Entah sudah berapa banyak harta kita yang satu ini tercuri setiap harinya. Anehnya, jarang sekali yang merasa telah menjadi korban pencurian. Mungkin hanya sedikit sekali yang melakukan pengaduan kepada yang berhak menerima pengaduan atas kasus ini. Lebih parahnya lagi, tidak sedikit yang tidak merasa dirugikan dalam kasus pencurian ini. Masya Allah! Padahal kasus pencurian yang satu ini bisa dikategorikan sangat merugikan korbannya, lho. Bayangkan saja! Sekali tercuri, harta yang satu ini nggak bakalan bisa diambil lagi alias raib alias hangus bin musnah bin tak tergantikan. Nggak ada yang namanya ganti rugi atas kasus pencurian yang satu ini.
Naasnya, harta itu sebenarnya bukan milik kita. Lho, kok? Ya iyalah. Harta itu merupakan amanah yang harus kita pertanggungjawabkan penggunaannya. Apesnya, ntar kalau pas dimintai pertanggungjawaban, kita kehilangan dalih, nggak bisa berargumen alias membela diri. Buntut-buntutnya, kita bakalan nyesal. Nyesal dimana penyesalan itu sudah nggak ada artinya lagi. Rugi banget, kan?! Harapannya ya kita jangan sampai mengalami kejadian tragis seperti itu. Tapi, kira-kira kita punya antisipasi nggak ya?
Mungkin …, beberapa orang di sekitar kita –atau malah kita sendiri (?)– disibukkan dengan sandal butut yang dicuri orang saat ikut jama’ah sholat di masjid. Akibatnya, kejadian itu dijadikan sebagai hujjah atau alasan untuk jauh-jauh dari yang namanya masjid –alasan yang tidak beralasan, bukan?–. Bahkan dari sepasang sandal butut yang terpaksa raib karena diminati orang lain tanpa sepengetahuan kita, adrenalin naik tanpa terkendali. Ups, sampai-sampai penghuni kebun binatang kita daftar semua. Masya Allah …! Itu sekedar kisah sandal butut yang sangat disayang sang pemilik dan terpaksa berpindah tangan.
Tapi …, pernahkah kita bersedih hati dan menangis saat kehilangan waktu? Pernahkah kita berpikir saat kongkow-kongkow, ngobrol tanpa tujuan yang bermanfaat, melamun, nonton tayangan televisi tanpa peduli gadhul bashar (menjaga pandangan), atau melakukan berbagai keisengan, sebenarnya kita telah membiarkan sang pencuri waktu beraksi? Jika gelengan kepala mewakili jawaban kita, tentunya keadaan ini sangat patut kita sayangkan. Bisa jadi kita masuk kategori PGD –pasien gawat darurat– yang perlu terapi ruhiyah secepatnya.
Sejak zamannya Mbah Utsman –bahkan jauh-jauh sebelum zaman itu–, semua orang juga sudah tahu –kecuali yang belum tahu– bahwa tidak ada yang namanya waktu itu dapat diulang. Sekalipun ada yang namanya ulang tahun, atau ulang bulan, atau ulang hari, atau apalah …. Sekalipun ada siaran ulang sepak bola Liga Inggris atau siaran ulang lawakan konyol atau siaran ulang idol-idolan atau apalah …. Toh fakta di depan mata menunjukkan tidak adanya pengulangan waktu sepersekian juta detik sekalipun! Meskipun merangkak pelan, waktu terus saja menggilas batang usia kita. Merapuhkan kokohnya jasad kita. Mengerogoti daya ingat kita. Mengantar kita sampai di titik fana …. Kematian!
Ya, meskipun setiap hari bertemu dengan hangatnya sinar matahari pagi, kita tetap dihadapkan pada kenyataan bahwa pagi ini tidak sama dengan pagi kemarin, tidak juga sama dengan pagi besok. Pagi ini adalah pagi ini, tidak ada arti lain. Sepakat?!
Semoga kita masih bisa menjaga harta yang tersisa dengan sebaik-baiknya sebelum kita sampai di titik fana. Sebelum cacing-cacing tanah berpesta menikmati jasad kita yang rapuh. Semoga ….
(ummisanti)