Rambu-rambu Syariat Untuk Mewujudkan Persatuan Umat
January 27, 2014
Rambu-rambu Dalam Upaya Penyatuan Umat
February 5, 2014
Rambu-rambu Syariat Untuk Mewujudkan Persatuan Umat
January 27, 2014
Rambu-rambu Dalam Upaya Penyatuan Umat
February 5, 2014

Bersikap Santun Kepada Fir’aun

Oleh : Ust. Ahmad Hanafi, Lc (Mahasiswa Pascasarjana, King Saud University, Riyadh KSA)

Siapa yang tidak kenal Fir’aun?, sosok manusia yang namanya diabadikan oleh Allah berkali-kali dalam al-Qur’an  melebihi penyebutan nama dan kisah sebagian dari pada Nabi dan Rasul-Nya. Bukan karena prestasi ketaatan dan ketundukan, tapi karena sederet kisah kesombongan, keangkuhan, kebengisan dan hal-hal keji yang lain yang sulit untuk dirangkai dengan kata-kata sederhana.

Dengan segala kesombongan ia memproklamirkan dirinya adalah tuhan yang patut disembah, seraya menafikan Rab Yang Maha Mulia. “Dan berkata Fir’aun: “Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagi kalian selain aku” (al-Qashash: 38) . Sebagai penguasa, ia mengklaim bahwa Mesir dan seluruh kekayaannya berada dan tunduk dalam kekuasaanya. “Dan Fir’aun berseru kepada kaumnya (seraya) berkata: “Hai kaumku, bukankah kerajaan Mesir ini kepunyaanku dan (bukankah) sungai-sungai ini mengalir di bawahku, maka apakah kalian tidak melihatnya?” (al-Zukhruf: 51).

Bahkan dengan segala kekuatan yang dimilikinya, diktator nomor wahid ini melarang seseorang untuk berpaling darinya dan beriman  kepada Allah Yang Haq kecuali dengan izinnya yang disertai dengan ancaman-ancaman yang menakutkan. “Berkata Fir’aun: “Apakah kalian telah beriman kepadanya (Musa) sebelum aku memberi izin kepada kalian…… Maka sesungguhnya aku akan memotong tangan dan kaki kalian dengan bersilang secara bertimbal balik dan aku akan menyalib kalian pada pangkal pohon kurma dan sesungguhnya kalian akan mengetahui siapa di antara kita yang lebih pedih dan lebih kekal siksaanya” (Thaha: 71). Di ayat yang lain, “Fir’aun berkata: “Sungguh jika kamu menyembah selain aku, benar-benar aku akan menjadikan kamu salah seorang yang dipenjarakan” (al-Syu’araa: 29).

Lebih dari itu, terkadang dengan santainya ia melecehkan uluhiyah dan rububiyah al-Khaliq Yang Maha Tinggi dan Agung. “Dan berkatalah Fir’aun: “Hai Haman, bangunkanlah untukku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu.  (Yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sungguh aku menyangka ia adalah seorang pendusta” (al-Mu’min: 36-37). Tentu Fir’aun tidak sedang serius ketika mengucapkan kalimat ini, karena Haman (sang mentri) pasti tidak mampu mengerjakan proyek bualan ini, tetapi ia ingin melecehkan Allah Yang Maha Tinggi Lagi Maha Agung.Na’udzu billah min dzalik.

Kalau kapada Allah Ta’ala saja dengan mudahnya ia lecehkan, maka apalagi hanya dengan utusan-Nya (Musa ‘Alaihissalam). “Bukankah aku lebih baik dari orang yang hina ini dan yang hampir tidak mampu menjelaskan (perkataannya)” (al-Zukhruf: 52). Bahkan, terkadang ia menampakkan rasa iba dan simpati kepada rakyatnya untuk mencari pembenaran untuk menghukum bahkan membunuh Musa ‘Alaihissalam yang dianggapnya sebagai pembangkang dan penghalang kekuasaannya. “Dan berkata Fir’aun: “Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Tuhannya, karena sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agama kalian dan menimbulkan kerusakan di muka bumi” (al-Mu’min: 26).

Inilah secuil dari deretan kisah kedurhakaan Fir’aun yang berulang-ulang disebutkan di dalam berbagai surah dalam al-Qur’an. Maka sangatlah amat wajar jika segala umpatan dan cacian kasar dialamatkan kepadanya.

Tetapi manhaj Ilahi tetaplah manhaj yang tetap kekal dan segar tanpa harus mengalami pergeseran makna. Manhaj yang mengajarkan kepada kita keluhuran budi pekerti, sopan santun dalam berbuat, berprilaku dan berkata-kata. Manhaj ini bukanlah sekedar untaian kata-kata indah, bukan teori yang muluk-muluk, melainkan manhaj yang harus diterjemahkan secara nyata dalam lapangan kehidupan. Ia harus menjadi warna yang cerah di tengah warna-warni yang kelam. Ia adalah  manhaj yang sangat berpihak dan paling memahami fitrah kemanusiaan di tengah-tengah carut marutnya qanun wadh’iy(aturan manusia) yang konon katanya paling faham arti hak asasi manusia dengan segala embel-embelnya.

Tetapi, dengan segala keburukan track record yang dimiliki oleh Fir’aun, Allah mengutus kepadanya Nabi Musa dan Harun ‘Alaihimassalam untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah dengan penuh kesantunan, kearifan dan kelembutan tanpa harus mengikismabda’  (prinsip dasar) yang diyakini kebenarannya. Allah Ta’ala berfirman : “Pergilah kalian berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kalian berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut” (Thaha: 43-44). Dalam ayat yang lain, “Pergilah kamu kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Dan katakanlah : “Adakah keinginan pada dirimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan)”  (al-Nazi’at: 17-18).

Inilah manhaj al-Rifq, manhaj yang mengajarkan kepada kita bersikap santun dalam berbuat dan berkata-kata. Bersikap santun dengan mengedepankan akhlaq mulia. Bersikap santun dalam mencarikan solusi yang terbaik dan termudah. Bersikap santun dalam memahami tabiat dan karakter orang lain. Begitulah ruang lingkup makna al-rifq seperti yang dikemukakan penulis kamus Mukhtar al-Shihah.

Dalam sirah Sang Panutan Shallallahu’alaihi wasallam, betapa terasa manhaj ini hadir dan terus mengalir dalam berbagai kondisi dan obyek dakwah. Betapa tidak, beliau menjadi penengah yang bijak takkala seorang arab badui (yang memang bertabiat kasar) kencing di salah satu pojok mesjid tanpa merasa bersalah. Beliau menjadi guru yang sangat santun ketika mengajarkan sahabat Muawiyah ibn Hakam yang terjatuh dalam kesalahan –yaitu berbicara- ketika sholat telah dilakukan. Bahkan, kepada pemuda yang datang meminta izin kepadanya untuk berzina, Beliau manjadi pendengar yang baik dan santun sekaligus memberikan solusi logis yang tak terbantahkan. Bahkan suatu ketika, beliau menceritakan kisah seorang wanita yang diazab oleh Allah karena menyiksa dan tidak bersikap santun  kepada seekor kucing.

Sunguh tepat kalau Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Hendaklah engkau bersikap lembut dan hindarilah bersikap keras dan kasar, karena tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu kecuali akan menambah indah sesuatu itu, dan tidaklah (kelembutan) itu dicabut dari sesuatu kecuali akan menambah jelek sesuatu itu” (HR. Muslim). Dalam sabdanya yang lain Beliau berkata: “Barang siapa yang tidak memiliki kelembutan maka ia diharamkan dari seluruh kebaikan” (HR. Muslim). Teori dan aplikasi kesantunan yang luar biasa yang wajib dicontoh oleh setiap muslim.

Dalam dunia dakwah, betapa setiap da’i sangat membutuhkan kehadiran al-rifq dalam menyampaikan pesan-pesan dakwah. Ia membutuhkannya ketika ia berhadapan dengan orang tua, muda bahkan kepada anak kecil,  kepada pendosa apalagi kalau memang sudah taat, hatta kepada siapapun, karena manusia tetaplah manusia, sebejat apapun ia masih memiliki perasaan yang bertemu dalam satu titik, semua ingin diperlakukan secara santun, bukan dengan sikap kasar apalagi sampai mencaci dan mengumpat.

Kiranya, wejangan Sufyan al-Tsauri Rahimahullah patut untuk dijadikan pijakan, beliau berkata: “Seseorang tidak pantas untuk beramar ma’ruf nahi munkar kecuali jika telah memenuhi tiga karakteristik, bersikap lembut terhadap apa yang  ia serukan dan ia larang, bersikap adil terhadap yang ia serukan dan ia larang dan berilmu terhadap yang ia serukan dan ia larang”. Allah Ta’ala berfirman: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka”(al-Imran: 159). Wallahu a’alam.

markazinayah.com