Oleh Ustad Rappung Samuddin, Lc, MA
Sebenarnya ini adalah sebuah Kisah nyata. Asalnya dari hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Namun yang saya ceritakan di sini adalah versi film kartunnya yang berbahasa Arab. Saya menontonnya waktu masih kuliah dulu. Tepatnya saya sudah tidak ingat. Ceritanya sederhana tapi sarat pelajaran dan hikmah. Kendati dikemas untuk anak-anak, orang dewasa pun bisa hanyut dalam haru. … Di mulai dari satu keluarga petani miskin yang baru saja membeli sebuah rumah sederhana…
“Alhamdulillah, akhirnya kita bisa memiliki sebuah rumah. Walau sederhana, namun ia berasal dari hasil keringat sendiri”, gumam sang istri sambil terus memandangi rumah sederhana itu. Sang petani mengulum senyum kecil. Pelan ia mengeja kalimat syukur. “Yang harus segera kita lakukan adalah memperbaiki bagian-bagian yang rusak”. Seru sang petani. Maka mulailah petani miskin itu, istri dan kedua anak lelakinya bekerja.
Di tengah pekerjaan renovasi, tiba-tiba sang petani dikejutkan oleh sebuah kantung berisi 1000 dinar emas, tertimbun di bawah tembok rumah. Hatinya bergejolak kuat. Gemetar ia meraih keping-keping dinar tersebut. Susah sekali memilah antara rasa gembira atau takut. Anggota keluarga itu lalu berkumpul. Tak ada yang bersuara. Dalam senyap, nampak binar-binar kebahagiaan di wajah mereka. Terkecuali sang petani. Hatinya masih disesaki kebingungan luar biasa. Apa yang harus ia lakukan pada keping-keping emas itu?
Sepanjang malam ia tak kuasa memejamkan mata. Jiwanya lelah menampik ribuan bisikan dan godaan. “Sudahlah, itu rezeki dari Allah untukmu. Apalagi saat ini engkau sangat butuh. Engkau dapat membeli apa saja yang engkau mau. Bisa membangun rumah mewah, membeli kendaraan, bahkan engkau bisa berhaji dengannya. Ah, jangan terlalu dipikirkan…”. Sebuah bisikan hadir dalam hatinya. “Sadarlah, dinar-dinar itu bukan milikmu. Tidak halal bagimu mengambil dinar itu. Sudikah engkau menyuapi anak istrimu dengan sesuatu yang bukan milikmu? Sadarlah, jangan tergoda nafsu!”, bisikan kedua datang dari arah lain. Pikirannya makin kacau. “Duhai Rabb, apa yang harus aku lakukan??” jerit batin sang petani. “…Beri hamba petunjuk. Anugerahi hamba kekuatan. Tegakkan langkah hamba…”. Petani miskin itu mengakhiri doa dalam sujud panjangnya di akhir malam.
Pagi harinya, keluarga miskin itu berkumpul mengitari meja makan. Masing-masing mulai mena’bir angan mereka. “Hmm, Alhamdulillah, akhirnya harapanku memiliki perhiasan emas terwujud. Aku akan beli kalung, gelang, cincin, dan anting emas yang banyak…”, ujar sang istri.
“Aku akan menikahi seorang gadis cantik. Lalu membeli sapi yang banyak dan kebun yang luas. Oh ya, aku juga akan membangun sebuah rumah…”, sela anak sulungnya.
“Kalau aku…, aku akan beli bebek yang banyak, juga membuat kolam air jernih. Aku juga akan beli permainan yang buaanyak sekali…”, sambung putra bungsunya, yang disambut dengan gelak tawa ibu dan kakaknya.
Belum lagi ketiganya menyambung angan, tiba-tiba sang petani berseru lantang: “Cukup…!, cukuuup…!, dinar-dinar ini bukan milik kita…!!”. “Tolong bantu aku. Siapkan pakaian dan bekal perjalanan pagi ini!, aku akan ke kota menemui pemilik rumah ini”, perintah sang petani pada istrinya. “Engkau, kemasi pakaianmu, ikut aku !”, sambil menunjuk putra sulungnya. Buyar seluruh angan yang berseliweran dalam benak mereka.
Pagi itu juga keduanya beranjak ke kota. Setelah menempuh perjalanan jauh dan sulit, akhirnya tibalah mereka di kediaman pemilik rumah sebelumnya. Seorang juragan kaya namun dermawan. Sejenak keduanya berbasa-basi. Kemudian petani miskin itu mulai menguraikan maksud kunjungannya. Bahwa ia ingin mengembalikan 1000 dinar emas yang ditemukan di bawah tembok rumahnya.
“Tuan, silahkan tuan mengambil milik tuan itu. Sungguh dinar-dinar itu hanya akan mengusik kami. Bahkan kenikmatan tidur pun ia rampas dariku. Aku mohon sudilah tuan mengambilnya kembali…!”, pinta sang petani, seraya menyerahkan kantong berisi dinar-dinar emas itu.
Juragan dermawan itu bingung namun tetap tersenyum. Lembut ia menyodorkan kembali kantong itu pada sang petani. “Aku minta maaf, dinar-dinar ini bukan milikku. Aku tidak berhak mengambilnya…”.
“Ah, tuan jangan mengejek kami. Kami memang keluarga miskin, tuan. Namun kami masih sanggup bekerja di kebun untuk memenuhi kebutuhan keluarga kami. Tolong tuan, saya mohon, ambillah milik tuan itu…!
“Ha ha ha, siapa yang hendak mengejek anda?, Demi Allah, dinar-dinar itu bukan milikku…”. Keduanya larut dalam tampik menampik dan tak ada satu pun yang mau mengalah. Akhirnya, lantaran menemui jalan buntu, keduanya sepakat mengadukan perkara tersebut pada Hakim. Sang Hakim tertegun diam. Rasanya baru kali ia menghadapi perkara aneh semacam ini.
Setelah berpikir sejenak, sang Hakim lalu angkat bicara. “Apakah anda memiliki anak lelaki?” Tanya Hakim seraya menoleh pada sang petani. “I…Iya, saya memilki dua anak lelaki. Yang sulung seorang pemuda sedang adiknya masih kanak-kanak. Ia ada di belakang sana”.
“Anda wahai tuan, apakah anda memiliki seorang anak perempuan?” Tanya Hakim itu kepada sang juragan. “Iya, aku memiliki seorang putri”, jawabnya pendek.
“Baiklah… kalau boleh usul, bagaimana kalau kedua anak kalian itu dinikahkan saja. Lalu dinar-dinar emas tersebut dihadiahkan pada keduanya…”. kata sang Hakim. Keduanya takjub. Tersenyum lalu saling berpelukan. Sungguh usulan Hakim itu memberi celah bagi persoalan yang mereka hadapi…
Ah, aku membayangkan, bagaimana jika sekiranya perkara tersebut terjadi hari ini. Barangkali kedua orang jujur di atas akan dituding sebagai orang gila. Sebab, jangankan ditawari, sesuatu yang jelas-jelas bukan miliknya saja, manusia hari ini begitu serakah mengejarnya. Tak ada setitik pun rasa takut dalam hati. Bahwa harta yang bukan miliknya itu bakal dipertanggungjawabkan kelak.
Nah, dari kisah ini, banyak hal yang dapat kita petik. Diantaranya, bahwa akhir perbuatan jujur itu adalah kebahagiaan dan ketenangan dalam hidup. Dan hal ini seperti ditegaskan dalam sabda Rasulullah SAW, seperti termaktub dalam Sunan at-Tirmidzi: “Sungguh, kejujuran itu (melahirkan) ketenangan dan dusta mendatangkan kekhawatiran…”.