Pentingnya Memberi Perhatian Dan Prioritas Pada Kesehatan Rohani (bag. 1)
December 2, 2012Korelasi Antara Jihad dan Hidayah
December 6, 2012Pentingnya Memberi Perhatian dan Prioritas Pada Kesehatan Rohani (bag. 2)
Oleh : Ustadz Qosim Saguni
Berikut adalah artikel Ustadz Qosim Saguni lanjutan dari Pentingnya Memberi Perhatian dan Prioritas Pada Kesehatan Rohani
- Orang yang sehat rohaninya adalah manusia yang beruntung dan orang yang kotor rohaninya adalah manusia yang merugi.
Pernyataan ini adalah inti dari pesan-pesan Allah SWT di dalam QS. Al-Syams (91): 7-10 yang berbunyi:
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا(7)فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا(8)قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا(9)وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا(10(
“Dan (demi) jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”
‘Abd al-Rahmān Nāshir al-Sa’dī ketika menafsirkan ayat ini ia mengatakan:
“…ia mensucikan jiwa/rohaninya dari dosa-dosa, membersihkan jiwa/rohaninya dari berbagai aib, melembutkannya dengan ketaatan kepada Allah serta melejitkannya dengan ilmu yang bermanfaat dan amal-amal shalih.”
Rohani yang dibiarkan mengelana bersama sifat-sifatnya yang buruk, akan mendatangkan kerugian yang besar pada diri dan kehidupan seseorang baik di dunia maupun di akhirat. Indikasi kerugian di dunia diderita oleh orang-orang yang mengabaikan tentang pendidikan rohaninya adalah sebagai berikut:
a) Dia merasa lemah disebabkan lemahnya irādah. Orang seperti ini tidak mampu lagi mengendalikan irādah-nya, karena sudah bertekuk lutut di bawah kesombongan nafsunya yang selalu menyuruh kepada kejahatan (ammārah bis-sū‘). Dan selanjutnya ia akan tetap berada dalam kurungan kebrutalan dan makar-makar nafsunya yang tidak pernah mengenyam manisnya tarbiyah rūhiyyah dan tidak pernah merasakan lecut panasnya cemeti Tazkiyah al-Nufūs.
b) Dia senantiasa diliputi dengan keraguan, tidak mampu tidak mampu untuk tetap berada di atas satu manhaj yang benar atau hanya sekedar menentukan sikap dan memilih kebenaran tersebut sebagai manhaj hidupnya. Setiap kali dia akan berbuat kebaikan, hawa nafsunya akan mendorong dan melemparkannya kepada perbuatan jahat.
c) Dia merasa hina karena telah menjadi hamba bagi jiwanya yang menyuruh kepada kejahatan. Hidupnya dikendalikan oleh nafsu, sehingga jadilah ia seorang hamba yang hina dina bagi hawa nafsunya yang selalu menyuruh untuk berbuat jahat. Selamanya ia akan selalu mematuhi seluruh perintah tuannya yaitu syahwat dan hawa nafsunya, meskipun manusia di sekitarnya menertawakannya dan mereka kehilangan kehormatannya karena perbuatannya.
d) Menjadi seorang pengecut. Hal ini dikarenakan ia tidak pernah merasakan pahitnya kemujahadahan karena didorong oleh irādah nafsunya. Maka jadilah ia seorang hamba yang sama sekali tidak mau mengerjakan setiap perkara yang dianggap menyusahkan nafsunya, padahal perkara itu menjanjikan keselamatan dan ketenangan hidupnya.
e) Hilangnya rasa malu, dikarenakan dia selalu menuruti hawa nafsunya dan tenggelam dalam kubangan syahwat dan amal-amal yang diharamkan oleh syariat. Karena perbuatannya itu hapuslah rasa malunya, baik malu kepada Allah atau kepada manusia. Perasaan malu itu adalah benteng penghalang yang membatasi manusia dari perbuatan jahat dan melanggar syariat atau menuruti syahwat. Kalau sudah demikian, maka kerugian besarlah akan menantikan di akhirat kelak. Dikarenakan sikapnya yang telah menyengsarakan rohaninya dan sama sekali tidak mau mentarbiyah rohaninya dan mengendalikannya agar tetap berada pada garis keikhlasan kepada Allah.
f) Kelak di hari pembalasan dia akan mengelak dari pertanggungjawaban atas amal yang dikerjakan karena ingin membela diri.
- Bekal keselamatan di akhirat, adalah rohani yang sehat.
Di hari akhirat nanti, setiap orang akan mencari pembela yang diharapkan dapat menyelamatkan dirinya dari pengadilan Ilāhi, ada yang berharap dari harta yang telah didepositokan dalam jumlah yang banyak ketika hidup di dunia, ada yang berharap dari anak-anak dengan berbagai keahlian dan spealisasinya, namun semua itu tidak akan berguna lagi. Diantara bekal yang bermanfaat untuk menyelamatkan diri kita dari jatuhnya vonis azab adalah kehadiran kita pada waktu itu dengan membawa rohani yang sehat (qalbun salim). Allah SWT berfirman di dalam QS. Al-Syu’ārā‘ (26): 87 – 89 yang berbunyi:
وَلَا تُخْزِنِي يَوْمَ يُبْعَثُونَ. يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ . إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
“dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan, (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.”
Syaikh Al-Sa’dī dalam tafsirnya menjelaskan bahwa qalbun salīm adalah rohani yang sehat dan selamat dari berbagai penyakit seperti syirik dan keraguan, menyukai kejahatan, berketetapan hati dalam melakukan perbuatan bid’ah dan dosa-dosa. Konsekwensi dari hal tersebut adalah (hati/rohani yang sehat) memiliki sifat-sifat yang merupakan kebalikan dari sifat-sifat tersebut, seperti keikhlasan, ilmu dan keyakinan, kecintaan kepada kebaikan yang menjadi hiasan hati/rohaninya, menjadikan irādah, dan kecintaannya ikut pada kecintaan Allah, menjadikan keinginannya tunduk pada apa yang datang dari Allah SWT.
Muhammad bin Ibrāhīm bin Abdullāh Al-Tuwaijirī menyebutkan beberapa tanda hati/rohani yang sehat:
a) Selalu mengingatkan pemiliknya untuk bertobat kepada Allah, tunduk kepadaNya, dan bergantung kepadaNya seperti bergantungnya seorang pecinta terhadap apa yang dicintainya. Yang mana tidak ada kehidupan, kenikmatan dan kebahagiaan baginya melainkan keridaan, kedekatan dan kasih sayangNya.
b) Tidak pernah futūr (surut semangat) untuk berdzikir kepada Rabbnya, tidak pernah bosan berkhidmat kepadaNya, dan tidak pernah merasa tenteram kepada selainNya.
c) Apabila meninggalkan kewajiban untuk berdzikir kepada Allah maka ia akan merasa sakit, melebihi rasa sakit orang yang tamak ketika kehilangan harta bendanya.
d) Selalu rindu untuk berkhidmat dan beribadah kepada Allah sebagaimana orang yang lapar rindu kepada makanan dan minuman. Ketika ia berdiri melaksanakan shalat, maka hilanglah keresahan dan kegelisahannya terhadap dunia. Ia jauh meninggalkan dunia, dan disanalah ia mendapatkan ketenangan dan kenikmatan.
e) Seluruh keinginannya hanya untuk Allah. Ia sangat pelit terhadap waktunya jangan sampai terbuang sia-sia melebihi pelitnya manusia terhadap harta. Ia sangat memperhatikan kualitas amalnya sehingga iapun bersemangat untuk ikhlas, berittiba’ kepada Nabi SAW, dan ihsan di dalam beramal. Bersamaan dengan itu, ia menyaksikan anugerah Allah yang telah dianugerahkan kepadanya, dan ia menyadari kelalaiannya didalam menunaikan hak Allah SWT.
- Rohani yang sehat adalah wadah iman dan ketenangan.
Bukti lain akan tingginya kedudukan dan urgensi rohani yang sehat, adalah dipilih oleh penciptanya untuk dijadikan sebagai wadah bersemayamnya nikmat yang paling agung yaitu keimanan dan ketenangan. Tidak dipilih akal sekalipun ia merupakan kelebihan manusia dari makhluk lainnya, tidak dipilih lisan bahkan seluruh anggota tubuh lainnya. Rohani yang dipilih pun tidak sembarangan, hanya rohani/hatinya orang-orang yang beriman. Iman dan ketenangan hanya akan tumbuh kondusif di dalam rohani yang sehat, rohaninya orang-orang beriman.
Allah SWT menerangkan hal ini dalam firman-Nya di QS. Al-Fath (48): 4, sebagai berikut:
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَعَ إِيمَانِهِمْ
وَلِلَّهِ جُنُودُالسَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mu’min supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Ibn Katsīr memberikan komentar terhadap ayat ini, bahwa al-Imam al-Bukhārī dan imam-imam lainnya beristidlāl dengan ayat ini akan keutamaan iman di dalam hati/rohani. Selanjutnya Qatādah juga memberikan komentar bahwa ketenangan (berada) dalam hati/rohani orang-orang beriman, adalah para sahabat Nabi SAW di hari Hudaibiyah, mereka menerima seruan Allah dan rasulNya, tunduk pada hukum Allah dan rasulNya, tatkala hati/rohani mereka tenang dengan sikap itu, maka Allah menambah iman mereka dari iman yang telah ada.
MARAJI:
1. Muhammad Hasan Aydid, Sehat Itu Nikmat, telaah Hadits Tentang Kesehatan, (Cet.III; Jakarta: Gema Insani Press, 1997)
2. Abū Abdillāh Muhammad ibn Ismā’il Al–Bukhārī, Shahīh al-Bukhārī, (Cet. I; Beirut: Dār Ibn Katsīr, 1423 H/2002 M)
3. Dewan Penterjemah Al-Qur’an bahasa Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (T.c; Madinah al-Munawwarah, Mujammā’ Al-Malik Fahd li thibā’āt al Mush-haf al-Syarīf, t.th)
4. Al-Imām Al-Hāfidz ‘Imād aldīn Abū al-fidā Ismā’īl Ibn Katsīr, Tafsīr al- Qur’ān al-‘Adzīm, Juz IV,(T.c; Al-Madinah Al-Munawwarah: Maktabah al-‘Ulūm wa al-Hikam, 1413H-1993M)
5. Muhammad Ibn ‘Alī Ibn Muhammad Al-Syaukānī, Fath al-Qadīr al-Jāmi’ Baina Fannā al-Riwāyah wa al-Dirāyah min ‘Ilmi al-Tafsīr, (Cet. IV; Beirūt: Dār al-Ma’rifah, 1428 H- 2007M),
6. Abū Al-Husain Muslim, Shahīh Muslim bi syarh al-Nawawī. Juz ke 16, (Cet.I; Al-Azhar Kairo Mesir: al-Matba’ah Al-Mishriyah, 1347 H/1929 M)
7. ‘Abd Al-Rahmān Nāshir al-Sa’dī, Taisīr al-Karīm al-Rahmān fī Tafsīr Kalām al-Mannān, Juz.V,(T.c; Dammam:Dār al-Dzakhāir, 1414H – 1994M)
8. ‘Abd al-Hamīd Al-Bilālī, Manhaj al-Tābi’īn fī Tarbiyah al-Nafs edisi bahasa Indonesia oleh Muzaidi Hasbullah diberi judul dengan Penyucian Jiwa Metode Tabi’in (Cet.I; Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2000)
9. Muhammad bin Ibrāhīm bin ‘Abdullāh Al-Tuwaijirī, Al-Khulashah fī Fiqh al-Qulūb edisi bahasa Indonesia oleh Abu Khansa Saharian Madi dengan judul Seni Mengobati Hati ( Cet.I; Solo: Pustaka Iltizam, September 2008)