BAHAYA BESAR DI BALIK BUKU “SEJARAH BERDARAH SEKTE SALAFI WAHABI”
July 11, 2011Memanfaatkan Moment Ramadhan
July 31, 2011Merenungkan Ramadhan Kita Kali Ini
Kala matahari tenggelam, langit senja pun berangsur-angsur menjadi gelap. Takbir mulai menggema, tanda azan telah berkumandang. Semarak masjid diramaikan oleh langkah-langkah riang anak-anak, menyertai jama’ah yang mulai berdatangan. Di dalam masjid, jama’ah khusyuk menghadap Rabb-nya. Mereka bermunajat, bersujud, menghinakan diri pada Penciptanya. Usai solat, takbir bersahut-sahutan, terdengar keras dari corong suara di atas masjid. Tak terasa, Syawal telah menyambut kita. Bulan telah berganti, Ramadhan berada pada masa akhirnya. Entah, mungkinkah tahun esok kita masih menjumpainya. Namun, yang patut kita renungi, apa yang telah kita perbuat pada Ramadhan kali ini. Dikala masjid-masjid saling bersahut-sahutan takbir, haruskah kita duduk merenung, menyesali atau bahkan menangisi kelalaian kita. Ramadhan seolah berlalu tanpa kita dapat berbuat banyak untuk mengisinya dengan amal kebaikan. Pantaskah kita merayakan kemenangan sejati pada hari yang fitri, atau kita hanya menjadi pecundang, merasakan kemenangan semu, karena kita meraih kemenangan tanpa ikut lelah berperang.
Penyesalan, adalah kata terakhir yang biasa terucap dari lisan kita, tatkala kita mengalami kegagalan. Ternyata semangat kita hanya mampu berkobar pada awalnya. Kobarannya kian padam, seiring berlalunya hari demi hari Ramadhan. Masjid yang pada awal Ramadhan teramat ramai, namun kembali harus menerima nasibnya sebagaimana pada bulan-bulan biasa, ditinggalkan, dan kini kembali sunyi. Masjid sepi, tiada lagi riuh lantunan Al-Qur’an dari para jama’ah, malang nian, harus kembali tergantikan oleh alunan pita rekaman. Demikian tragis suasana Ramadhan kita, tak pernah berubah dari masa ke masa, selalu begitu sedari dulu. Ramadhan kita selalu kering akan makna, monoton, tak pernah ada perubahan. Selalu ramai diawal, dan berujung sepi diakhir, namun akan kembali ramai, tetapi diawal bulan berikutnya. Keramaian justru terjadi ditempat yang lain, di pasar dan dijalanan. Pikiran kita tak lagi sibuk dengan lantunan zikir, namun disibukkan oleh pengeluaran-pengeluaran yang harus disiapkan pada hari perayaan. Kita tak lagi fokus pada lembaran-lembaran Qur’an, namun justru disibukkan dengan lembaran-lembaran rupiah. Kita tak lagi sibuk untuk memperbarui hati kita, akan tetapi kita justru sibuk mempersiapkan pakaian baru untuk lebaran.
Inilah Ramadhan kita, sepi makna rohani. Hari raya pun tak ubahnya dengan pesta hura-hura, menghambur-hamburkan uang, atau sekedar unjuk kekayaan pada sanak saudara dikampung. Kita terseret pada arus materialisme, berkutat hanya pada uang, pakaian, dan makanan dalam memaknai hari raya. Hari raya tak lagi menyentuh hakikat yang sesungguhnya, perayaan bagi para pemenang sejati yang telah berlomba-lomba menuai kebaikan selama sebulan Ramadhan.
Ramadhan sebentar lagi akan meninggalkan kita. Masih ada waktu untuk berbuat yang terbaik untuk Ramadhan kita kali ini. Bahkan, diakhir Ramadhan inilah saat yang terbaik bagi kita untuk meraih banyak kebaikan. Tidak perlu lagi berandai-andai bisa bertemu Ramadhan di tahun yang akan datang. Janganlah biarkan pikiran kita dihinggapi oleh kemungkinan-kemungkinan akan masa depan yang tak pasti. Kita harus berpikir realistis, bahwa pada hari ini kita masih hidup, dan kita masih mampu berbuat sesuatu, sehingga kita bisa memanfaatkan waktu yang masih kita miliki dengan sebaik-baiknya. Berangan-angan, mengharapkan masa depan hadir pada kita, justru menjadikan kita selalu menunda-nunda amal kebaikan.
Di waktu yang tersisa ini, jangan biarkan kita larut dalam gegap gempita persiapan hari raya. Haruskah kita menyesal, tidak memanfaatkan Ramadhan kali ini dengan perjuangan ibadah yang terbaik. Haruskah kita memaki diri sendiri karena lalai dan terbuai oleh harapan-harapan kosong akan bertemu Ramadhan tahun depan. Haruskah kelak kita menangis, kehilangan masa-masa yang penuh berkah dan rahmat seperti Ramadhan kali ini. Kesempatan memang terkadang muncul berkali-kali, namun tidak semua dari kita memiliki keberuntungan seperti itu. Kita seharusnya merenung, sudah berapa kalikah kita bertemu Ramadhan, dan telah untuk kesekian kalinyakah kita kembali menyia-nyiakannya. Jika telah terjadi kesekian kali penyia-nyian ini, lalu mengapa harus terulangi lagi pada saat ini.
Tinggal dalam hitungan jari kita akan berjumpa hari raya. Hari raya yang justru menjadikan kita diliputi perasaan was-was, berapa lagi korban jiwa yang akan berjatuhan. Dikala kita tersenyum akan bertemu kemenangan, namun ada di antara kita yang harus menangis karena anggota keluarganya direnggut nyawanya oleh malaikat maut dijalanan. Pada saat kita seharusnya berebut pahala di akhir Ramadhan yang mulia, namun ada di antara kita yang sibuk berebut tiket di terminal ataupun stasiun. Bahkan, ada pada sebagian kita harus berdesak-desakan antri berebut zakat dan sedekah. Setiap tahunnya, ratusan nyawa hilang sebelum dan sesudah perayaan hari raya. Korban bergelimpangan, darah bercucuran bukan karena gugur di medan jihad, namun terenggut oleh area maut yang bernama jalan raya. Disisi lain, ada pula yang meninggal karena berebut zakat dan sedekah. Mereka berdesak-desakan, berusaha meraih zakat sesegera mungkin. Takut, jika dihari raya perut-perut mereka kelaparan. Ada pula yang harus rela terkapar di rumah sakit, diserang penyakit-penyakit kronis. Balas dendam, setelah sebulan berpuasa, sehingga menyantap segala hidangan yang terasa nikmat. Inilah makna hari raya kita, sampai kapan hari raya kita akan selalu seperti ini.
Ritual, itulah yang menjadikan kita tak pernah fokus pada Ramadhan kita. Ritual hari raya yang unik, yang memang menjadi ciri khas negara kita. Kita patut berbangga, karena ritual itu hanya negara kita yang punya. Namun, sebatas apa kita harus berbangga pada ritual yang unik tersebut, dikala pada saat yang sama, kita harus kehilangan makna Ramadhan yang sesungguhnya. Mengapa justru dikala Ramadhan, tetap terjadi banyak perampokan, penganiayaan, bahkan pembunuhan. Inikah tanda-tanda hilangnya keberkahan Ramadhan di negara tercinta ini. Berulang kali bangsa ini menyambut Ramadhan, namun berulang kali pula korupsi, perzinaan, kriminalitas terjadi dinegara ini. Jumlahnya pun selalu meningkat dari tahun ke tahun. Aksi pembunuhan dan perampokan dilakukan dengan semakin sadis, kasus pornografi serta prostitusi tak juga berujung usai.
Patutlah kita bersedih hati, sebab Ramadhan seakan-akan tak pernah lagi meninggalkan jejak kebaikan dalam diri kita. Ramadhan seolah bulan tanpa makna, tiada yang spesial, sehingga kita tidak memperlakukannya dengan istimewa. Allah telah memberi keistimewaan pada bulan Ramadhan, agar kita bersemangat dalam mengakselerasi derajat ketakwaan kita. Anugerah yang besar ini, tentu tak patut untuk disia-siakan. Kita seharusnya merasa seperti orang yang kelaparan, bersemangat dalam menyantap hidangan pahala yang Allah sajikan di bulan yang penuh berkah ini. Atau, kita seharusnya beraksi sebagaimana halnya pendaki. Bersemangat untuk merengkuh puncak. Sebab, puncak gunung menyajikan panorama alam yang teramat mempesona. Lelah, tetesan keringat, dan hawa dingin tiada lagi peduli. Godaan untuk menyerah pun terabaikan. Semangat terus berkobar demi meraih puncak. Akan selalu ada orang-orang yang lemah dan putus asa dalam setiap pendakian. Hanya mereka yang memiliki tekad yang kuat, yang mampu menggapai puncak. Ketika telah mencapai puncak, maka lelah yang menggerogoti pun hilang seketika. Puncak Ramadhan, tentulah hari raya. Setelah lelah selama kita beribadah pada bulan Ramadhan, kita pun akhirnya merasakan kebahagiaan pada perayaan hari raya, perayaan bagi pendaki-pendaki sejati. Kita pun ingin kembali merasakan semangat ibadah yang berkobar. Ingin mengulangi moment itu lagi, karena ibadah kini bukan lagi suatu paksaan, akan tetapi telah menjadi suatu kenikmatan. Oleh karenaya, di waktu yang masih tersisa ini, kita masih bisa memberikan yang terbaik untuk Ramadhan kita kali ini. Wallahua’lam