Ramadhan adalah bulan yang mulia, momen yang tepat untuk mendulang pahala sebanyak-banyaknya dari Rabb Yang Maha Pemurah. Pada bulan ini jiwa dan hati para hamba Allah menjadi tunduk dan lembut untuk melakukan berbagai macam ibadah yang disyariatkan. Karena itu sepatutnya para ustadz, da’i, muballigh dan setiap kita memanfaatkan bulan yang penuh berkah ini. Namun demikian ada fenomena sangat menyedihkan yang sering terjadi di bulan suci ini yaitu tersebarnya hadits-hadits yang lemah melalui mimbar-mimbar mesjid dan majelis-majelis ta’lim. Hal ini banyak disebabkan karena kurangnya pengetahuan para da’i akan kelemahan hadits-hadits tersebut. Semoga tulisan ini mampu menjadi peringatan bagi kita untuk tidak ikut andil dalam penyebaran hadits-hadits yang lemah, agar kita tidak terjatuh dalam salah satu dosa besar yaitu berdusta atas nama Rasulullah shallallohu alaihi wasallam. Sebagai catatan penting bahwa diantara hadits yang kami sebutkan ini ada yang kandungan matannya memiliki makna yang benar, namun hal itu tidak menjadi alasan untuk mengatasnamakan perkataan tersebut kepada Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, karena beliau pernah bersabda:
[ مَنْ يَقُلْ عَلَيَّ مَا لَمْ أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ [ رواه البخاري
“Barangsiapa yang berkata atas namaku sesuatu yang tidak pernah aku katakan maka hendaknya dia mempersiapkan tempat duduknya di neraka” (HR. Bukhari dalam Shohihnya; Kitab Al ‘Ilm, Bab Itsmu Man Kadzaba ‘alan Nabi, no 109)
Berikut ini beberapa contoh hadits-hadits lemah yang sering kita dengarkan dalam bulan Ramadhan :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَدْعُوْ بِبُلُوْغِ رَمَضَانَ , فَكَانَ إِذَا دَخَلَ شَهْرُ رَجَبٍ قَالَ : [ اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي
رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَ بَلِّغْنَا رَمَضَانَ ] ( رَوَاهُ أحمد والطَّبْرَانِيُّ فِي الْمُعْجَمِ الْأَوْسَطِ واللفظ له
1. Dari Anas radhiyallohu anhu adalah Nabi shallallohu alaihi wasallam berdoa agar diperjumpakan dengan bulan Ramadhan, maka jika beliau sudah berada di bulan Rajab, beliau berdoa: “Ya Allah berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban serta perjumpakanlah kami dengan bulan Ramadhan” [ HR. Ahmad (2342) dan Thobrani dalam Al Mu’jam al Awsath (4/149/no.3939); lafal hadits ini bagi beliau ]
Penjelasan :
Dalam sanad hadits ini ada dua perowi yang lemah; Pertama : Zaidah bin Abu Ruqad Al Bahili; dia seorang yang munkarul hadits (haditsnya mungkar) sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Bukhari, Nasai dan Al Hafizh Ibnu Hajar. Kedua : Ziyad bin Abdullah An Numairi dia seorang yang dinilai lemah oleh Imam Yahya Bin Ma’in, Abu Daud dan Al Hafizh Ibnu Hajar. Abu Hatim berkata : Haditsnya boleh ditulis namun tidak dijadikan sebagai hujjah.
Namun demikian bukan berarti kita tidak boleh berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk diperjumpakan dengan bulan Ramadhan, bahkan Ibnu Rajab Al Hanbali menukil dari Mu’alla bin Fadhl yang menyebutkan bahwa kaum salaf terdahulu berdoa selama enam bulan sebelumnya agar dipertemukan dengan bulan Ramadhan, kemudian berdoa pada enam bulan berikutnya agar Allah Azza wa Jalla menerima amalan-amalan mereka di bulan tersebut. (Lihat : Lathoif Al Ma’aarif, hal 280)
2- عَنْ سَلْمَانَ رضي الله عنه قَالَ :خَطَبَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي آخِرِ يَوْمٍ مِنْ شَعْبَانَ , قال : [ أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيْمٌ
مُبَارَكٌ…, وَهُوَ شَهْرٌ أَوَّلُهُ رَحْمَةٌ وَ أَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَ آخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ,… ] ( رواه ابن خزيمة )
2. Dalam sebuah hadits panjang yang diriwayatkan oleh Salman radhiyallohu anhu beliau berkata : Rasulullah shallallohu alaihi wasallam berkhutbah pada hari terakhir di bulan Sya’ban, beliau bersabda : “Wahai sekalian manusia kalian telah dinaungi bulan agung nan diberkahi …,bulan yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya magfirah (pengampunan) dan akhirnya adalah pembebasan dari api neraka….” ] HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shohihnya (3/191 no.1887) ]
Penjelasan :
Hadits ini lemah, Ibnu Khuzaimah sendiri telah mengisyaratkan hal itu, karenanya beliau memberi judul hadits ini : “Keutamaan bulan Ramadhan jika haditsnya shohih”. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Baihaqi. Dalam isnadnya ada kelemahan, padanya ada Abul Hasan Ali bin Zaid bin Ju’dan At Taymi dan dia adalah seorang yang lemah menurut para Imam ahli hadits seperti Imam Ahmad, Yahya bin Ma’in dan Yahya bin Said Al Qaththan rahimahumullohu ta’ala jami’an. Abu Hatim mengatakan bahwa hadits ini mungkar sebagaimana yang dinukil oleh Al Albani dalam Silsilah Al Ahadits Adh Dho’ifah (871)
Dari segi matan, makna hadits ini pun tidak tepat karena seolah-olah memberi pengertian bahwa rahmat Allah hanya terkhusus pada 1/3 awal dari Ramadhan, maghfirah pada 1/3 pertengahan dan pembebasan dari api neraka hanya terkhusus pada 1/3 akhir dan makna hadits ini bertentangan dengan beberapa hadits shohih yang menunjukkan bahwa rahmat, maghfirah dan pembebasan dari api neraka terdapat dalam sepanjang bulan Ramadhan .
Perhatikan hadits-hadits berikut :
أ- عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم : [ إِذَا كَانَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الرَّحْمَةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ وَسُلْسِلَتْ
الشَّيَاطِينُ ] ( رواه مسلم )
a. Dari Abu Hurairah radhiyallohu anhu berkata : Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda : “Jika datang bulan Ramadhan terbukalah pintu-pintu rahmat, tertutup pintu-pintu neraka dan para syaitan terbelenggu” ( HR.Muslim dalam Shohihnya, Kitab Ash Shiyam, Bab Fadhl Syahri Ramadhan no.1079 )
ب- عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : [ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ ], و في
رواية : [ مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ ] متفق عليه
b. Dari Abu Hurairah radhiyallohu anhu berkata bahwa Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda : “Barangsiapa yang mengerjakan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) dilandasi keimanan dan mengharapkan pahala di sisi Allah maka diampunkan baginya dosa yang telah lampau”, dalam riwayat yang lain : “Barangsiapa yang mengerjakan puasa di bulan Ramadhan dilandasi keimanan dan mengharapkan pahala di sisi Allah maka diampunkan baginya dosa yang telah lampau” [ HR.Bukhori dalam Shohihnya, Kitab Al Iman no.37,38 dan Muslim dalam Shohihnya (760) ]
ج- عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم : [ إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ صُفِّدَتْ الشَّيَاطِينُ وَمَرَدَةُ الْجِنِّ
وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ وَفُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ وَيُنَادِي مُنَادٍ يَا بَاغِيَ الْخَيْرِ أَقْبِلْ وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ
مِنْ النَّارِ وَذَلكَ كُلُّ لَيْلَةٍ ]
Dari Abu Hurairah radhiyallohu anhu berkata : Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda : “Apabila telah masuk malam pertama di bulan Ramadhan maka syaitan dan jin pengganggu terbelenggu, pintu-pintu neraka tertutup tidak satupun terbuka darinya, pintu-pintu surga terbuka tidak satupun tertutup darinya, ada malaikat yang akan menyeru : “Wahai para pencari kebaikan menujulah (kebaikan tsb), wahai para pencari kejahatan berhentilah (dari kejahatan) dan Allah memiliki hamba-hamba yang dibebaskan dari api neraka dan ini terjadi di setiap malam bulan Ramadhan” ( HR.Tirmidzi dalam Sunannya, Kitab Ash Shaum ‘an Rasulillah, Bab Maa Jaa Fi Fadhli Syahri Ramadhan, no 683 )
Ketiga hadits di atas secara gamblang menunjukkan bahwa rahmat, maghfirah dan pembebasan dari api neraka berlaku di sepanjang bulan Ramadhan. Wallohu A’lam.
3- عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم : [ مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ رُخْصَةٍ وَلَا مَرَضٍ لَمْ يَقْضِ
عَنْهُ صَوْمُ الدَّهْرِ كُلِّهِ وَإِنْ صَامَهُ ] ( رواه أبو داود والترمذي وابن ماجه وأحمد والدارمي )
3. Dari Abu Hurairah radhiyallohu anhu berkata : Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda : “Barangsiapa yang berbuka sehari di bulan Ramadhan tanpa adanya rukhshah (keringanan/udzur yang dibenarkan syariat) dan tidak pula karena sakit maka dia tidak bisa mengqadha ( mengganti utang puasa tersebut ) walaupun dia berpuasa setahun penuh” [ HR. Tirmidzi (723), Abu Daud (2396), Ibnu Majah (1672), Ahmad (8787) dan Darimi (1666) ]
Penjelasan :
Hadits ini lemah; Imam Bukhari telah meriwayatkannya secara mu’allaq dengan sighah tamridh (bentuk periwayatan yang menunjukkan adanya kelemahan pada hadits). Imam Tirmidzi mengatakan : Saya telah mendengar Muhammad (yaitu Imam Bukhari) berkata : Abul Muthawwis namanya adalah Yazid bin Al Muthawwis, dan saya tidak mengenalinya kecuali pada hadits ini. Imam Ibnu Hibban mengatakan tidak boleh berhujjah dengan riwayatnya yang dia bersendirian padanya. Al Hafizh Ibnu Hajar menilainya sebagai seorang yang layyinul hadits (haditsnya lembek), beliau menyebutkan dua ‘illah (cacat) lain dari hadits ini yaitu adanya ikhtilaf yang banyak dalam periwayatan Habib bin Abu Tsabit berarti haditsnya mudhtharib (guncang) kemudian ‘illah yang ketiga para ulama meragukan apakah Muthawwis memdengarkan langsung dari Abu Hurairah radhiyallohu anhu atau tidak. Hadits ini telah dilemahkan pula oleh Al ‘Allamah Al Albani rahimahullah dalam beberapa kitab beliau diantaranya : Dhoif Sunan Abi Daud (517), Dhoif Al Jami’ Ash Shogir (5642) dan dalam takhrij Al Misykah (1/626 no. 2013)
Adapun makna dari hadits ini maka sebagian ulama berpegang padanya seperti Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin Mas’ud dan Abu Hurairah radhiyallohu anhum dimana mereka mengatakan bahwa orang yang berbuka dengan sengaja tidak diterima puasa qadha’nya walaupun dia membayarnya sepanjang tahun, ulama salaf lainnya seperti Said bin Musayyib, Said bin Jubair dan Qatadah tetap membolehkan mengqadha’ puasanya sesuai dengan jumlah hari yang ditinggalkannya tentu saja diiringi dengan taubat yang nasuha. Wallohu A’lam [ Lihat : Tuhfatul Ahwadzi (3/341) dan Aunul Ma’bud (7/21) ]
4- عَنْ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ رضي الله عنه قَالَ : “رَأَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم مَا لَا أُحْصِي يَتَسَوَّكُ وَهُوَ صَائِمٌ” ( رواه الترمذي و أبو داود و
الدارقطني و البيهقي )
4. Dari ‘Amir bin Rabi’ah radhiyallohu anhu berkata : “Saya telah melihat Nabi shallallohu alaihi wasallam bersiwak dalam jumlah yang tidak mampu saya hitung padahal beliau sementara berpuasa” [HR. Tirmidzi (116), Abu Daud (2634), Daraquthni dan Baihaqi (4/272)]
Penjelasan :
Hadits ini lemah sanadnya; diriwayatkan oleh para imam yang disebutkan di atas dari jalur ‘Ashim bin Ubaidullah dari Abdullah bin ‘Amir bin Rabi’ah dari ayahnya. Imam Ad Daraquthni berkata : Ashim bin Ubaidullah dan selainnya lebih kuat darinya. Baihaqi berkata : Dia bukan seorang yang kuat. Ulama-ulama lain seperti Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in dan Muhammad bin Sa’ad juga telah membicarakannya. Bukhari berkata : Munkarul hadits (haditsnya mungkar). Al Hafizh Ibnu Hajar juga menilainya sebagai seorang yang dhaif.
Namun hal ini tidaklah berarti bahwa tidak boleh menggunakan siwak pada saat berpuasa. Imam Abu Isa At Tirmidzi berkata setelah menyebutkan hadits ini : “Makna hadits ini telah diamalkan oleh para ulama, dimana mereka memandang tidak mengapa seorang yang berpuasa untuk bersiwak namun demikian ada sebagian ulama yang memakruhkan bersiwak bagi orang yang berpuasa dengan menggunakan siwak yang beraroma dan siwak yang basah pada siang hari. Adapun Imam Syafi’i beliau memandang tidak mengapa bersiwak baik itu pada pagi hari maupun pada siang hari. Imam Ahmad dan Ishaq telah memakruhkan bersiwak pada waktu siang”
Hadits ini juga telah diriwayatkan oleh Thabrani sebagaimana yang terdapat dalam At Ta’liq Al Mugni dari Abdurrahman bin Ghunaim beliau berkata : Saya telah bertanya kepada Muadz bin Jabal: “Apakah (boleh) saya bersiwak sementara saya berpuasa? Muadz menjawab : Iya. Aku bertanya lagi : “Kapan aku boleh bersiwak?” Beliau menjawab : “Kapan saja baik waktu pagi maupun petang”. Saya berkata lagi sesungguhnya sebagian manusia memakruhkannya dengan beralasan bahwa Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda :
[ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ ]
“Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah dari bau kesturi”
Beliau (Mu’adz) berkata : “Maha Suci Allah, beliau telah menyuruh mereka bersiwak karena beliau tahu bahwa mulut orang yang berpuasa pasti memiliki bau (walaupun telah bersiwak)”. Al Hafizh Ibnu Hajar dalam kitabnya At Talkhish Al Habir (2/202 no 908) mengatakan bahwa riwayat Muadz ini sanadnya baik
Al Albani rahimahullah dalam buku beliau Al Irwa’ (1/107) mengatakan setelah beliau menyebut perkataan Syafi’i : “Dan inilah pendapat yang benar berdasarkan keumuman dalil, seperti hadits yang akan disebutkan selanjutnya yang menganjurkan bersiwak setiap shalat dan setiap wudhu, pendapat ini pula yang dipegangi oleh Bukhari dalam kitab Shohinya walaupun beliau mengisyaratkan akan kelemahan hadis Amir ini”
5- عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : اشْتَكَتْ عَيْنِي أَفَأَكْتَحِلُ وَأَنَا صَائِمٌ ؟ قَالَ : نَعَمْ
5. Dari Anas bin Malik radhiyallohu anhu berkata : “Seseorang datang menghadap Nabi shallallohu alaihi wasallam seraya berkata : “Mataku sedang sakit apakah boleh aku bercelak sementara aku berpuasa ?” Beliau menjawab : “Iya” [ HR.Tirmidzi (726 )]
Penjelasan :
Imam Tirmidzi setelah meriwayatkan hadits ini beliau berkata : “Hadits Anas adalah hadits yang isnadnya tidak kuat dan tidak ada satupun hadits shohih dari Nabi shallallohu alaihi wasallam dalam masalah ini, pada hadits ini ada rowi Abu ‘Atikah sedangkan dia seorang yang dilemahkan”
Abu Atikah yang dimaksud adalah Thorif bin Salman dan ada yang mengatakan Salman bin Thorif, dia telah meriwayatkan hadits dari Anas. Abu Hatim mengatakan tentangnya: “Dzahibul Hadits” (haditsnya pergi/ditinggalkan). Imam Bukhori mengatakan : Munkarul Hadits, Nasai mengatakan dia bukan seorang yang tsiqoh (terpercaya). Daraqutni berkata : dhoif (lemah) . Bahkan Sulaimani menyebutkan orang tersebut sebagai salah satu dari yang dikenal sebagai pemalsu hadits. Adapun Ibnu Hajar beliau menilai sebagai dhoif dan menganggap hukum yang ditetapkan Sulaimani berlebihan.
Tirmidzi menuturkan : “Para ulama telah berbeda pendapat tentang hukum bercelak bagi orang yang berpuasa; sebagian ulama seperti Sufyan, Ibnu Mubarak, Ahmad dan Ishaq memakruhkannnya dan sebagian ulama yang lain memberikan keringanan akan kebolehannya dan ini adalah pendapat Imam Syafi’i”
Dan -Insya Allah- pendapat Imam Syafi’i inilah yang benar, karena Abu Daud telah meriwayatkan dalam sunannya dengan sanad yang hasan bahwa Anas radhiyallohu anhu pernah bercelak pada saat berpuasa. Yang serupa dengan ini hukum tetes mata hal ini juga tidak mengapa karena mata bukanlah pengantar untuk ke perut. Tetes dan celak keduanya tidak termasuk makanan dan minuman serta tidak mengambil hukum keduanya. (Lihat Fatawa Al Lajnah Ad Daimah 10 : 250-253)
6- حديث أبي هريرة رضي الله عنه مرفوعا : [ اغْزُوْا تَغْنَمُوْا وَصُوْمُوْا تَصِحُّوْا وَسَافِرُوْا تَسْتَغْنُوْا ] ( رواه الطبراني في الأوسط وأبو نعيم في
الطب النبوي كما في المقاصد الحسنة )
6. Dari Abu Hurairah radhiyallohu anhu secara marfu’ : “Berperanglah (berjihad) niscaya kalian akan mendapatkan ghanimah, puasalah niscaya kalian akan sehat dan bersafarlah niscaya kalian akan berkecukupan” [ HR.Thabrani dalam Al Mu’jam Al Awsath (8/174 no.8312) dan Abu Nu’aim dalam Ath Thib An Nabawi sebagaimana yang disebutkan dalam Al Maqashid Al Hasanah ( hal 282 ) ]
Penjelasan :
Hadits ini diriwayatkan oleh dua imam di atas dari Muhammad bin Sulaiman bin Abu Daud Al Harrani dari Zuhair bin Muhammad dari Suhail bin Abu Sholih dari bapaknya dari Abu Hurairah radhiyallohu anhu. Thobrani berkata : Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dengan lafazh seperti ini kecuali Zuhair”
Zuhair yang beliau maksudkan adalah Abul Mundzir Al Khurasani; Abu Bakar bin Al Atsram berkata : Saya telah mendengar Abu Abdillah (yakni Imam Ahmad-pen) dan dia menyebutkan riwayat penduduk Syam dari Zuhair bin Muhammad, beliau berkata : “Mereka meriwayatkan darinya hadits-hadits mungkar”
Abu Hatim berkata : “Kedudukannya adalah shidq(jujur) akan tetapi hapalannya buruk, hadits yang diriwayatkannya di Syam lebih mungkar dari haditsnya di Irak disebabkan hapalannya yang jelek, maka apa yang diriwayatkannnya lewat hapalannya banyak kesalahan-kesalahannya dan apa yang diriwayatkan dari tulisannya maka baik”
Al Hafizh Ibnu Hajar berkata : “Dia telah bermukim di Syam kemudian Hijaz, dia seorang yang tsiqoh (terpercaya) akan tetapi riwayat penduduk Syam darinya tidak mustaqimah (lurus) maka dia dilemahkan disebabkan hal tersebut”
Dan hadits ini salah satu dari riwayat penduduk Syam karena Muhammad bin Sulaiman Al Harroni (berasal dari Syam) dan kelemahan lain dari hadits ini adalah guru dari Thobrani yaitu Musa bin Zakariyya; dia seorang yang matruk (ditinggalkan)
Imam Ash Shoghani menilai hadits ini sebagai hadits palsu, karena itu beliau memasukkannya dalam kitab beliau Al Maudhu’at (72). Namun penilaian ini dianggap berlebihan oleh Syaikh Al Albani, yang tepat kita katakan hadits ini lemah namun tidak sampai derajat maudhu’ (palsu). Wallahu A’lam. Lihat : Silsilah Al Ahadits Adh Dho’ifah (1/420 no.253)
7- عن أبي مسعود الغفاري رضي الله عنه قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول ذات يوم وقد أهل رمضان فقال : [ لَوْ يَعْلَمُ الْعِبَادُ
مَا رَمَضَانُ لَتَمَنَّتْ أُمَّتِيْ أَنْ يَكُوْنَ السَّنَةَ كُلَّهَا … إِنَّ الْجَنَّةَ لَتَزَيَّنُ لِرَمَضَانَ مِنْ رَأْسِ الْحَوْلِ إِلَى الْحَوْلِ …]
7. Dari Abu Mas’ud Al Ghifari radhiyallohu anhu berkata : “Saya telah mendengar Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda pada suatu hari ketika bulan Ramadhan telah datang : “Seandainya para hamba mengetahui apa (hakikat) bulan Ramadhan maka tentu ummatku menginginkan Ramadhan itu sepanjang tahun,…sesungguhnya surga berhias untuk bulan Ramadhan di setiap penghujung tahun ke tahun berikutnya …..”
[ HR.Ibnu Khuzaimah dalam shohihnya (1886), Ibnul Jauzi dalam kitab Al Maudhu’at (2/547) dan Abu Ya’la dalam Musnadnya sebagaimana yang disebutkan dalam Al Mathalib Al Aliyah ]
Penjelasan :
Para Imam tersebut meriwayatkan hadits ini dari jalur Jarir bin Ayyub Al Bajali dari Sya’bi dari Nafi’ bin Burdah dari Abu Mas’ud Al Ghifari.
Kedudukan hadits ini palsu, penyebabnya adalah Jarir bin Ayyub; Ibnu Hajar menyebutkan dalam Lisanul Mizan (2:101) bahwa dia terkenal akan kelemahannya, kemudian beliau menukil perkataan Abu Nu’aim tentangnya bahwa dia pernah memalsukan hadits. Bukhori berkata : Munkarul Hadits dan Nasai mengatakan : Matruk (ditinggalkan). Ibnu Jauzi juga menilai hadits ini sebagai hadits yang palsu. Ibnu Khuzaimah sendiri meragukannya sehingga beliau berkata : “Jika hadits ini benar karena hati ini meragukan Jarir bin Ayyub Al Bajali”
8 – (نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ )
“Tidurnya orang yang berpuasa merupakan ibadah ”
Penjelasan :
Hadits ini dilemahkan oleh Imam Al Iraqi dalam kitab beliau Al Mughni ‘An Hamli Al Asfar fii Takhrij Maa fil Ihyaa minal Akhbaar (buku yang mentakhrij hadits-hadits yang termuat dalam kitab Ihya Ulumuddin karya Al Ghazali), beliau berkata : “Hadits ini kami riwayatkan dari kitab Amali Ibnu Mandah dari riwayat Ibnu Mughirah Al Qawwas dari Abdullah bin Umar dengan sanad yang lemah. Mungkin yang dimaksud (oleh Ibnu Mandah) adalah Abdullah bin ‘Amr bukan Ibnu Umar, karena para ulama menyebutkan bahwa riwayat Ibnul Mughirah hanyalah dari Abdullah bin ‘Amru. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Abu Manshur Ad Dailami dalam Musnad Al Firdaus dari hadits Abdullah bin Abu Awfa dan pada sanadnya ada Sulaiman bin ‘Amr An Nakha’i salah seorang pendusta ” (Al Mughni ‘an Hamlil Asfar 1/182)
Matan hadits ini juga telah disalahgunakan oleh banyak masyarakat awam sehingga pada waktu berpuasa kebanyakan mereka hanya isi dengan tidur, bahkan diantara mereka ada yang tidak melaksanakan beberapa sholat wajib dan nanti terjaga saat menjelang buka puasa.Wallahu Musta’an.
Bahan Bacaan :
- Ahadits Dho’ifah Musytahiroh fii Ramadhan, Syaikh Muhammad Al Hamud An Najdi, makalah yang dimuat dalam majalah Al Furqan edisi 117-tahun 1420 H, Terbitan Ihya At Turots-Kuwait
- Silsilah Al Ahadits Adh Dho’ifah, Al Muhaddits Al Albani, Maktabah Al Ma’arif-Riyadh, Cetakan pertama tahun 1412 H
- Shifatu Ash Shaum An Nabi shallallohu alaihi wasallam Fii Ramadhan, Syaikh Salim Al Hilali dan Syaikh Ali Hasan, Al Maktabah Al Islamiyah–Yordania, Cetakan kelima tahun 1413 H
- Al Maudhu’at, Ibnul Jauzi, Tahqiq : DR. Nuruddin Jaylar, Penerbit Adhwaa As Salaf-Riyadh, Cet. Pertama tahun 1418 H
- Maudhu’at Ash Shoghoni, Abul Fadhail Hasan bin Muhammad Ash Shaghani, Daarul Ma’mun-Damaskus, Tahqiq: Najm Abdurrahman Khalaf, Cetakan Kedua tahun 1405 H
Sumber : markazassunnah.blogspot.com
[…] Hadits ini lemah, Ibnu Khuzaimah sendiri telah mengisyaratkan hal itu, karenanya beliau memberi judul hadits ini : […]
terimakasih ….atas ilmunya
seharusnya ada dai dai yang mengupas tuntan hadis hadis doif tentang ramadan sehingga tidak mewariskan kesalahan secara teru menerus
Assalamualaikum; terima kasih dengan ilmu yang dikongsikan. Walaubagaimanapun, untuk elakkan kekeliruan atau salah faham, dicadangkan saudara tidak mencampur adukkan antara Hadith Dhoif (lemah) dan Hadith Palsu. Harap jelaskan status dan perbezaan Hadith Lemah vs Hadith Palsu berdasarkan pandangan ulamak Hadith dan Syariah yang muktabar.