Oleh Ustadz Yayat Hidayat, MA
Islam sebagai agama sempurna memberi pedoman hidup kepada umat manusia baik dalam aspek akidah, ibadah, akhlak maupun kehidupan kemasyarakatan. Sumber ajaran Islam adalah al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Islam menyediakan mekanisme ijtihad untuk mendalami pemahaman menuju penerapan ajaran-ajarannya dalam realitas sosial dan untuk memecahkan masalah-masalah baru yang berkembang dalam kehidupan masyarakat. Ijtihad para ulama terdahulu telah menghasilkan produk pemikiran dalam berbagai bidang ajaran Islam terutama dalam bidang kemasyarakatan yang terhimpun dalam kitab yang disebut “Kitab Kuning”. (Ahmad Azhar Basyir, 1994: 11).
Kajian kitab (kuning) yang berisi pemikiran mazhab telah menyita pemikiran kaum Muslimin dalam waktu yang cukup panjang. Dalam perkembangannya, pola keberagamaan Islam kurang berjalan kearah yang positif. Banyak elemen umat Islam mempelajari al-Qur’an dan al-Hadits lebih untuk tabarruk, memperoleh barakah Allah, tidak untuk menggali ajaran-ajaran dari dua sumber ajaran Islam itu.
Di lain pihak, yang lebih diperhatikan dari kitab kuning adalah masalah “ibadah mahdah, sedang masalah-masalah kemasyarakatan kurang mendapatkan perhatian. Dalam hal ini literatur fiqh klasik memberikan ruang yang cukup besar pada ibadah individual sementara wilayah sosial terabaikan. (M. Imdadun Rahmat, 2002: 200). Dengan kata lain, fiqh yang dominan di kalangan umat Islam lebih berorientasi kepada urusan Tuhan (teosentris) dan kurang memerhatikan urusan manusia (antroposentris). Padahal sejatinya memperkenalkan dua macam fardu (kewajiban) yaitu fardu ‘ain dan fardu kifayah dalam satu kesatuan yang integral yang tidak dapat dipisahkan.
Dalam kitab “I’anat al-Talibin” (Sayyid Bari Syata ad-Dimyati, 1967: 180) memaparkan secara tuntas bagaimana masalah dua fardu ini harus diaktualisasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Lebih jelas lagi dijelaskan bahwa fardu ‘ain (kewajiban individual) merupakan beban tugas perorangan untuk pengembangan potensi dan pengembangan pembinaan kondisi tiap individu dalam mencapai kemaslahatan hidupnya. Meskipun demikian, pada tiap-tiap unsur pokok fardu ‘ain yang terkandung dalam arkan al-Islam jika dikaji secara mendalam mempunyai aspek sosial kemasyarakatan. Mulai dari syahadat yang mempunyai aspek komunikatif dan penegasan status sosial sampai ibadah haji yang sangat jelas aspek sosial kemasyarakatannya. Selain itu, ajaran ibadah shalat berjama’ah, shalat jum’ah dan sejenisnya juga semakin mempertegas penekanan aspek kemasyarakatan dalam Islam.
Sedangkan fardu kifayah (kewajiban sosial kemasyarakatan) merupakan tugas kolektif untuk pengembangan potensi dan pembinaan kondisi masyarakat dalam mencapai kemaslahatan umum. Fardu kifayah mencakup bidang perlindungan masyarakat dalam menjalankan peribadatan dan keyakinan yang diimaninya serta peningkatan pengetahuan, kecerdasan serta kesejahteran mereka. Dalam ruang lingkup pelaksanaan fardu kifayah terdapat ketentuan-ketentuan pembatasan hak milik dan pencabutan hak milik individu untuk suatu kepentingan umum seperti perluasan jalan raya, penggalian saluran air, pembangunan masjid, rumah sakit atau sekolah, dengan jalan mengganti pemilik yang dibatasi atau dicabut haknya demi kepentingan masyarakat.
Pembagian dua jenis kewajiban ini memperjelas bahwa ajaran fiqh Islam memberikan cukup perhatian baik atas kepentingan perorangan maupun masyarakat. Meskipun demikian, kepentingan masyarakat di tempatkan lebih utama dan sewaktu-waktu mengatasi kepentingan perseorangan. Hal-hak perseorangan menjadi terbatas jika disalahgunakan sehingga menimbulkan kesulitan atau kemelaratan bagi orang lain atau jika bertentangan dengan kepentingan umum. (K.H. Ali Yafi’e, 1994: 165).
Kerangka berpikir inilah yang mendasari terhadap pentingnya kajian penguatan tradisi keilmuan pesantren (pendidikan) tidak dimaknai hanya aspek teologi saja tapi harus melibatkan teleologi dalam pengertian bahwa tradisi keilmuan pesantren lebih banyak menyentuh aspek sosial kemasyarakatan. Dengan kata lain, pesantren mampu mengatasi masalah sosial yang kompleks yang dianggap sebagai misi utama syari’at Islam..
Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang pada dasarnya dipandang sebagai institusi sosial, maka pertumbuhan, perkembangan dan kemunduran serta keruntuhan lembaga pendidikan sangat berhubungan erat dengan perubahan struktur dan kultur sosial di mana pesantren itu berada. Dalam mempertahankan (eksistensi) dan kemunduran (degradasi) pesantren harus memperhatikan kerangka teori sosial, teori pendidikan dan teori pesantren dengan analisis interkoneksi, yakni menganalisis hubungan saling mempengaruhi antara pesantren dengan masyarakat yang selama ini mendukungnya. Dengan demikian, maka untuk membedah masalah tersebut di perlukan teori perubahan sosial, teori pendidikan dan teori pesantren.
Teori Perubahan Sosial
Ibnu Khaldun sebagaimana dikutib oleh Robert H. Louer, menyebutkan bahwa perubahan kebudayaan bangsa akan selalu diawali dengan adanya bangsa yang mengembara lalu menetap kemudian membangun peradaban dan menikmati hasil-hasilnya dan selanjutnya akan mengalami kehancuran dengan diganti oleh peradaban bangsa lain (Toto Suharto, 2005: 76). Faktor pendorongnya ialah karena rasa solidaritas yang tinggi, sifat sosial dan agresif.
Kaum strukturalis memandang bahwa perubahan sosial dapat di lihat dari dua aliran, yaitu aliran sinkronis dan aliran diakronis. Aliran sinkronis memandang bahwa perubahan sosial terjadi secara cross-sectional, terlepas dari perkembangan waktu (statis). Sedangkan aliran diakronis memandang bahwa secara morfogenetik perubahan sosial merupakan proses dan dalam hubungannya dengan organisasi, kaitan antara komponen dalam satu sistem. Perubahan sosial dipandang sebagai tahapan-tahapan hidup manusia, yaitu dari tahap teologis, metafisis dan rasionalis ilmiah.
Secara sistemik, perubahan sosial dipandang sebagai komponen-komponen suatu sistem masyarakat. Perubahan pada satu komponen dari sistem itu akan mempengaruhi sistem secara umum. Oleh karena itu jika terjadi perubahan pada salah satu lembaga sosial, maka lembaga sosial yang lainnya harus mengikuti paling tidak dengan jalan adaptasi perubahan itu.
Teori Pendidikan
Teori pendidikan merupakan hasil kajian bidang filsafat yang diterapkan dalam bidang pendidikan. Oleh karena itu membicarakan teori pendidikan berarti bicara tentang hakekat manusia dan hubungannya dengan bidang pendidikan pembicaraan selanjutnya terfokus pada makhluk pedagogis. Dalam kajian filsafat dikenal aliran faham, yaitu empirisme, nativisme, konvergensi, dan filsafat pendidikan Islam.
Teori Empirisme memandang bahwa perkembangan manusia sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Lingkungan yang dimaksud adalah semua faktor yang berada di luar dirinya. Manusia pada konsep ini diibaratkan sebagai kertas putih yang siap untuk diberi corak dan warna sesuai dengan kehendak lingkungan. Oleh karena itu orientasi kurikulum pendidikannya adalah “subject metter-centre”, bukan “child centre”. Dengan kata lain peserta didik cenderung pasif sebagai objek belaka.
Teori nativisme memandang manusia pada hakekatnya merupakan makhluk yang dapat berkembang dengan sendirinya secara ilmiah. Menurut teori ini perkembangan manusia sangat dipengaruhi oleh bakat dan pembawaannya sejak lahir. Dengan demikian menurut konsep ini manusia merupakan makluk yang aktif dalam mengembangkan dirinya. Oleh karena itu yang menjadi fokus dalam proses pendidikan adalah manusianya bukan isi atau materi pendidikan. Jadi kurikulum pendidikan bersifat “child center”, bukan “subject matter-centre”.
Teori kovergensi ini memandang bahwa pada dasarnya setiap manusia memiliki bakat dan pembawaan masing-masing namun bakat dan kemampuan ini tidak akan berkembang tanpa di pengaruhi oleh pendidikan yang optimal. Menurut teori ini keberhasilan pendidikan dipengaruhi oleh kualitas in-put dan di lakukan secara bersama. Batapa baiknya in-put tanpa didukung oleh proses yang optimal, maka tidak akan menghasilkan out-put yang berkualitas bagus dan begitu pula sebaliknya.
Konsepsi Islam memandang manusia hampir sama dengan konvergensi dimana manusia memiliki “fithrah” dan potensi. Oleh karena itu Islam sangat menekankan adanya pemahaman yang baik terhadap potensi yang dimiliki peserta didik dan penyelenggaraan pendidikan yang Humanis. Dalam implikasinya dalam sistem pendidikan, baik pada aspek tujuan yang ingin dicapai, kurikulum yang ditawarkan maupun metode yang di terapkan dalam pendidikan.
Tujuan bagi aliran nativisme adalah memberi kesempatan pada peserta didik agar dapat mengembangkan potensi bakat yang di milikinya secara bebas. Sedangkan tujuan pendidikan menurut aliran empirisme adalah membentuk peserta didik agar menjadi manusia yang sempurna sesuai dengan kebutuhan zaman dan kepentingan pelaku pendidikan (lingkungan). Sedangkan pendekatan yang dipakai adalah teknologi pendidikan yang cenderung mengesampingkan perbedaan potensi yang dimiliki oleh peserta didik. Aliran konvergensi mencoba menggabungkan kedua aliran diatas, yaitu pendidikan pada dasarnya bertujuan untuk membina peserta didik untuk memiliki kemampuan tertentu sesuai dengan minat dan bakat yang di milikinya. Sehingga muatan pendidikan yang diberikan lebih beragam dikategorikan materi pokok dan materi pilihan. Pendekatan yang dipakai adalah “pendekatan eklektik” yakni pendekatan yang dikontruksi dari beberapa pendekatan yang kemudian diambil kelebihan dari masing-masing pendekatan.
Bersambung…