oleh Abu Naufal Ja’far
Sebagai seorang manusia, sangat mudah untuk menginginkan sesuatu, sangat mudah menetapkan tujuan, sangat mudah untuk bermimpi (baca: bercita-cita). Akan tetapi ketika apa yang kita inginkan, apa yang telah kita tetapkan, apa yang telah kita cita-citakan menemukan kesulitan, tidak sedikit dari kita mulai merasa lelah, motivasi mulai menurun, dan juga kita mudah menyerah. Kita pun mulai membuat berbagai alasan dan kehilangan harapan. Setiap kali merasa seperti ini, kita tidak perlu cemas apalagi menyerah, sebab Allah subhanahu wa ta’ala menyediakan “senjata” untuk kita. “Senjata” untuk melawan kecemasan, putus asa dan ketakutan untuk memuluskan cita-cita. Do’a, itulah senjata yang Allah subhanahu wa ta’ala sediakan bagi kita, senjata yang banyak dilupakan oleh kaum mukminin saat ini.
Do’a merupakan ungkapan perasaan dan permohonan seorang hamba kepada Allah subhanahu wa ta’ala, Pemilik, Pemelihara dan Penguasa alam semesta. Do’a juga merupakan wujud ketundukan, kecintaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala serta kesadaran seorang hamba akan kelemahan dirinya dan kebesaran serta keagungan Penciptanya. Sesungguhnya dalam do’a ada kekuatan, keyakinan dan optimisme dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan. Besarnya keutamaan serta pentingnya do’a diperkuat dengan adanya perintah Allah subhanahu wa ta’ala kepada hamba-hamba-Nya untuk meminta dan berdoa kepada-Nya,
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
“Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina” (Q.S Al Mu’min: 60)
Maha suci Allah Yang Maha Agung, yang melimpahkan karunia dan anugerah tak terhingga. Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan permohonan hamba atas segala kebutuhan sebagai bentuk ibadah kepada-Nya. Dia juga memerintahkan manusia untuk berdo’a dan mencela siapa saja yang meninggalkan do’a dengan celaan yang keras dan menggolongkannya sebagai orang yang sombong.
Dalam ayat lain, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي |
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku…” (Q.S Al Baqarah: 186)
Di dalam sunan Ibnu Majah, dari Abu Hurairah, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang tidak meminta kepada Allah niscaya Dia akan murka kepadanya” (HR. At- Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Hadist ini menunjukan bahwa ridha Allah terletak pada permohonan dan ketaatan kepada-Nya. Jika Allah subhanahu wa ta’ala ridha, maka seluruh kebaikan akan berada dalam ridha-Nya, sebagaimana setiap bencana dan musibah itu terjadi karena kemaksiatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan murka-Nya.
Tentang keutamaan do’a yang lain, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullahu ta’ala dalam kitabnya Ad-Daa’ wad Dawaa’ mengatakan do’a termasuk obat yang sangat bermanfaat sekaligus mengurangi bencana yang menimpa. Ketika bersanding dengan musibah, do’a mempunyai tiga kondisi sebagai berikut:
- Do’a lebih kuat daripada musibah. Maka dari itu, do’a mampu mencegah terjadinya musibah.
- Do’a lebih lemah daripada musibah. Akibatnya, do’a terkalahkan sehingga musibah menimpa orang yang bersangkutan. Akan tetapi, do’a bisa meringankan musibah tersebut meskipun hanya sedikit.
- Satu sama lain saling menyerang dan saling menghilangkan.
Do’a adalah senjata kaum mukminin yang sangat ampuh, lihatlah bagaimana perjuangan Rasulullah dan para sahabat-Nya diperang badar, meskipun sedikit jumlah kaum muslimin yang ikut berperang saat itu, akan tetapi kemenangan berada ditangan kaum muslimin. Kemenangan besar ini tidak terlepas dari do’a Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam dan para sahabat-Nya yang diijabah oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana yang diabadikan dalam Al-Qur’an,
إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ أَنِّي مُمِدُّكُمْ بِأَلْفٍ مِنَ الْمَلَائِكَةِ مُرْدِفِينَ
”(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: “Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut”. (Q.S Al Anfaal: 9)
Dahulu, ’Umar Bin al-Khaththab radiyallahu ‘anhu memohon pertolongan atas musuhnya dengan do’a, bahkan ia menganggap do’a sebagai tentaranya yang terhebat. Beliau berkata kepada para sahabatnya: ”Kalian tidak mendapat pertolongan dengan jumlah kalian yang banyak, tetapi kalian mendapatkan pertolongan dari langit”.
Demikianlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat-Nya selalu menyertakan do’a dalam setiap perjuangan mereka. Maka sudah sepantasnya bagi kita yang mengaku pengikut Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang berjuang dalam dakwah untuk menegakan kalimat tauhid, tidak boleh hanya mengadalkan banyaknya jumlah dan besarnya kekuatan yang kita miliki. Do’a, memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala harus senantiasa diikutkan dalam setiap perjuangan, sekecil apapun perjuangan tersebut. Ketauhilah bahwasanya do’a yang kita panjatkan tidak akan merugikan dan membinasakan kita. Oleh karena itu, kita tidak boleh lemah apalagi berputus asa dalam berdo’a.
Do’a memiliki kedudukan sebagaimana layaknya senjata. Kehebatan sebuah senjata sangat bergantung kepada pemakainya, bukan hanya ketajamannya. Jika senjata tersebut adalah senjata yang sempurna, tidak ada cacatnya, lengan penggunannya adalah lengan yang kuat, serta tidak ada suatu penghalang, maka tentulah ia mampu dipakai untuk menghantam dan mengalahkan musuh. Namun apabila salah satu dari tiga hal tersebut hilang, maka efeknya juga melemah dan berkurang. Begitu pula do’a, jika do’a tersebut pada dasarnya memang tidak layak, atau orang yang berdo’a tidak mampu menyatukan antara hati dan lisannya, atau ada sesuatu yang menghalangi terkabulnya do’a tersebut, maka tentu saja efeknya juga tidak ada. Oleh karena itu, dalam berdo’a hendaknya memperhatikan adab-adab.
Diantara adab yang harus diperhatikan dalam berdo’a adalah:
- Hendaknya memilih waktu yang mulia, seperti hari arafah, bulan ramadhan, hari Jum’at, dan waktu sahur (penghujung malam). Juga situasi yang baik, seperti ketika turun hujan, disaat sujud dan diantara adzan dan iqamah.
Abu Hurairah radiyallahu ’anhu meriwayatkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, ”Saat seorang hamba paling dekat dengan Rabb-Nya adalah ketika ia bersujud. Oleh karena itu perbanyaklah do’a (disaat sujud)” (HR. Muslim)
Dalam hadist lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Do’a antara adzan dan iqamah itu tidak tertolak” (HR. At-Tirmidzi)
- Optimis dan yakin bahwa do’anya akan dikabulkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya,
”Janganlah seseorang dari kalian mengatakan, ya Allah ampunilah aku jika Engkau menghendaki! Ya Allah kasihanilah aku jika Engkau menghendaki! Tetapi, hendaklah bersungguh-sungguh dalam meminta, sebab tidak ada yang bisa memaksa-Nya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
- Hendaknya dalam keadaan suci, menghadap kiblat, dan mengulang do’anya tiga kali.
- Memulai dengan pujian kepada Allah I, baik dengan nama-nama-Nya ataupun sifat-sifat-Nya juga atas karunia-Nya yang banyak, lalu bershalawat untuk Rasulullah e. Sesudah itu barulah menyebutkan permintaannya. Kemudian menutupnya dengan membaca shalawat dan kembali memuji Allah.
- Mengisi perutnya dengan makanan yang halal saja. Tidak berdo’a untuk suatu dosa atau pemutusan hubungan silaturrahim.
لَا يَزَالُ يُسْتَجَابُ لِلْعَبْدِ مَا لَمْ يَدْعْ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيْعَةِ رَحِمٍ مَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ
“Akan selalu do’a seorang hamba dikabulkan selama ia berdo’a untuk sebuah dosa, pemutusan silaturahmi serta selama ia tidak meminta dikabulkan dengan segera. (HR. Muslim)
- Tidak menuntut segera dikabulkan. Tidak pula mengatakan, ”Aku sudah berdo’a, tapi mengapa belum juga dikabulkan?”. Sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَسْتَجَابُ لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ يَقُوْلُ: دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَابْ لِيْ
”Do’a masing-masing kalian akan dikabulkan selama ia tidak tergesa-gesa. Yaitu dengan berkata: “Saya sudah berdo’a, tetapi belum juga dikabulkan”. (HR. Bukhari)
Menjelaskan hadist di atas Ibnu Bathal berkata, “artinya orang itu telah bosan berdo’a, sehingga meninggalkannya. Ia seperti orang-orang yang mengungkit do’anya. Atau seakan-akan ia berdo’a dan ia pula yang menetukan perihal pengabulannya. Ia menjadi pengatur bagi Rabb yang Maha Mulia, dimana mengabulkan do’a tidak membuat-Nya lemah, demikian juga kalau Dia memberi tidak mengurangi kekayaan-Nya”.
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa memberi kita kekuatan untuk mengamalkan do’a.
Maraji’
- Ad-daa’ wa Ad-dawaa’ oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah
- Tazkiyatun Nafs oleh Ibnu Rajab al-Hambali
- Sirah Nabawiyah oleh Syaikh Syafiurrahman al-Mubarakfury
- 3 Landasan Utama oleh Syaikh Muhammad at-Tamimi