oleh : Al Ustadz Abu Abdirrahman, M.P.I
Dakwah salafiyah memiliki perbedaaan dengan dakwah-dakwah lainnya. Hal tersebut karena dakwah salafiyah tidak terpusat dan terikat pada tokoh, namun terpusat dan terikat pada manhaj yang diambil dari al-Qur’an dan sunnah yang shahih, dan atsar salafushaleh. Oleh karenanya imam Malik –semoga Allah merahmatinya- mendefinisikan ahlussunnah itu dengan orang-orang yang tidak memiliki sebutan kecuali ahlussunnah.
Berbeda dengan kelompok-kelompok dakwah yang ada, kebanyakan kelompok ini semakin tinggi kedudukan keterkaitannya dengan tokoh ketika nama kelompoknya dikaitkankan dengan nama tokoh tersebut sehingga kelompok tersebut dinisbahkan kepadanya. Sebagian mereka menyakini adanya ishmah bagi syaikh-syaikh dan imam-imam mereka. Orang yang menolak pendapatnya seperti orang yang menolak kalam Allah. Sehingga seorang murid wajib taat dan tunduk di hadapan syaikh tersebut seperti mayat yang berada di hadapan orang yang memandikannya.
Adapun ahlussunnah menyakini bahwa seseorang itu dapat diambil pendapatnya atau ditolak kecuali Muhammad –semoga Allah memberikan shalawat dan salam kepadanya-. Namun ahlussunnah memiliki imam-imam di mana kedudukan dan posisi mereka tidak seperti yang lain. Pendapat-pendapat dan ketetapan-ketetapan mereka memiliki nilai dan tempat. Di antara mereka ada seperti orang yang dikabarkan oleh Nabi –semoga Allah memberikan shalawat dan salam kepadanya- bahwa setiap seratus tahun Allah mengutus kepada umat ini seorang mujadid yang memperbarui urusan agamanya.
Ada kekeliruan-kekeliruan yang menimpa sebagian orang-orang pilihan dari kalangan ahlussunnah terhadap permasalahan ini yang terkadang mengotori kemurnian manhaj, melampaui batas, seakan-akan membolehkan sikap fanatisme yang sangat dibenci, diantaranya:
Pertama, mengikat manusia dengan tokoh-tokoh, pembicaraanya selalu lebih banyak seputar manhaj tokoh-tokoh daripada nash-nash al-Qur’an dan hadits. Orang yang menyelisihi pendapat tokoh tersebut lebih fatal dan jelek kesalahannya daripada menyelisihi nash-nash wahyu yang jelas. Bahkan salah seorang yang utama sering berbicara tentang pentingnya seorang da’i terikat dan manhaj dan metode-metodenya fulan -seorang mujadid-. Ketika ada orang yang mengkritisinya dengan mengatakan kepada orang-orang yang hadir pada saat itu dimana yang lebih utama adalah mengikat orang dengan manhaj Nabi –semoga Allah memberikan shalawat dan salam kepadanya- maka ada yang lain yang meluruskannya –setelah memberikan pelabelan-pelabelan yang tidak sebagaimana mestinya-, ia menyatakan bahwa tidak ada metode dakwah yang digunakan oleh Nabi kecuali juga telah dilakukan dan dijalani oleh mujadid tersebut!…. seandainya pendapat itu benar maka bukankah merupakan suatu yang prinsip meneladani kepada orang yang ma’shum yaitu Nabi –semoga Allah memberikan shalawat dan salam kepadanya-?.
Kedua, para penyeru kesesatan menempuh cara untuk memerangi ahlussunnah dengan pelabelan-pelabelan buruk dan menyimpang kepada da’i-da’i ahlussunnah kemudian disebarkan kepada masyarakat umum. Ketika orang-orang mendengar nama tersebut maka tergambar dalam pikiran mereka dengan berbagai bentuk penyimpangan.
Untuk menghilangkan fenomena seperti ini, maka harus dengan manhaj yang lurus dalam menganalisa dan memecah persoalannya:
Sekali lagi; Para imam dan mujadid memiliki kedudukan dan nilai yang tinggi, dan tidaklah sepantasnya kita –shighar thalabah- merendahkan mereka dan berani mengkritisi mereka, namun itu semua tidaklah membuat kita lupa bahwasannya mereka juga manusia dan tidaklah ma’shum. Keimamahan yang mendasar adalah al-Qur’an dan hadits dan ahlussunnah itu adalah mereka yang berjalan seperti apa yang Rasulullah dan para shahabatnya jalani, bukan menjadi orang-orang yang mengikuti tokoh.