Khadijah, Sosok Wanita dalam Balutan Iman
September 1, 2014Kisah Cinta Orang Tua Pada Anaknya
September 13, 2014Jati diri Wanita Muslimah
Saudariku…..
Bagaimanakah gambaran pribadi seorang muslimah yang benar-benar shalihah?
Dr. Muhammad Ali Al-Hasyimi telah menuliskan beberapa sifat, karakter dan kepribadian seorang muslimah yang shalihah secara utuh, sebagaimana yang diajarkan oleh Islam dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tidak hanya shalihah kepada Rabb-nya, akan tetapi juga shalihah di tengah-tengah keluarganya, rumah tangganya dan masyarakatnya.
Seorang wanita muslimah bersama Rabb-nya, adalah mukminah yang senantiasa sadar (akan pengawasan Allah subhanahu wa ta’ala terhadap dirinya-pent).
Satu hal yang membedakan wanita muslimah ialah imannya yang mendalam kepada Allah ‘azza wa jalla dan keyakinannya bahwa apapun peristiwa yang terjadi di alam ini dan apapun yang terjadi pada diri manusia adalah sesuai dengan qadha’ dan qadar Allah subhanahu wa ta’ala. Ia yakin bahwa apa yang telah ditakdirkan tidak akan luput darinya, dan ….. kewajiban yang mesti dilakukan manusia dalam kehidupan ini ialah berusaha meniti jalan kebaikan, mencari sebab-sebab yang bisa mendatangkan amal shalih; apakah itu dalam masalah agamanya maupun dunianya, sembari bertawakal dengan sebenar-benarnya tawakal kepada Allah ‘azza wa jalla, berserah diri kepada urusan-Nya, yakin bahwa ia senantiasa membutuhkan pertolongan, bimbingan dan ridha-Nya.
Mari kita simak kisah ibunda Hajar saat ditinggalkan Ibrahim ‘alaihis salam di samping al-Bait di Makkah al Mukarramah, di dekat tenda tak jauh dari Zam-zam, sememntara di Makkah saat itu belum ada manusia satupun dan air pun tidak ada. Ia hanya ditemanin bayinya yang masih menyusu, Ismail. Kisah ini manyajikan satu gambaran yang sangat mengagumkan di hadapan wanita muslimah, tentang dalamnya keimananterhadap Allah ta’ala dan tawakal serta kepasrahan yang utuh kepada-Nya. Dengan tegar, mantap dan penuh keyakinan, Hajar bertanya kepada Ibrahim, “Allah kah yang menyuruh engkau berbuat seperti ini wahai Ibrahim?”
“Benar,” jawab Ibrahim ‘alaihis salam.
“Kalau begitu…Dia tidak akan menyia-nyiakan kami,” jawab Hajar dengan penuh keridhaan dan disertai keyakinan akan datangnya kabar gembira dan perlindungan. (HR. Bukhari, kitab al Anbiyaa’. Lihat Fathul Baari cet. Darul Ma’rifah 6/396)
Sungguh merupakan tindakan yang sangat berat dan menggugah rasa, bagaimana seorang laki-laki harus meninggalkan istri dan anaknya yang masih menyusu di tengah hamparan padang pasir, tidak ada tetumbuhan, tidak ada air, tidak ada seorang manusia pun. Setelah itu beliau langsung berbalik ke negeri Syam yang amat jauh. Dia hanya meninggalkan satu kantong berisi buah kurma dan satu wadah dari kulit yang berisi air. Andaikan tidak ada iman yang mendalam yang memenuhi hati Hajar, andaikan tidak ada tawakal yang utuh kepada Allah Allah ‘azza wa jalla yang menghiasi perasaannya, tak bakalan ia sanggup menghadapi keadaannya saat itu dan tentu ia akan roboh tak berdaya sejak awal mula berada di sana. Peristiwa seperti ini tidak akan terjadi kecuali pada diri wanita yang secara abadi selalu diingat orang-orang yang menunaikan ibadah haji di Baitullah al-Haram dan melaksanakan umrah di sana. Siang dan malam mereka mengenangnya, yaitu di saat mereka menciduk air zam-zam yang suci, saat mereka melakukan sa’i dari Shafa ke Marwah, sebagimana ia berlari-lari kecil pada hari yang sangat mendebarkan itu.
Keyakinan iman ini menghasilkan buah-buah yang sangat mengagumkan dalam kehidupan muslim dan muslimah, yang menggugah perasaan dan membangkitkan sanubari, bahwa Allah menyaksikan dan mengetahui semua rahasia, bahwa Dia senantiasa bersama hamba-Nya, di mana pun ia berada. Tidak ada bukti yang lebih akurat tentang upaya membangkitkan perasaan dan mendatangkan rasa takut kepada Allah, saat ramai maupun sepi, selain dari kisah seorang gadis muslimah yang terdapat dalam Shifatush Shofwah dan Wafayaatul A’yan, yang dinukil Ibnul Jauzy dalam bukunya Ahkaamun Nisaa’.
Dia menuturkan dari Abdullah bin Zaid bin Aslam, dari ayahnya, dari kakeknya, dia berkata, “Saat aku bersama Umar nin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang sedang melakukan inspeksi di Madinah, tiba-tiba dia merasa kelelahan. Maka pada tengah malam itu dia bersandar di samping sebuah dinding. Tiba-tiba terdengar seorang wanita berkata, “Wahai putriku, ambillah susu itu dan campurkan ia dengan air!”
Putinya menjawab, “Wahai ibu, apakah ibu tidak tahu keputusan yang diambil amirul mukminin pada hari ini?”
“Keputusan apa yang diambilnya, wahai putriku?” tanya sang ibu.
“Dia memerintahkan seseorang untuk mengumumkan, bahwa susu tidak boleh dicampur dengan air,” jawab putrinya.
“Wahai putriku, campuri saja susu itu dengan air! Saat ini kamu berada di suatu tempat yang tidak bisa dilihat oleh Umar,” kata sang ibu.
Putrinya berkata, “Aku sama sekali tidak akan menaatinya saat ramai dan mendurhakainya saat sepi.” (maksudnya, aku akan menaatinya baik di kala ramai maupun sepi-pent)
‘Umar mendengar semua percakapan tersebut. Setelah kembali ke rumah, dia berkata, “Wahai Aslam, datangi lagi rumah itu dan selidikilah siapa wanita yang menjawab seperti tiu dan siapa pula wanita tua lawan bicaranya. Adakah mereka mempunyai suami?”
Aslam menuturkan, “Lalu kudatangi rumah itu. Ternyata wanita yang memberikan jawaban seperti di atas masih gadis, dan wanita yang berbicara dengannya adalah ibunya, dan di rumah itu tidak ada seorang laki-laki pun. Kudatangi ‘Umar dan kukabarkan hal ini padanya. Lalu dia memanggil putra-putranya dan mengumpulkan mereka. Dia berkata, “Apakah di antara kalian ada yang membutuhkan seorang wanita untuk bisa kunikahkan dengannya? Andaikan ayah kalian masih menginginkan seorang wanita, tentu salah seorang dari kalian tidak akan bisa mendahuluinya untuk mendapatkan anak gadis ini.”
‘Abdullah berkata, “Aku sudah mempunyai seorang istri.”
‘Abdurrahman berkata, “Aku pun begitu.”
‘Ashim berkata, “Aku belum mempunyai istri. Nikahkanlah aku dengannya!”
‘Umar mengirim utusan kepada gadis itu, lalu menikahkannya dengan ‘Ashim. Dari wanita ini lahir seorang anak putri, dan dari anak putri ini lahir ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz.
Ini merupakan kesadaran sanubari yang ditanamkan Islam ke dalam jiwa gadis muslimah tersebut. Sungguh ini merupakan gambaran ketakwaan yang lurus, dalam keadaan terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, saat rama ataupun sepi, karena keyakinan bahwa Allah senantiasa bersama dia, bisa mendengar dan melihat. Ini adalah iman yang hakiki, yang kemudian membuahkan hasil yang menggembirakan bagi pelakunya. Di antara ganjaran Allah yang langsung dirasakan wanita ini di dunia adalah Dia menganugerahinya pernikahan yang penuh barakah, sehingga dari keturunannya lahir al-Khulafaur Rasyidun yang kelima, yaitu Umar bin Abdul Aziz rahimahullah.
Aqidah wanita muslimah yang lurus, bersih dan suci tidak akan terlumuri oleh noda kebodohan, kebeningannya tidak akan menjadi keruh oleh tipuan khurafat dan keelokannya, tidak akan padam karena bayang-bayang keraguan. Inilah aqidah yang ditegakkan di atas iman kepada Allah Yang Ahad, Yang Mahatinggi dan Yang Berkuasa atas segala sesuatu, Yang di Tangan-Nya terletaksemua urusan dan kepada-Nya pula kembali segala urusan. Allah berfirman, yang artinya:
“Katakanlah, ‘Siapakah yang ditangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu, sedang Dia melindungi. Tetapi tidak ada yang dapat melindungi dari (adzab)-Nya jika kalian mengetahui.’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah’. Katakanlah, ‘(kalau demikian), maka dari jalan manakah kalian ditipu?’” (QS. Al-Mu’minun: 88-89)
Iman yang mendalam, bersih dan jelas ini menambah kepribadian muslimah semakin kuat, sadar dan matang. Dia melihat hakikat kehidupan ini sebagai tempat ujian dan menentukan pilihan, lalu hasilnya pasti akan muncul pada suatu hari yang tidak disangsikan kedatangannya (hari perhitungan/kiamat-pent).
“Maka apakah kalian mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kalian secara main-main (saja), dan bahwa kalian tidak akandikembalikan kepada Kami?” (terjemah QS. Al-Mu’minun: 115)
(bersambung)
oleh: Ummu Yusuf (Ketua LMW Yogyakarta)