Bedanya kita dengan Para Shahabat Rasulullah ﷺ
February 25, 2016
Sebesar Itukah Kebencianmu Kepada Kami?
February 28, 2016
Bedanya kita dengan Para Shahabat Rasulullah ﷺ
February 25, 2016
Sebesar Itukah Kebencianmu Kepada Kami?
February 28, 2016

Bedanya kita dengan Para Shahabat Rasulullah ﷺ

Bismillah, Alhamdulillah, segala pujian hanya untuk Allah subhanahu wata’ala, Rabb semesta Allah. Shalawat dan salam marilah kita haturkan kepada Rasulullah Muhammad ﷺ serta kepada para shahabat radhiyallaahu ‘anhum ajma’in.

Pembaca sekalian yang semoga senantiasa mendapatkan kenikmatan dari Allah berupa iman dan petunjuk, marilah kita berkaca, dan merenungi sejenak perjalanan hidup kita, dan perjalanan kita dalam belajar Islam serta dalam beribadah kepada Allah. Sudah berapa lama kita hidup? Dan sudah berapa lama kita mengenal islam, dan sudah berapa lama kita beribadah kepada Allah? Dan sudah berkualitaskah ibadah-ibadah itu?

Dan kita mari kita bandingkan pula kualitas Islam kita dengan para shahabat Rasulullah ﷺ, Generasi yang Terbaik itu. Penulis memilih menggunakan kata “Terbaik”, karena sampai tulisan ini  dibuat, belum pernah penulis temukan generasi yang kualitasnya melebihi generasi para Shahabat ini. Tidak pernah dijumpai pada generasi sebelum Rasulullah diutus sekalipun. Sebutlah misalnya generasi terbaik Nabi Isa ‘alaihissalam, para hawariyyun. Bandingkan jumlahnya dengan dengan para shahabat Rasulullah, sangat jauh. Sebagian pendapat mengatakan hawariiyun berjumlah 12 orang. Sedangkan sahabat Rasulullah yang dijamin masuk surga ada 10, dan selain itu banyak pula yang keimanan, ketaqwaannya, dan pengorbanannya sangat luar biasa, meskipun mereka tidak masuk daftar jaminan surga tersebut. Merekalah generasi terbaik.

Mungkin pada masa-masa lain kita akan menjumpai orang-orang yang kualitasnya seperti para shahabat ini, namun tidak pernah kita jumpai hal ini dalam sebuah generasi. Hanya sebagian saja, bukan generasi. Rasulullah ﷺ bersabda :
“Sebaik-baik umat manusia adalah generasiku (sahabat), kemudian orang-orang yang mengikuti mereka (tabi’in) dan kemudian orang-orang yang mengikuti mereka lagi (tabi’ut tabi’in).” (Muttafaq ‘alaih)

Inilah jaminan bahwasanya mereka adalah generasi yang terbaik.

Apa rahasia keberhasilan mereka menjadi generasi terbaik?

Barangkali generasi kita dan setelah kita memang tidak akan pernah mengalahkan kemuliaan generasi shahabat untuk menjadi generasi yang terbaik. Namun tentu hal ini tidak menjadi alasan kita untuk menyerah. Kita pun memiliki kesempatan untuk meniti jalan kemuliaan para shahabat ini agar kita menjadi orang-orang yang hebat sebagaimana mereka. Kita perlu mempelajari cara yang ditempuh oleh mereka, lalu kita amalkan sehingga kita bisa menjadi seperti mereka. Meskipun kita tidak bisa mengalahkan kemuliaan mereka.

Dalam kitab Ma’alim fii ath-thoriq, Imam Sayyid Qutb menuliskan setidaknya ada tiga hal yang membuat para shahabat menjadi generasi yang gemilang kemuliaannya. Ketiga hal inilah ternyata yang membedakan generasi kita saat ini, dengan generasi para shahabat mulia itu. Marilah kita simak, dan kita perbaiki kekurangan pada diri kita saat ini.

Pertama : Rujukan generasi terbaik itu hanyalah Al-Qur’an semata, bukan lainnya. Tentunya dengan penjelasannya dari Rasulullah ﷺ. Atau dengan kata lain, rujukan para shahabat hanyalah Al-Islam.

Inilah bedanya mereka dengan kita. Para shahabat sadar sepenuhnya tentang kedudukan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup yang menyeluruh. Pedoman untuk menjalani kehidupan untuk semua aspek kehidupannya. Mereka mengimaninya sepenuhnya. Dan mereka mendudukannya sebagaimana tempatnya.

Al-Qur’an adalah rujukan dalam masalah keyakinan atau aqidah. Al-Qur’an adalah rujukan dalam perkara sosial, ekonomi, politik, kenegaraan, dan lain sebagainya. Sebagaimana jawaban ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ketika ditanya tentang akhlaq Nabi ﷺ, beliau menjawab :
“Sesungguhnya akhlaq beliau adalah Al-Qur’an” (HR Nasa’i)

Rasulullah ﷺ ketika melihat Umar ibn Khaththab sedang memegang taurat, dengan maksud untuk dipelajari, beliau berkata dengan agak marah :
“Demi Allah sekiranya Nabi Musa masih hidup bersama-sama kamu sekarang pun, tidak halal baginya melainkan mesti mengikut ajaranku.”
(Hadis riwayat Al-hafidz Abu Ya’la dari Hammad dari Asy-sya’bi dari Jabir)

Beliau menghendaki agar para shahabat terjaga dari hal-hal lain selain Al-Qur’an, bahkan dari taurat sekalipun, padahal ia adalah firman Allah kepada Nabi Musa ‘alaihissalam.

Adapun generasi kita saat ini, memang secara umum beriman kepada Al-Qur’an, namun keyakinannya tidak sepenuhnya berdasarkan Islam. Masih banyak tercampur keyakinannya dengan kebudayaan, agama terdahulu, maupun kepercayaan nenek moyang terdahulu. Dalam beriman dan berislam pun kita masih tercampur dengan cara-cara orang terdahulu dalam mempelajari agamanya, seperti hermeneutika, filsafat, dan lainnya. Dan lain sebagainya.

Inilah bedanya kita dengan mereka, para Shahabat Rasulullah ﷺ.

Kedua : Cara generasi terbaik itu dalam menerima dakwah islam yang unik. Generasi para shahabat  itu mempelajari Al-Qur’an dengan satu tujuan saja : untuk diamalkan dalam kehidupan.

Mereka, radhiyallahu ‘anhum ajmain, mempelajari Al-Qur’an layaknya seorang prajurit yang mendapatkan perintah harian dari atasannya. Perintah itu mereka tunggu-tunggu, tidak lain tidak bukan, untuk segera dikerjakan sebagai bentuk ketaatannya kepada Allah. Tidak seorang pun dari mereka belajar banyak-banyak hal serta merta, karena mereka sadar beban akan semakin banyak yang belum terlaksanakan.

Mereka, semoga Allah meridhai mereka, belajar Al-Qur’an tanpa bermaksud untuk menambah bahan bacaan semata. Tidak ada seorang pun yang belajar dengan tujuan untuk mencari hiburan atau penghapus kesedihan. Tidak ada seorang un diatara mereka yang belajar Al-Qur’an untuk menjadi bekal ilmu dan bahan akademik untuk mengisi wawasan mereka saja.

Perasaan inilah, yaitu belajar untuk mengamalkan, yang telah menambah lapangnya hidup mereka, menambah luasnya pemahaman dan pengalaman mereka terhadap Al-Qur’an. Dan ini tidak mungkin dicapai jika sekedar belajar Al-Qur’an dengan tujuan menyelidiki dan mengkaji serta membaca saja.

Dalam riwayat Ibnu Mas’ud disebutkan bahwa para shahabat mencukupkan untuk belajar Al-Qur’an setiap sepuluh ayat saja. Manakala mereka sudah belajar sepuluh ayat, kemudian mempelajari makna dan tafsirnya, lalu dihafalkan, kemudian diamalkan, dan didakwahkan kepada orang lain. Baru kemudian menambah lagi dengan sepuluh ayat berikutnya. Subhanallah, tidak heran mereka menjadi generasi terbaik. Inilah rahasinya.

Allah subhahanu wata’ala berfirman :

وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلاً
Dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian. (17:106)

Al-Qur’an yang dipelajari dengan tujuan untuk diamalkan, lalu bekerja pada diri mereka. Al-Qur’an merasuk menjadi darah, daging dan perilaku mereka. Al-Qur’an meresap, menjadi panduan dalam gerakan mereka, lalu menjadi pelajaran-pelajaran yang menggerakkan perbuatan kesehariannya. Al-Qur’an tidak hanya menjadi sekedar teori yang dihafal dalam kepala dan tertulis dalam kitab saja. Al-Qur’an menjadi lahir dalam bentuk nyata, menjadi cara pandang, dan melahirkan peristiwa-peristiwa yang mengubah arah kehidupan mereka.

Inilah bedanya dengan kita saat ini, amat sedikit diantara kita yang belajar dengan tujuan untuk diamalkan. Sebagian kita saat ini bahkan sering kali mendapati bahwa : saya sudah tahu hal itu, ataupun hal ini, ini hanya mengulang saja. Namun ternyata ilmu yang ia telah ketahui belum diamalkan sepenuhnya.

Banyak diantara kita tahu keutamaan dan hukum shalat berjama’ah, namun masih enggan melakukannya. Banyak diantara kita tahu wajibnya berdakwah, menyeru kepada Allah. Namun banyak pula yang enggan melakukannya. Adapula yang sudah melakukannya namun enggan bermujahadah pada jalan dakwah tersebut. Dan banyak pula dalam hal-hal lainnya. Pada intinya, ilmu yang telah banyak kita pelajari, tidak sebanding dengan amal perbuatan yang mestinya terlaksana.

Yang ketiga : Para shahabat begitu menerima Al-Qur’an dan diamalkan, lalu mereka meninggalkan selain darinya. Segala sesuatu selain Al-Qur’an akan dipandang dengan tatapan penuh kewaspadaan, dan kecurigaan. Baik itu berupa ajaran nenek moyang, adat istiadat masyarakat, pemahaman populer pada masyarakat maupun lainnya.

Para sahabat benar-benar menyadari bahwa Islam adalah agama yang menjadi jalan hidup yang menyeluruh, meliputi seluruh aspek kehidupan. Sehingga tidak perlu dan jangan sampai hal-hal selain dari Al-Qur’an dan selain dari syariat ini, ikut masuk dan mencampurinya.

Mereka menyadari bahwa ketika mereka masuk Islam, mengucapkan syahadatnya, hal ini berarti mereka memasuki kehidupan yang sama sekali baru. Kehidupan baru yang harusnya terpisah jauh-jauh dari kehidupan jahiliyahnya yang dulu. Mereka menganggap kehidupannya yang lama adalah kehidupan yang buruk, kotor, dan tidak sesuai dengan ajaran agamanya yang baru itu.

Mereka memiliki perasaan bahwa mereka ini terpisah dengan kehidupan jahiliyahnya yang dulu. Sehingga mereka terpisah dengan kehidupan masyarakat jahiliyahnya yang dulu. Seolah-olah hijrah  dari kehidupan lama dan meninggalkannya semuanya.

Inilah bedanya kita dengan shahabat. Mereka merasa Islam saja yang diperlukan, yang lain tidak perlu mencampurinya. Adapun kita saat ini, sebagian kita berislam dengan setengah-setengah. Dan setengahnya terisi dengan selainnya. Baik berupa adat istiadat, pandangan masyarakat, ilmu-ilmu barat, dan sebagainya.

Kita beragama Islam namun tidak menerapkan pendidikan islam pada pendidikan kita. Begitupun dalam bidang perekonomian kita, ketatanegaraan kita, sosial kita dan lainnya. Islam terkucilkan pada sudut-sudut masjid dan terjadwalkan pada bulan ramadhan saja.

Inilah bedanya kita dengan mereka. Dapatkah kita menjadi seperti mereka, para shahabat radhiyallahu ajma’in?

www.belajarislam.com