Mari Ucapkan Salam Ketika Berpisah
November 27, 2012Pentingnya Memberi Perhatian dan Prioritas Pada Kesehatan Rohani (bag. 2)
December 4, 2012Pentingnya Memberi Perhatian Dan Prioritas Pada Kesehatan Rohani (bag. 1)
Oleh : Ustadz Qosim Saguni
Dalam ajaran Islam, kesehatan rohani memiliki kedudukan yang sangat agung dan urgensi yang tidak bisa dianggap remeh. Betapa tidak, sehatnya rohani akan memberikan pengaruh pada kesehatan jasmani, sebagai contoh seseorang yang rohaninya mengalami kegelisahan, maka biasanya akan berpengaruh pada menurunnya nafsu makan, ketika nafsu makan berkurang biasanya fisik menjadi kurus, selanjutnya tubuh menjadi lemah dan dalam kondisi seperti ini akan mudah terjangkiti penyakit-penyakit jasmani lainnya. Bahkan kecendrungan akhir-akhir ini di Indonesia, kasus bunuh diri makin meningkat, yang salah satu penyebab utamanya adalah krisis rohani. Muhammad Hasan Aydid, menyebutkan bahwa salah satu penyebab terjadinya penyakit jasmani pada manusia adalah gangguan pikiran/kejiwaan (psikosomatik). Gangguan pikiran merupakan salah satu indikasi orang yang mengalami gangguan kesehatan rohani.
Ada beberapa kedudukan dan urgensi kesehatan rohani, dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Merupakan Nikmat Allah SWT yang tak ternilai harganya.
Nabi SAW di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhārī dari Ibn ‘Abbās menyebutkan bahwa ada dua nikmat yang sering dilalaikan oleh manusia, salah satu diantaranya adalah nikmat kesehatan, baik kesehatan jasmani maupun kesehatan rohani. Karena itulah, salah satu nikmat yang akan ditanyakan nanti di hari akhirat adalah nikmat kesehatan.
Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Takātsūr (102): 8 yang berbunyi:
ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ
“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu”
Ibn Katsīr Rahimahullāhu menafsirkan perkataan “…’ani al-na’īm” pada ayat di atas dengan, … berupa nikmat kesehatan, keamanan, rezeki dan nikmat yang lainnya…
Setiap nikmat yang Allah SWT karuniakan kepada manusia wajib disyukuri, yaitu memberikan ungkapan terima kasih kepada pemberinya, dengan kalimat alhamdulillāh diiringi dengan pemanfaatan nikmat tersebut secara optimal pada hal-hal yang diridhaiNya, seperti untuk beribadah kepadaNya, menjalankan perintah-perintahNya, berbuat baik kepada sesama manusia dan alam sekitarnya. Penyalah-gunaan nikmat kesehatan untuk hal-hal yang dimurkai merupakan suatu bentuk kekufuran, yang tidak mustahil nikmat tersebut akan ditarik oleh pemberinya. Inilah yang dimaksud dalam firman-Nya di dalam QS. Ibrāhīm (14): 7.
Bentuk lain dari kesyukuran akan nikmat kesehatan adalah, memeliharanya agar tidak terjangkiti berbagai penyakit, termasuk jangan sampai rohani kita terganggu dengan setan dalam bentuk jin sehingga merasuki tubuh kita. Sedemikian pentingnya mensyukuri nikmat-nikmat Allah SWT sampai dalam QS. Al-Rahmān (55), ada satu ayat yang diulang 29 (dua puluh sembilan) kali dari 78 ayat di surat tersebut. Yaitu ayat yang berbunyi;
فَبِأَيِّ ءَالَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”
- Kesehatan adalah merupakan amanah Allah SWT.
Kalau kesehatan merupakan nikmat pemberian Allah, maka secara logika kesehatan tidak diberikan percuma ibarat cek kosong. Kesehatan jasmani dan rohani diberikan bukan untuk digunakan berfoya-foya untuk merasakan nikmat-nikmat lain yang terlarang dan dimurkai oleh pemberinya. Setiap nikmat yang diberikan oleh Allah SWT adalah amanah untuk dijadikan sebagai sarana ‘ubūdiyyah kepadaNya dan sebagai sarana untuk menciptakan berbagai kemaslahatan bagi umat dan seluruh alam. Ketika pesan-pesan ini tidak ditunaikan secara proporsional, maka yang terjadi adalah pengkhianatan terhadap amanah Allah SWT. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya di dalam QS. Al-Anfāl (8): 27 yang berbunyi:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”
Al-Imām Al-Syaukānī dalam Fath Al- Qadīr memberikan penjelasan terhadap ayat di atas, bahwa yang dimaksud amanah adalah amalan-amalan yang dipercayakan oleh Allah kepada hambaNya (berkaitan dengan berbagai nikmat yang diberikan), jangan mengurangi amanah tersebut. Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa “La takhunullāh” yaitu dengan meninggalkan apa-apa yang Ia wajibkan, “Wa al-Rasūl” yaitu dengan meninggalkan sunnahnya dan berbuat maksiat kepadanya.
Dengan demikian, mengabaikan pemeliharaan terhadap kesehatan tubuh dengan mengkonsumsi barang-barang yang diharamkan oleh agama dan menelantarkan kesehatan rohani dengan meninggalkan kewajiban-kewajiban agama serta tidak memenuhi kebutuhannya berupa ilmu dan dzikir sehingga sangat rentan terjangkiti penyakit adalah merupakan bahagian dari bentuk khianat atas amanah Allah SWT.
- Kesehatan rohani adalah penentu kesalehan dan kejahatan fisik.
Nabi SAW menyebutkan di dalam salah satu sabdanya tentang kedudukan dan urgensi rohani terhadap fisik manusia, yaitu dalam hadis riwayat al-Bukhārī dari Al-Nu’mān ibn Basyīr mengatakan: “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:
“ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging, jika ia baik maka akan baiklah seluruh tubuh itu, dan jika ia rusak maka akan rusaklah seluruh tubuh itu. Ketahuilah, bahwa itulah al-qalb”.
Kata kunci pada hadits tersebut di atas adalah “al-qalb”. Dalam hal ini Al-Imām Al-Ghazālī dalam kitabnya yang berjudul Ma’ārīj al-Qudsī fī Madārij Ma’rifah al-Nafs menjelaskan bahwa salah satu makna al-qalb adalah al-rūh (jiwa manusia) atau sesuatu hal yang abstrak tidak dapat dilihat maupun diraba, dan ia dibebani tugas memikul amanat Allah SWT. Dari sini dapat dipahami bahwa jika al-qalb sebagai sesuatu yang abstrak dari keseluruhan unsur yang menyusun tubuh manusia, maka al-qalb juga dapat diartikan dengan rohani manusia.
Demikian pentingnya kesehatan rohani, sehingga kondidi fisik sangat bergantung pada kondisi rohani. Jika rohani seseorang sehat maka fisik manusia akan ikut menjadi sehat, sebaliknya jika rohani dalam keadaan sakit maka fisik juga akan ikut menjadi sakit.
Sahabat nabi SAW yang bernama Abū Hurairah Radhiyalālhu ‘Anhu mengatakan bahwa hati/rohani adalah rajanya anggota tubuh, dan anggota tubuh merupakan prajuritnya, apabila rajanya baik/sehat maka baiklah/sehatlah prajuritnya dan apabila rajanya rusak/sakit maka rusak/sakitlah prajuritnya.
Sejalan dengan pernyataan tersebut, Ibn Hajar Al-‘Asqalānī rahimahullāh mengatakan bahwa dikhususkan hati/rohani dalam kedudukan dan urgensi seperti itu karena ia adalah amīrul badan (pemimpinnya tubuh), dimana baiknya pemimpin akan menjadikan rakyatnya menjadi baik, demikian pula sebaliknya jika pemimpin rusak/sakit maka rakyatnya akan menjadi rusak/kacau. Hal ini mengandung peringatan tentang betapa agungnya kedudukan hati/rohani dan motifasi untuk memelihara kesehatan rohani, dan hadits ini mengandung isyarat bahwa segala usaha kita sangat dipengaruhi oleh kondisi hati/rohani.
- Dasar utama penilaian Allah pada manusia adalah rohaninya.
Penilaian kemuliaan seorang manusia di sisi Allah SWT bukan didasarkan pada unsur-unsur yang sifatnya material, seperti bentuk wajah dan banyaknya harta, namun didasarkan pada kondisi kesehatan rohaninya. Rasulullah SAW bersabda dalam hadis riwayat Muslim dari Abū Hurairah RA, yang berbunyi:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupamu dan hartamu, akan tetapi Dia melihat pada (kondisi) hati-hati kamu dan amal-amalmu”
Al-Imām Al-Nawawī menjelaskan hadits ini, bahwa sesungguhnya amalan-amalan lahir (semata) tidak akan mengantarkan kepada ketakwaan, tetapi yang akan mengantarkan kepada ketakwaan hanya saja kondisi hati/rohani berupa mengagungkan Allah SWT, rasa takut kepadaNya dan perasaan senantiasa diawasi Allah. Adapun makna nadzrullāh adalah hukum dan penilaian Allah, yaitu didasarkan pada apa yang ada dalam hati/rohani, bukan pada bentuk rupa lahiriyah, nadzrullāh meliputi segala sesuatu dan yang dimaksud dalam hadits ini, bahwa yang dijadikan dasar penilaian atas segala sesuatu itu adalah hati/rohani. Penjelasan ini menunjukkan ketinggian akan kedudukan dan urgensi hati/rohani, dalam hal ini adalah rohani yang sehat dibandingkan dengan perkara-perkara yang lahiriyah seperti fisik. (bersambung…)