Download Ebook Gratis Dzikir Pagi – Petang PDF
April 25, 2020Apakah Zakat Fitrah Bisa Dikeluarkan Sejak Awal Ramadhan?
May 7, 2020Bagaimana Hukum Sholat Tahajud dan Witir Setelah Tarawih dan Witir di Awal Malam?
Meski jumlah rakaat salat lail yang rutin dipraktikkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam di luar bulan Ramadan dan salat tarawih di dalam bulan Ramadan hanya sebelas atau tiga belas rakaat, akan tetapi para ulama menyimpulkan bahwa jumlah rakaat salat lail tidak memiliki batasan tertentu. Kesimpulan in dipahami oleh para ulama dari penjelasan beliau bahwa salat lail itu dua rakaat dua rakaat sebagaimana dalam Ash-Shahihain (HR.Bukhari: 990, dan Muslim: 794).
Karena itu, seseorang ataupun jemaah dapat mengurangi atau menambah jumlah rakaat salat tarawihnya di dalam bulan Ramadan, baik dikerjakan dua rakaat dua rakaat lalu ditutup dengan witir secara runut sekaligus ataupun secara terpisah, yaitu dengan mengerjakan sebagian rakaatnya di awal malam dan sebagiannya di akhir malam. Kedua pilihan tersebut dapat dipilih dan dikerjakan secara individu ataupun secara berjemaah.
Salat tarawih yang dikerjakan secara runut dengan jumlah rakaat lebih atau kurang dari sebelas atau tiga belas rakaat bersama witir telah menjadi pilihan utama mayoritas kaum muslimin di bulan Ramadan. Tetapi tidak sedikit pula di antara kaum muslimin yang memilih pilihan kedua, yaitu mengerjakan sebagian rakaat salat tarawihnya di awal malam tanpa witir lalu dilanjutkan di akhir malam setelah bangun tidur (atau tahajud) plus witir.
orang yang memilih cara kedua biasanya memisahkan diri dari salat berjemaah sebelum imamnya mengerjakan witir karena ia ingin menutup salat malamnya dengan witir setelah salat tahajud di akhir malam. Cara seperti ini, sekalipun sah menurut kacamata fikih, tetapi ia telah menyia-nyiakan peluang mendapat ganjaran pahala salat semalam penuh yang dijanjikan oleh Nabi dalam hadisnya:
«إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ»
“Sesungguhnya apabila seseorang salat bersama imamnya hingga tuntas maka ia terhitung mendapat pahala salat lail semalam penuh”. (HR. Ahmad, Abu Daud, dan An-Nasaiy).
Selain kedua pilihan tersebut, terdapat alternatif lain yang pemilihnya juga cukup banyak. Yaitu salat tarawih plus witir di awal malam bersama imam untuk mendapat ganjaran pahala salat semalam penuh yang dijanjikan oleh Nabi dalam hadis di atas, lalu bangun salat tahajud setelah tidur malam.
Secara teknis, pilihan ini dapat dikerjakan dengan memilih salah di antara dua cara yang masing-masing telah dipraktikkan oleh para sahabat, yaitu:
Pertama
Mengerjakan salat tahajud dua rakaat dua rakaat, sesuai jumlah rakaat yang diinginkan atau disanggupi dalam waktu yang tersedia, tanpa diakhiri dengan witir, dan mencukupkan dengan witir yang telah dikerjakannya bersama imam tarawihnya di awal malam.
Cara ini diperkuat dengan beberapa dalil, antara lain:
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
«إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنَ اللَّيْلِ، فَلْيَفْتَتِحْ صَلَاتَهُ بِرَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ»
“Jika salah seorang di antara kalian bangun untuk salat di waktu malam, maka hendaklah ia memulai salatnya dengan salat dua rakaat yang ringan” (HR. Muslim: 768).
Bagi mereka, hadis ini berlaku umum, baik bagi orang yang belum salat witir ataupun yang telah salat witir sebelum tidurnya. Di dalamnya Nabi menganjurkan memulainya dengan rakaat genap dan bukan ganjil. Cara ini juga dipraktikkan oleh Nabi. (lihat: HR Muslim: 767).
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
«لَا وِتْرَانِ فِي لَيْلَةٍ»
“Tidak ada witir dua kali dalam satu malam”. (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmizi, dan An-Nasaiy).
Praktik Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yang pernah salat lagi dua rakaat setelah melaksanakan salat witir sebelumnya.
Kedua
ketika bangun tidur, mengerjakan salat satu rakaat untuk menggenapkan jumlah rakaat salat witir/ganjil yang dikerjakan di awal malam, kemudian salat dua rakaat dua rakaat sesuai jumlah rakaat yang diinginkan atau disanggupi dalam waktu yang tersedia, lalu salat tersebut ditutup dengan salat witir.
Cara ini diperkuat dengan beberapa dalil, antara lain sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
«اجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا»
“Jadikanlah akhir salat kalian di waktu malam dengan witir”. (HR. Bukhari: 998 dan Muslim: 751).
Cara yang dikedua ini dikenal dalam kitab-kitab fikih dan literatur lainnya dengan istilah naqdh al-witr (membatalkan witir pertama).
Namun cara kedua ini diperselisihkan oleh para ulama.
Secara praktis seseorang dapat memilih salah di antara keduanya, karena keduanya memiliki dalil kuat dan masing-masing telah dipraktikkan oleh para sahabat dan salaf saleh setelahnya.
Oleh karenanya, Imam Ahmad berkata, “Seseorang dapat memilih di antara keduanya, karena kedua cara tersebut telah diriwayatkan dari para sahabat”. Pendapat yang menyuruh memilih salah satu di antara keduanya juga diriwayatkan dari Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. (Lihat: Fathu al-Bari Syarah Shahih Bukhari, karya Ibnu Rajab: IX/172).