaaf kepada orang yang menyakiti dan merendahkan diri kita. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

وَلا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ

“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka orang-orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang amat setia”. (Qs: Fushilat : 34).
Dan tiada yang sanggup atau diberikan sifat tersebut kecuali orang-orang yang sabar. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ

“Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar, dan tidak dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar”. (Qs: Fushilat : 35).
Akan tetapi, datang-lah setan mendorongnya untuk membela dirinya dan beranggapan jika tidak dilakukan pembelaan ini, ia akan dianggap lemah, manusia akan mencelanya dengan mengatakan dirinya “lemah” atau “kurang”. Padahal Allah Jalla Wa ‘Ala berfirman,

وَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“Dan jika syaitan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.( Qs: Fushilat :36).

Berapa banyak orang-orang lupa, bahwa Allah Ta’ala menyifati diri-Nya dengan sifat ini serta memberi pujian bagi orang-orang yang mau melakukannya.
Ayyuhal Ikhwan, banyak sekali contoh dari sikap salafus shalih yang patut kita teladani berkaitan dengan sifat ‘afuu. Di sini kami tidak banyak gunakan sebagai contoh dari Rasulullah shallallahu alaihi wasalam, lantaran beberapa sebab. Pertama, karena akhlak Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah akhlak Al-Quran, sebagaimana disampaikan Ummul Mu’minin A’isyah radhiallahu anha,

“Sungguh akhlak beliau (Nabi shallallahu alaihi wasallam) adalah al-Quran.”

Karena akhlak beliau adalah Al-Quran, maka jelas kita meyakini bahwa dari sisi akhlak beliaulah yang paling mulia, paling lapang dada dan berjiwa besar. Kedua, agar orang tidak beralasan, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dapat bersifat lapang dada, berjiwa besar dan mudah memaafkan karena beliau adalah rasul, maksum dan telah disucikan oleh Allah Ta’ala. Beliau telah disucikan dari bagian setan, dibersihkan dadanya dari bagian-bagian setan pada masa kecil dan saat isra’ dan mi’raj. Dimana hal ini kemudian dijadikan sebagai alasan untuk membenarkan perbuatan-perbuatan salahnya. Olehnya, kami mengangkat contoh dari kehidupan para salafus shalih agar orang tidak beralasan dengan alasan-alasan tersebut di atas. Dan agar kita dapat menakar seberapa jauh akhlak kita dibanding akhlak mereka. Yang paling penting adalah, kita mau merubah akhlak dan tidak perlu melihat contohnya dari siapapun. Artinya, kendati contohnya bukan dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, yang utama di sini adalah upaya untuk memperbaiki akhlak kita.
Ayyuhal ikhwan, cobalah uji bagaimana sikap kita terhadap orang yang berbeda dengan kita, yakni berbeda dalam aqidah dan manhaj. Apakah sikap setiap kita seperti dicontohkan para salafus shalih atau tidak? Sekarang kita lihat orang yang tidak memiliki keimanan sama sekali, maka sebagimana keyakinan Ahlu Sunnah wal Jamaah kita tidak boleh memberikan wala’ sedikitpun kepada orang tersebut.

لا تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ

“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.” (Al Mujaadilah:22).
Berbeda dengan orang yang pada dirinya masih terdapat amal shalih dan amal sayyi’ (amal yang tidak baik), terkumpul padanya syubhat, bid’ah, kesesatan atau syahwat, serta kebaikan dan maksiat, maka wala’ dan baro’ kita terbagi, tidak diberi al-wala’ seratus persen, dan tidak pula diarahkan padanya al-baro’ seratus persen. Sebab aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah dalam masalah ini jelas, bahwa kita mencintai seseorang sesuai kadar keimanan dan ittiba’-nya pada sunnah, dan kita benci pada orang yang sama sesuai kadar penyimpangannya dari syariat ini.
Inilah yang kadang menjadi rancu pada sebagian orang ketika bermuamalah dengan orang lain yang berbeda. Seharusnya diberikan sikap yang menjadi ciri aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah terhadap orang yang dalam dirinya ada keimanan dan maksiat, keimanan dan bid’ah, keimanan dan syubhat, maka wala’ kita tidak diberikan seratus persen dan tidak juga ditinggalkan keseluruhannya. Yang diarahkan padanya wala’ secara sempurna hanyanya kepada orang yang beriman dengan sempurna. Adapun terhadap orang yang beriman namun masih tercampur amal shaleh dan amal buruk, masih ada dalam dirinya bid’ah maka wala’ kita tidak diberikan seratus persen. Kita mencintai seseorang sesuai kadar keimanan dan ittiba’-nya terhadap sunnah, dan membenci sesuai kadar penyimpangannya dari sunnah. Sayangnya, inilah yang digunakan sebagai alasan oleh orang untuk membela dirinya dengan mengatasnamakan dien, agama, dan sunnah.
Bercerminlah pada diri Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah, Imam Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Beliau dirantai dan disiksa dari satu penjara ke penjara lain. Didera pada siang hari di bulan Ramadhan dalam keadaan berpuasa. Dijebloskan dalam penjara sementara darah segar masih menetes dari tubuhnya. Semua ini terjadi saat fitnah khalqil Quran (para ahlu bid’ah dan penguasa memaksa Imam Ahmad mengatakan “al-Quran itu makhluk”, padahal al-Quran bukan makhluk akan tetapi Firman Allah). Kita perhatikan, ketika beliau marah, marahnya bukan untuk membalas. Beliau marah bukan untuk hawa nafsunya, akan tetapi marahnya karena Allah Ta’ala. Makanya tidak berat beliau mengatakan ”Semua yang pernah membicarakan-ku maka mereka semua halal dan aku maafkan. Dan aku-pun memaafkan Abu Ishaq (Raja Mu’tashim yang telah memenjarakan dan menyiksanya dengan siksaan berat).” Dan kemudian beliau mengatakan “Aku maafkan Abu Ishaq, sebab aku melihat firman Allah Ta’ala:

وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ

“Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu?” (QS. An Nuur: 22).
Tidakkah kita melihat, Allah Ta’ala maha pengampun lagi maha pemurah. Jadi, ini menunjukkan bagaimana Allah Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya memberi maaf kepada orang lain. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan Abu Bakar radhiallahu anhu untuk memberi maaf sebagaimana dalam kisah tuduhan palsu pada diri ‘Aisyah radhiallahu anha, yang oleh kaum munafiqin difitnah telah melakukan perbuatan zina dengan salah seorang shahabat.
Apa manfaatnya bagi diri kita jika seandainya Allah Ta’ala mengadzab seseorang hanya untuk kepentingan kita? Atau untuk memuaskan hawa nafsu dan membalas dendam kita?
Imam Ahmad rahimahullah telah disiksa dan diperlakukan secara zalim. Namun beliau tidak pernah membuka lagi catatan-catatan masa lalu saat ketika disiksa, tidak ingin mengingat orang-orang yang dahulu pernah terlibat dalam penyiksaan beliau, serta tidak pernah mengungkit-ungkit lagi bahwa “si fulan yang dulu mengejek saya, si fulan yang dulu begini dan begitu”. Beliau tidak membuat perhitungan dengan orang-orang tersebut, bahkan menghamparkan pintu maaf yang seluas-luasnya bagi semua orang-orang tersebut.
Contoh lain yang sangat mulia adalah perkara Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah yang divonis kafir dan difatwakan bahwa darahnya halal oleh para ulama di zamannya. Beliau dicampakkan dari satu penjara ke penjara lain kemudian disiksa dari waktu ke waktu. Namun setelah beliau bebas, beberapa ahlu bid’ah dan orang-orang yang ingin membela beliau datang memohon maaf pada beliau.
Salah satu musuh utama beliau adalah seorang ulama Madzhab Maliki yang bernama Ibnu Makhluf. Ia wafat pada masa Ibnu Taimiyah. Salah satu murid Ibnu Taimiyah, yakni Ibnul Qayyim al-Jauziyyah mengetahui prihal kematian Ibnu Makhluf, lalu bersegera menemui Ibnu Taimiyah dan menyampaikan kabar gembira ini. Akan tetapi, lihatlah reaksi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah kala menyaksikan muridnya memberitahukan kematian musuh besarnya, kita lihat apakah beliau sujud syukur? Apakah beliau mengatakan ‘Alhamdulillah’ maha suci Allah yang telah menyelamatkan kaum muslimin dari kejahatannya’? Tidak, tidak seperti yang dilakukan oleh orang-orang sekarang. Syaikhul Islam terhadap musuh besarnya, Ibnu Makhluf saat meninggal beliau tidak sujud syukur, tidak pula mengucapkan kalimat-kalimat yang menggambarkan kebenciannya. Tidak seperti yang dilakukan oleh sebagian orang sekarang. Begitu bencinya kepada seseorang sehingga ketika mendengar kabar kematian orang yang dibencinya, ia mengeluarkan ungkapan-ungkapan yang tidak layak diucapkan oleh seorang muslim.
Bahkan Syaikhul Islam menghardik Ibnul Qoyyim kemudian mengingkari perbuatannya karena menyampaikan kegembiraan atas kematian musuh besar beliau, lantas beliau mengucapkan kalimat istirja’, “inna lillaahi wa inna ilaihi raaji’un”, dan bersegera mengunjungi rumah Ibnu Makhluf, berta’ziah dan kemudian mengatakan kepada keluarga, anak dan istri Ibnu Makhluf, “Sungguh saat ini status saya seperti bapak bagi kalian. Tidak ada sesuatu pun yang kalian butuhkan melainkan aku akan berusaha memenuhi kebutuhan kalian.” Akhirnya mereka, keluarga Ibnu Makhluf, senang dan menghadiahkan doa bagi Syaikhul Islam.
Perhatikan keadaan musuh besar beliau. Dan kita tahu, kalau seorang itu musuh besar Ibnu Taimiyah, pasti orang ini aqidah-nya bermasalah. Namun ketika meningggal dunia, Syaikhul Islam mendatangi rumahnya dan menyampaikan bahwa mulai hari ini semua kebutuhan keluarganya menjadi tanggungan Syaikhul Islam. Pertanyaannya, siapa diantara kita yang bisa berbuat seperti ini?! Siapa diantara kita yang ketika musuhnya meninggal lalu mendatangi keluarganya, mendatangi anak-anaknya kemudian berta’ziah kepada mereka? Siapa diantara kita yang bisa sampai mengatakan, bahwa tidak ada keperluan yang kalian butuhkan melainkan aku akan penuhi kebutuhan tersebut? Siapa diantara kita yang bisa berbuat seperti itu?! Hanya orang-orang yang berjiwa besar. Bahkan kalau kita mau jujur, tidak hanya itu, bahkan kepada teman dekat pun kita belum bisa berbuat seperti itu apalagi terhadap musuh.
Sekarang kalau kita mau jujur pula, jangankan musuh kepada teman kita saja tidak seperti itu. Ini bukti bahwa ukhuwah kita buruk sekali. Kalau teman kita ada yang terkena musibah seperti itu, diantara kita siapa yang dapat berlaku dan berbuat seperti itu? Ada teman yang keluarganya meninggal, maka saksikanlah, adakah diantara kita yang datang kepada keluarganya dan mengatakan “saya akan memenuhi kebutuhan kalian”.
Yah, Syaikhul Islam rahimahullah mendatangi orang yang telah menfatwakan dirinya telah kafir. Ini bukti bahwa orang itu sangat amat mememusuhi Syaikhul Islam. Jika kita katakan dia ahli bid’ah, tentu sifat-sifat ini ada pada diri Ibnu Makhluf. Akan tetapi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah bersikap lebih besar dari itu, dan ini sekali lagi menunjukkan bahwa beliau bukan seorang yang berjiwa kerdil.
Ayyuhal Ikhwan, seandainya perangai kita seperti akhlak ini, tentu kita dapat lebih banyak meraih hati orang. Tetapi kadang kita memperlakukan mereka (orang yang berbeda dengan kita atau orang yang menyakiti kita) seperti dalam ayat-ayat yang Allah tegaskan, bahwa ia ditujukan kepada kaum munafiqin. Yakni, tidak boleh istigfar (memohonkan ampunan) untuk mereka, tidak boleh menyolatkan mereka, tidak boleh (ikut) menguburkan mereka dan selainnya. Celakanya, hukum-hukum ini kita aplikasikan kepada orang yang kami sebutkan (dan masih berstatus sebagai seorang mukmin).
Yah, kadang kita bermuamalah pada sebagian kaum muslimin dengan model muamalah seperti disebutkan dalam al-Qur’an, yakni muamalah dengan orang munafiqin. Kita menjadi orang-orang yang asyida’ alal Mu’minin, [orang yang sangat keras kepada orang mukmin]. Kita menjadi orang-orang yang keras kepada ahlu iman padahal Allah Ta’ala menyifati orang-orang mukmin dan para shahabat yang bersana Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai orang-orang yang Asyida’ ‘alal kuffar ruhamaa’u bainahum [keras terhadap kaum kuffar dan saling berkasih sayang di antara mereka (kaum mukminin)]. Sayangnya, kita kemudian menjadi orang yang terbalik. Kepada orang-orang yang beriman kasarnya luar biasa, namun kepada orang-orang kafir tidak ada sikap keras (sebagai bentuk ‘izzah).
Perhatikan, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang telah mencapai kesempurnaan dan kemuliaan akhlak masih saja diperintahkan oleh Allah Ta’ala bersikap lemah lembut, sebagaimana dalam firman-Nya:

وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظً الْقَلْبِ لَا نْفَضُوْا مِنْ حَوْلِكَ

“Seandainya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu”
Ayat ini diturunkan kepada nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam sebagai pelajaran bagi beliau dan selainnya. Jika saja Rasul berbuat kasar tentu orang akan lari darinya, maka bagaimana dengan yang bukan rasul. Padahal Rasul mendapat banyak dukungan untuk kemudian diterima dakwahnya, beliau mendapat wahyu, ma’sum, memiliki akhlak yang mulia, dan sebagiainya. Dan disamping itu semua, tetap saja masih diperintahkan bersikap lemah lembut, hingga Allah Ta’ala tegaskan:

وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظً الْقَلْبِ لَا نْفَضُوْا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَ اسْتَغْفِرْ الَهُمْ وَ شَاوِرُهُمْ فِي الْآَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى الله

“Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu (urusan peperangan dan hal duniawiah yang lain). Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekat, maka bertawakallah kepada Allah” ( Qs: Al Imran : 159).
Sekarang mari kita tengok contoh ketiga, yakni dari diri Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, saat bermuamalah dengan Abdullah bin Ubay bin Salul. Abdullah bin Ubay terkenal sebagai tokoh kaum munafiqin di masa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Semua orang tahu, bahwa Abdullah bin Ubay ini adalah ra’sul munafiqin, imamnya orang-orang munafiq, sebagaimana ditunjukkan oleh sikapnya terhadap Islam. Saat perang Muraysi’ pecah, dia mengatakan, “Perumpamaan kita dengan Muhammad dan para shahabatnya adalah seperti kata pepatah, “beri makan terus anjingmu, nanti kalau sudah besar ia akan memangsamu.” Artinya, ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para shabatnya kita beri kesempatan, mereka akan menindas kita. Ini kata Abdullah bin Ubay dan orang-orang munafiq yang bersamanya. Ia juga mengatakan “jangan kalian infakkan apa yang ada ditangan kalian kepada orang-orang yang bersama Muhammad supaya mereka menjauh dari Muhammmad.” Demikianlah ucapan Abdullah bin Ubay, dan ini hanya sebagian dari sikap mereka (yang menyakitkan) terhadap Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para shahabatnya, agar jangan diberikan apapun dan agar mereka tidak betah dan memutuskan keluar dari Madinah.
Coba kita perhatikan tatkala Abdullah bin Ubay meninggal, apa yang dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam? Beliau mendatangi kuburnya. Memberikan pakaian beliau kepada putranya, dan kemudian memberi kain untuk dijadikan kafan untuk Abdullah bin Ubay. Padahal orang ini ra’sul munafiqin, imamnya orang-orang munafiq, jelas-jelas orang munafiq, bahkan ditegaskan oleh nash, namun Rasulullah tetap datang ke kuburnya. Kemudian kita lihat ia bukanlah hanya sekedar orang munafiq, bahkan merupakan ra’sul munafiqin, tetapi masih diberikan kain kafan, didatangi kuburnya dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memintakan ampun kepada Allah Ta’ala. Coba bayangkan, beliau mendatangi kuburnya dan memintakan ampun kepada Allah untuk imamnya orang-orang munafiq, hingga turun firman Allah yang melarang Rasul demikian.(memintakan ampunan). Disini dapat kita saksikan ketinggian jiwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk memintakan ampun kepada orang yang selama ini menyakiti beliau. Kalau sendainya itu terjadi pada kita, mungkin kita akan mengatakan “mampus, biar sekalian mati!!”, akan tetapi, beliau memohonkan ampunan, baru setelah itu turun larangan memintakan ampun untuk orang-orang munafiq dan orang kafir,

إِنْ تَسْتَغْفِرُ لَهُمْ سَبْعِيْنَ مَرَّةً فَلَنْ يَغْفِرَ اللهُ لَهُمْ

“Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan merberi ampun kepada mereka” (Qs: al-Taubah : 80).
Berkenaan dengan ayat ini, beliau bersabda: “Seandainya saya tahu, jika beristighfar lebih dari tujuh puluh kali akan diampuni, saya akan melakukan lebih dari tujuh puluh kali” atau sebagaimana sabda beliau shallallahu alaihi wasallam. Ini kepada imamnya orang-orang munafiq, seandainya beliau memintakan ampun lebih dari tujuh puluh kali akan diampuni, niscaya beliau akan melakukannya. Lihat akhlak Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam terhadap imamnya orang-orang munafiq. Kepada orang yang sudah lama sekali mengganggu dan menyusahkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam serta orang-orang yang bersama beliau. Orang inilah yang telah membuat tuduhan palsu kepada ‘Aisyah radhiallahu anha, dia juga yang mencemarkan kehormatan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Sekali lagi, bercerminlah pada sosok mulia seperti ini, beliau masih mau mendatangi kuburnya, lalu memberikan kain kafan seraya memintakan ampun kepada Allah Ta’ala. Siapa diantara kita yang bisa berjiwa besar seperti ini?
Jangan difahami bahwa kita ingin mengaburkan aqidah wala’ wal bara’ seperti yang telah kita sebutkan di atas. Harus dipahami aqidah wala’ wal bara’ mana yang dinamakan aqidah wala’ wal bara’ itu, bagaimana sikap Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para Salafus Shalih berkaitan dengan orang-orang yang berbeda atau menyimpang. Harus dibedakan antara wala’ dan bara’ dengan hawa nafsu. Al wala’ wal bara’ jalas ada dalam hati kita. Sikap terhadap orang lain, kemudian hawa nafsu kita juga sesuatu yang lain, adalah dua hal yang harus dibedakan.
Seorang da’i tidak pantas memiliki sifat-sifat seperti ini (intishar ala an-nafsi dan keras terhadap sesama muslim). Kalau da’i seperti ini, kerusakan akan lebih besar daripada manfaat. Dimana ia mendoakan kejelekan bagi si fulan pada sepertiga malam terakhir, kemudian melaknat fulan, mencaci maki fulan dan menyatakan bahwa Allah Ta’ala tidak mungkin memberikan ampun kepadanya. Orang semacam ini lebih pantas memperbaiki dirinya sendiri dahulu, baru kemudian memperbaiki orang lain. Karena bisa jadi, mafsadatnya jauh lebih besar daripada maslahatnya bagi orang lain (baca: ummat). Sebab dia sendiri belum berhasil memperbaiki diri dan jiwanya, hingga ketika dia memperbaiki orang lain tentu akan lebih berat. Karena kenyataannya, yang terjadi hanya bermasalah dengan si fulan, kemudian bermusuhan dan bertikai dengan orang lain dan seterusnya.
Saat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sakit menjelang wafatnya, di dalam penjara dan bukan di rumah, beliau dicegat melakukan seluruh aktivitas hingga tidak diberikan pena untuk menulis. Walau demikian, beliau tetap menulis, memberi fatwa kepada kaum muslimin, hanya dengan mengunakan arang hingga akhirnya beliau dilarang menulis sama sekali. Segala aktivitasnya diawasi oleh Ahlu Bid’ah lalu disampaikan kepada penguasa.
Hingga suatu ketika sebagian ahlu bid’ah ini mendatangi Syaikhul Islam di dalam penjara, lalu memohon maaf kepada Syaikhul Islam, lantaran menjadi sebab Syaikul Islam dijebloskan dalam penjara. Maka lihatlah, ikhwah fillah, bagaimana jiwa besar beliau. Tenang beliau mengatakan: “Aku telah maafkan Anda, Aku juga sudah memaafkan Raja Nashir yang memenjarakan saya”. Beliau memaafkan orang yang memasukkan beliau ke penjara, serta semua orang yang menjadi sebab beliau masuk penjara. Semoga bermanfaat. Bersambung…

sumber : alinshof.com