Terdapat larangan berpuasa di dua hari terakhir bulan Sya’ban. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َ
لا ا َ م و َّدَقَت ان َضَمَ ِ ر مْوَصِب َ مْوَي لاَ ِ و َّ نْيَمْوَي لاِ إ ج ل َ َ ر ان َك ، ص وم َي ماا ْوَص هْص م َيْلَف
“Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari, kecuali seorang yang memiliki kebiasaan berpuasa maka tidak mengapa dia berpuasa.”
Larangan yang dimaksud adalah larangan terhadap puasa sunnah mutlak. Jika puasa tersebut merupakan puasa sunnah yang telah menjadi rutinitas, maka terdapat hadits yang menunjukkan bahwa tidak mengapa puasa yang demikian itu dilakukan. Hal ini seperti seorang yang terbiasa melakukan puasa sunnah Senin dan Kamis. Demikian pula, seorang yang memiliki tanggungan puasa wajib seperti puasa qadha atau puasa kaffarah, maka dalam hal ini tidak tercakup dalam larangan hadits di atas dan dia lebih utama mengerjakan puasa tersebut.
Hikmah larangan mendahului Ramadhan dengan berpuasa
Salah satu sebab yang diutarakan ulama perihal larangan berpuasa sehari atau dua hari terakhir di bulan Sya’ban adalah agar tidak terjadi penambahan bilangan puasa Ramadhan, sebagai bentuk kehati-hatian terhadap puasa yang dilakukan oleh ahli kitab ketika mereka menambah waktu berpuasa berdasarkan logika dan hawa nafsu, sehingga mereka pun mendahului dan mengakhirkan puasa. Oleh karena itu, terdapat pemisah antara puasa wajib dan puasa sunnah. Dengan sebab itu pula, syari’at menetapkan adanya pemisah antara shalat wajib dan shalat sunnah dengan salam, berbicara, atau merubah posisi shalat6.
Sebelum malam pertama
Nasihat sebelum memasuki malam pertama Ramadhan:
1. Bersihkan hati dari permusuhan. Perbaiki hubungan yang retak antar sesama.
2. Jujur dalam bertaubat. Bukan taubat sambel! Di mana seseorang sekadar menahan diri untuk berbuat dosa di bulan Ramadhan.
3. Usahakan memenuhi kebutuhan mereka yang benar-benar membutuhkan bantuan, baik itu kerabat, tetangga, dan yang lain. Demikian itu dilakukan agar mereka tidak menjalani bulan Ramadhan dalam keadaan lapar. Lapar karena berpuasa dan lapar karena miskin, tidak memiliki uang untuk membeli makanan.
4. Berikan ucapan selamat dengan pesan-pesan yang indah. Salah satu yang terbaik adalah ucapan selamat melalui panggilan telepon yang berisi ucapan do’a dan ungkapan kegembiraan akan datangnya bulan Ramadhan.
Memperhatikan hilal Dalam sebuah hadits yang berderajat hasan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, َ
ص وا ْحَأ ل
َ
َ لِه َ ان َبْع َش ان َضَمَرِ ل
“Perhatikanlah hilal bulan Sya’ban untuk mengetahui awal bulan Ramadhan.”7 Artinya kaum muslimin hendaknya bersungguh-sungguh dalam menyelidiki dengan memperhatikan secara seksama mathla’ (tempat muncul) dan memperkirakan manzil (tempat persinggahan) bulan, agar kaum muslimin dapat memasuki hilal bulan Ramadhan berdasarkan ilmu dan tidak terluput meski sehari
Dahulu salaf biasa keluar rumah pada hari kedua puluh sembilan bulan Sya’ban di saat matahari telah terbenam untuk melihat hilal bulan Ramadhan. Mereka keluar rumah bersama penguasa/hakim di negeri tersebut. Apabila mereka melihat hilal Ramadhan, mereka pun berpuasa. Sebaliknya, jika tidak melihatnya, mereka akan menyempurnakan bilangan hari bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.
Rukyah hilal dengan bantuan instrumen astronomi Menggunakan bantuan instrumen astronomi seperti teleskop dan teropong untuk melihat hilal diperbolehkan, karena hal tersebut masih dalam lingkup rukyah al-‘ain (melihat hilal secara langsung) dan tidak termasuk dalam kategori hisab. Demikian pula, diperbolehkan melihat hilal dari puncak pegunungan, pesawat, balon udara, dan yang sejenis9. Apabila hilal dapat terlihat dengan bantuan instrumen astronomi di atas, maka rukyah tersebut dapat dijadikan patokan meski hilal itu sendiri tidak dapat terlihat sekadar dengan penglihatan mata.
ini berdasarkan keumuman hadits, di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِ
ص وم وا هِتَيْ ر ؤ ِ ل
“Berpuasalah karena melihatnya (hilal)”1011
Yaum asy-Syak (Hari yang Diragukan) Berpuasa pada hari ketiga puluh bulan Sya’ban saat belum ada kepastian munculnya hilal Ramadhan sebagai bentuk kehati-hatian tidaklah diperbolehkan. Sahabat ‘Ammar bin yasir radhiallahu ‘anhu mengatakan,
َ ْ م َ ن َ ام َص يِ مْوَيْلَا ذَّلَا ِ كَ ي ش ْ يه ِف ى َ دَقَف اَ صَع ب
َ
ِ أ صلى الله عليه وسلم – م ِ اس َقْلَا
“Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang diragukan, maka sungguh dia tidak menaati Abu al-Qasim (Rasulullah) shallallahu ‘alaihi wa sallam12” Ulama yang tergabung dalam al-Lajnah ad-Daaimah menyatakan,
من صام يوم الثلثين من شعبان دون ثبوت ة الرؤي الشرعية ق وواف صومه ذلك اليوم
أول دخول ن رمضا فل يجزئه؛ لكونه لم يبن صومه على أساس شرعي، ولْنه يوم الشك، وقد دلت السنة الصحيحة على تحريم صومه، وعليه قضاؤه
“Setiap orang yang berpuasa pada hari ketiga puluh di bulan Sya’ban tanpa berlandas pada rukyah syar’iyah, maka puasa yang dilakukan tidaklah sah meskipun belakangan diketahui puasa tersebut bertepatan dengan awal masuknya bulan Ramadhan. Hal ini dikarenakan dia tidak bertopang pada landasan yang dibenarkan syari’at ketika berpuasa. Di mana dirinya berpuasa pada hari yang diragukan (yaum asy-syak). Hadits Nabi yang shahih telah menyatakan bahwa berpuasa pada hari tersebut terlarang dan jika dilakukan maka wajib untuk diqadha”13. Beberapa orang pergi menemui al-A’masy. Mereka bertanya perihal hukum berpuasa pada yaum asy-syak (hari yang meragukan). Pada akhirnya, semakin banyak orang yang bertanya pada beliau. Beliau pun merasa kewalahan menghadapi mereka dan akhirnya beliau meminta untuk didatangkan beberapa buah delima dari rumah. Buah delima tersebut kemudian diletakkan di depan beliau, dan ketika ada yang berkeinginan untuk bertanya, alA’masy tinggal mengambil buah delima dan memakannya. Dengan begitu, orang tersebut tidak perlu bertanya dan al-A’masy tidak perlu menjawabnya.