Dosa
January 15, 2011
Empat Faktor Menggapai Cinta Alloh
January 15, 2011
Dosa
January 15, 2011
Empat Faktor Menggapai Cinta Alloh
January 15, 2011

Dasar Lidah Tak Bertulang

TERKESIAP. Suatu saat mata ini terantuk pada sebuah bab di bukunya Dr. Abdullah bin Muhammad As-Sadhaan [1], terkesiap mata dibuatnya, terhenyak kalbu dibikinnya, kelu pikiran seakan berhenti melintas. Pembicaraan bab berkisar antara mulut, lidah dan segala yang keluar dari padanya. Perkara yang sepele remeh-temeh tersebar di masyarakat yang sangat kuat budaya verbal-nya ini ternyata mengandung perkara yang berat dalam timbangan syariat. Berikut kami paparkan dua permasalahan:

I. Bencana datang karena ucapan

“Tidaklah timbul celaan pada saudaramu, kemudian Allah berikan rahmat padanya dan timpakan cobaan padamu” [2]. Yang dimaksud dengan celaan adalah seorang muslim yg menjelek-jelekkan saudaranya sesama muslim karena suatu dosa, padahal ia sudah bertaubat daripadanya, atau mengolok-olok fisik, gaya bicara, atau gerakannya. Ini adalah perkara yang berbahaya. Sedikit sekali orang yang waspada dari perkara ini. Dalam sebuah atsar: “Barangsiapa mencela saudaranya karena suatu dosa, maka ia tidak akan mati sebelum melakukannya” [3].

Berkata Imam Ahmad: “Aku mendengar al-Hasan berkata: “Kami memperbincangkan bahwa siapa yang menjelek-jelekkan saudaranya karena suatu dosa yang ia sudah bertaubat pada Allah darinya maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberi cobaan padanya” [4]. Berkata Ibnu Sirin: “Aku pernah mencela seseorang karena kerugian, maka aku mengalami kerugian!”. Berkata Ibnul Jauzi: Berkata seseorang: Aku mencela seseorang yang sebagian giginya sudah tidak ada, maka gigiku bertaburan !” [5].

Nah, jika anda merasakan banyak masalah, ruwetnya problematika kehidupan, seringnya cobaan menyapa, seakan akan setiap tarikan nafas kita adalah masalah dan masalah. Maka perlu diteliti jangan-jangan kita telah salah dalam berucap. Jangan-jangan saking mudahnya lisan kita ceplas-ceplos hingga ada kata-kata tidak sedap yang nyangkut di hati saudara kita. Apalagi di era yang sangat mengagung-agungkan kebebasan berekspresi kini. Seakan kebebasan itu menjadi tameng mengumbar kata-kata kurang manfaat. Khususnya keadaan disekitar kita, bangsa kita, jangan-jangan bangsa yang bisanya “cuma omong doang” pintar berkoar dan suka ribut itu kian bertumpuk cobaan dan masalah dikarenakan mulut-mulut dan lidahnya kurang dijaga. Wallahu musta’an.

Bukankah para Nabi dan orang-orang shalih juga banyak cobaan dan masalah? Bahkan semakin tinggi tingkat keshalihan seseorang, maka semakin berat dan pelik permasalahan yang akan dihadapinya? Iya benar, tapi bedanya adalah sebab datangnya ujian dan cobaan tersebut, juga “sikap hati” dalam menghadapi cobaan dan masalah tersebut. Lalu penerapan syariat dalam mengurai, mengunyah, dan menelan serta reaksi yang timbul sesudahnya. Paham?

Diriwayatkan dari sebagian pendahulu yg shalih: “Seandainya aku mengejek seekor anjing, tentu aku khawatir diriku menjadi anjing”. Demi Allah, ini adalah hal yang nyata dan akibatnya nyata baik terhadap orang yang mencemooh atau pada keturunannya. Ini semua adalah akibat buruk dari maksiat dan berbagai kepahitan yang ditimbulkan olehnya. Tidak ada yang bisa menolak bala ini kecuali doa yang agung ini: “Segala puji bagi Allah yang melepaskanku dari apa yang telah menimpamu dan melebihkanku dari kebanyakan makhluknya”. Nabi bersabda: “Barangsiapa yang mengucapkannya tidak akan tertimpa bala tersebut” [6].

Beken dan popular, bahkan cenderung lumrah di kalangan kita, tidak saja mengejek binatang dan makhluk tak berakal lainnya, tetapi binatang dan makhluk tak berakal itu digunakan sebagai martir kosakata dalam bersilat lidah dan penyedap bumbu percakapan. Dan kini makin kreatif dalam variasinya, percaya atau tidak?

Kemudian marilah merenungkan doa diatas.

II. Laknat dan akibat buruknya

Laknat sering dijumpai pada kebanyakan omongan manusia. Ini adalah salah satu bala yang meluas. Benarlah hadits nabi Muhammad SAW ketika di tanya tentang orang-orang yang suka melaknat, beliau menjawab : “Manusia di akhir zaman, ucapan salam yang mereka ucapkan di saat bertemu adalah : saling melaknati” [7].

Laknat, umpatan, sumpah serapah dan sejenisnya makin nge-trend di masyakat kita. Coba anda lakukan pengamatan kecil-kecilan, gunakan seluruh panca indera sampeyan, ambil waktu rentang sehari, catatlah sekian banyak hujatan, laknat, umpatan dan semisalnya yang anda jumpai hari itu. Pasti akan berderet panjang daftarnya, dan akan bertambah panjang jika anda melengkapi dengan hasil dari media massa cetak dan elektronik serta cyber-internet. Pas sudah sinyalir statemen Rasulullah tersebut diatas.

Perhatikan akibat buruk dari laknat dalam hadits ini, dari Abu Darda’ bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya bila ada seseorang yang mengutuk sesuatu maka kutukan itu naik ke langit, tetapi pintu-pintu langit itu ditutup tidak mau menerima kutukan tersebut, kemudian kutukan itu turun ke bumi tetapi pintu-pintu bumi itu ditutup tidak mau menerima kutukan tersebut. Lantas kutukan itu lari ke kanan dan ke kiri, apabila kutukan itu tidak mendapat tempat maka ia mencari orang yang dikutuknya, bila orang itu pantas mendapat kutukan, maka ia menimpa orang itu, tetapi bila orang itu tidak pantas mendapat kutukan maka ia kembali kepada orang yang mengucapkan kutukan tersebut” [8].

Lebih dari itu, laknat menyebabkan pelakunya diharamkan dari mati syahid dan syafaat, sebagaimana dalam hadits Abu Darda : Aku mendengar Rasulullah bersabda: “Orang-orang yang suka melaknat itu tidak bisa memberikan syafaat dan tidak pula meraih syahid” [9].

Termasuk dalam hal ini bila yang dilaknat tidak berakal (hewan, benda dll–pent), sebagaimana tersebut dalam hadits Ibnu Abbas tentang seseorang yang melaknat angin, maka Nabi bersabda: “Jangan engkau melaknatnya, karena sesungguhnya ia diperintah. Barangsiapa yang melaknat sesuatu yang tidak semestinya, maka ia akan kembali pada orang yang mengucapkannya” [10].

Demikianlah kengerian akibat laknat dan kutukan, padahal ianya berasal dari sebongkah lidah tak bertulang. Ringan tanpa beban saat mengucapnya, tapi berat menggunung akibatnya, terlebih konsekuensi syariat dibelakangnya. Jangankan meraih syahid, malahan akan balik menjadi boomerang mengenai diri sendiri kutukan dan laknat itu sekecil apapun. Ayo dipikir-pikir sendiri…pernahkah kita terceplos kalimat atau kata terkategorikan laknat dan kutukan walau secuil?

Termasuk dari dosa yang terbesar bila seorang anak melaknat kedua orang tuanya dengan cara tidak langsung, sebagaimana diberitakan oleh Nabi: “Seseorang yang mencela ayah orang lain, lalu orang yang di cela itu mencela ayahnya, dan ia mencela ibu orang lain, lalu orang yang di cela tersebut membalas dengan mencela ibu (orang yang mencela)” [11].

Dikiaskan dengan perbuatan laknat ini adalah memfasikan atau mengkafirkan seorang mukmin [12].

Nah, inilah jeratan halus bagi para pencela, benar ianya tidak langsung mencela kedua-orangtuanya sendiri (bahkan agama anutannya), tapi perbuatan mencela orang-tua orang lain, serta agama lain akan membalik kepada dirinya sendiri. Terlebih belitan “ghuluw” di zaman kita makin kuat. Hingga muncullah model manusia-manusia tukang cela berdalih agama, maksud hati pengen tampak ilmiah dan tegas dimata insan, tapi panggang jauh dari apinya. Maka makin berhati-hatilah terhadap lisan tak bertulang yang kita miliki.

Ngeri…ngeri…dan ngeri. Itulah gambaran yang kita dapatkan dari dampak buruk mulut dan lisan. Maka berhati-hatilah mulai sekarang. Biarlah kita diam seribu bahasa, daripada dampak buruk tersebut diatas menimpa kita. Biarlah kita dicap pendiam dan pengecut, jikalau bayarannya adalah ngomong tak ada manfaat. Biarlah disindir sebagai orang “lemah” jika maksudnya supaya kita jadi manusia “banyak mulut”. Mainstream media saat ini adalah ajakan mengeluarkan pendapat, ekspresif , kebebasan, dan liberal tanpa kungkungan apapun, tapi artikel ini berusaha melawan arus kuat itu. Semoga saya dan anda bisa mengambil hikmahnya. Wallahu a’lam.

Catatan kaki:
[1] Dampak Negatif Kemaksiatan, Abdullah bin Muhammad as-Sadhan, Riyadh, 1421H.
[2] HR. Tirmidzi, Thabrani dan lainnya dari Mu’adz secara marfu’. Tirmidzi mengatakan: Hadits hasan gharib. Lihat : Tamyiiz ath-Thayyib minal khabits, oleh Abdurrahman al-Atsari hal : 171, dan lihat pula : al-Adzkaar oleh an-Nawawi hal : 542.
[3] HR. Tirmidzi.
[4] Kitab az-Zuhd oleh Imam Ahmad hal : 342.
[5] Shaidul Khatir, Ibnul Jauzi hal : 391
[6] 42 Al-Fawaaid, Ibnul Qayyim hal : 257, Ucapan Ibnu Mas’ud dalam Siyar a’laam an-Nubala 1/496
[7] HR. Ahmad, Thabrani dan Hakim. Lihat : Majmu’ akhbaar akhir zaman, oleh al-Musy’ili, hal : 129
[8] HR. Abu Dawud, lihat Shahih Sunan Abu Dawud oleh al-Albani, No: 4905
[9] HR. Muslim dan Abu Dawud, lihat Shahih Sunan Abu Dawud oleh al-Albani, No: 4907
[10] Mukhtasar Shahih Sunan Abu Dawud, al-Albani hal : 3/927, No: 4101
[11] Mukhtasar Shahih al-Bukhari, oleh az-Zubaidi, hal : 466, No: 3007
[12] Berdasarkan hadits nabi: “Tidaklah seseorang memfasikan atau mengkufurkan seseorang melainkan hal itu akan kembali padanya, jika orang yang dituduhkan itu tidak demikian”. Mukhtasar Shahih al-Bukhari hal : 469, No: 2030

Yokohama, 20 Oktober 2009
M. A. Bramantya