Lempar kesalahan
November 9, 2016
SEPERTI BUNGA LIAR
November 11, 2016
Lempar kesalahan
November 9, 2016
SEPERTI BUNGA LIAR
November 11, 2016

KEBANGKITAN UMAT, IBU HAMIL, DAN ORANG SEPUH

                Tsauban radhiyallahu ‘anhu, salah seorang sahabat Rasulullah yang merupakan mantan budak beliau, pernah meriwayatkan satu hadits mengenai kondisi umat Islam di akhir zaman. Waktu itu Tsauban, sebagaimana para sahabat yang lainnya, sedang hadir di majelis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Majelis tempat Rasulullah mendidik dan membina mereka menjadi generasi emas. Generasi yang nantinya dengan suka rela kita kagumi dan kita cintai. Generasi yang seandainya bukan karena shahih-nya mata rantai jalur periwayatan, kita akan menyangka mereka itu hanya  dongeng belaka.

 “Nyaris..”, kata Rasulullah di tengah para sahabat, dengan wajah bak purnama dan sorot mata penuh cinta kepada umatnya, “.. umat-umat selain kalian, menyerang kalian dari segala penjuru, bagaikan orang-orang yang sedang mengerubuti hidangan yang tersaji di atas nampan…”

                Saat itu, para sahabat pun tercengang  menyimpan seribu tanya, ada apa? Kenapa? Dan berbagai pertanyaan lainnya. Tak tahan dengan ganjalan di hati, salah seorang di antara mereka pun memberanikan diri bertanya, “Yaa Rasulallah…a-min qillatin binaa yaumaidzin…? Wahai Rasulullah, apakah jumlah kami sedikit pada hari itu?”

                Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yang tidak pernah bicara berdasarkan hawa nafsunya, menjawab dengan bimbingan wahyu, “Bal antum yaumaidzin katsiir…, Tidak! Justru jumlah kalian pada hari itu banyak.” Seolah Rasulullah tegaskan, jumlah kalian banyak! Kalian bukan minoritas!

                “Akan tetapi..,” Rasulullah melanjutkan penjelasan tentang  rambu-rambu akhir zaman ini, “..kalian seperti buih air bah..” Para sahabat masih terdiam khusyuk. Mereka itu kata Abu Sa’id Al Khudhri, ketika bermajelis bersama Rasulullah, seperti ada burung di atas kepala mereka. Khidmat, konsentrasi penuh.

                Rasululullah melanjutkan lagi, “..dan sungguh, Allah akan mencabut rasa takut dari hati musuh-musuh kalian, dan sebaliknya Allah campakkan ‘al wahn’ ke dalam hati kalian”. Para sahabat masih terdiam. Tak terbayang di benak mereka, bagaimana hal itu bisa terjadi? Padahal mereka sama-sama faham bahwa Rasulullah memiliki beberapa keistimewaan yang tidak dimiliki oleh nabi-nabi yang lain. Dan di antara keistimewaan itu adalah, kata beliau, “nushirtu bir ru’bi mashiirata syahrin”. Pertolongan dari Allah berupa rasa takut yang ditanamkan ke dalam dada musuh sejauh satu bulan perjalanan. Pertolongan itu dicabut dari umat ini?

                Masih terngiang beribu tanya di hati para sahabat. Apa yang Rasulullah maksudkan dengan “al wahn”? Bukan karena mereka baru pertama kali dengar. Bukan karena istilah ini asing. Tidak. Bahkan kata “al wahn” juga Allah gunakan dalam Al Qur’an. Al wahn artinya adalah kelemahan. Para sahabat tahu akan hal ini. Allah gambarkan kondisi ibu hamil dalam Al Qur’an menggunakan kata ini, “wahnan ‘alaa wahnin”. Lemah yang bertambah lemah, semakin hari semakin lemah. Itulah al wahn yang dirasakan setiap ibu hamil.

                Di ayat yang lain, Allah juga sebutkan kata “al wahn”  ini dalam bentuk kata kerja. Allah kisahkan tentang keluhan Nabi  Zakariya, “…Rabbi innii wahanal ‘azhmu minnii.” Nabi Zakariya mengatakan, “..Ya Rabb, sesungguhnya tulang-tulangku sudah melemah”. Al wahn disini Allah gunakan untuk membahasakan kelemahan yang dirasakan setiap orang yang menjalani usia senja. Kelemahan pada kerangka penyangga kekuatan.

                Tapi mengapa “Al Wahn “? Ada apa dengan Al  Wahn? Umat ini ditimpa wahn? Kalau yang dimaksud adalah kelemahan, kelemahan seperti apa? Apa sebabnya? Umat ini mengalami kelemahan sebagaimana ibu hamil yang semakin hari semakin lemah? Umat ini lemah seperti lemahnya orang yang sudah sepuh? Separah itukah?

                “Wamal wahn yaa Rasulallah? Wahai Rasulullah…”, salah seorang sahabat memberanikan diri bertanya,  “…Apa maksud Al Wahn yang engkau sebutkan?”

                “…hubbud dunya, wa karahiyatul maut”.  “Wahn itu.., cinta dunia dan takut pada kematian”, jawab Rasulullah dengan tenangnya.

                Hadits ini terucap sebagai sabda suci dari manusia teragung sejak empat belas abad yang lalu. Dinukil berantai oleh para penjaga sunnah hingga bisa kita dengar hari ini. Hadits ini, menurut Syaikh Salim bin ‘Ied al Hilali yang merupakan salah satu murid Syaikh al Albani, diriwayatkan oleh 15 ulama. Beliau simpulkan derajat kevalidannya ada pada level shahih.

                Begitulah, umat yang pernah mengalami masa keemasan ini, sekarang sedang sakit. Ada virus wahn yang harus segera disembuhkan. Lalu bagaimana caranya? Kapan umat ini akan bangkit lagi? Adakah petunjuk nubuwwah untuk menyembuhkan ini semua? Jawabnya, ada. Problematika ini bukan tanpa ujung. Kelemahan ini bukan tak bisa disembuhkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sudah pernah berpesan tentang itu.

                Abdullah ibnu Umar, salah seorang putra amirul mu’minin Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhuma pernah meriwayatkan hal ini. Beliau katakan bahwa Rasulullah pernah bersabda, “Jika kalian mulai berjual beli dengan cara ‘inah (ijon, salah satu jenis riba), kalian sibuk memegangi ekor sapi dan cocok tanam,serta kalian tinggalkan jihad..! Maka, Allah akan timpakan kepada kalian kehinaan. Allah tidak akan mengangkan kehinaan tersebut, hinga kalian kembali kepada agama kalian..!”

Transaksi ribawi dan kecintaan berlebih pada cocok tanam maupun urusan ternak adalah simbol cinta dunia. Jika ditambah dengan tarkul jihad (meninggalkan jihad), maka lengkap sudah, itulah Al Wahn. Dan dalam hadits di atas Rasulullah sudah menyebutkan solusinya.  Ya, solusinya adalah kembali belajar agama kemudian mengaplikasikannya.

                Akan tetapi, bagaimana realisasinya? Bagaimana mengajak umat kembali kepada agamanya? Sesederhana itukah? Kira-kira butuh berapa lama? Mari kita belajar dari sejarah. Ishlahul ummah (memperbaiki kondisi umat) bukanlah pekerjaan ringan dan sebentar. Hal itu yang dulu terjadi pada Perang Salib, perang  yang memakan waktu hampir 100 tahun. Berawal dari tahun 1095 dan berakhir di tahun 1187 saat Shalahuddin al Ayyubi memasuki al Quds.

 Dr. Adian Husaini dalam mukaddimah buku beliau “Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi” menjelaskan tentang ini. Beliau angkat kiprah Imam al Ghazali dalam meng-ishlah kondisi umat saat itu. Imam al Ghazali saat itu justru menulis kitab beliau yang monumental, Ihya’ Ulumiddin. Beliau tidak bahas tentang  jihad qital (perang fisik) di kitab monumental ini. Akan tetapi disini seolah ada isyarat besar dari beliau.

 Ihya’ Ulumiddin artinya “Menghidupkan (Kembali) Ilmu Agama”. Isinya membahas tentang perbaikan “nafs” (jiwa manusia), diawali dari bahasan tentang ilmu. Ini isyarat dari beliau, jika ingin jaya, pelajari kembali ilmu agama. Perbaiki jiwa (nafs / anfus). Ini senada dengan firman Allah dalam Al Qur’an (yang artinya), “..Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah kondisi suatu kaum, hingga mereka mengubah apa yang ada pada anfus (jiwa-jiwa) mereka..”

Gerakan yang dipelopori oleh Imam al Ghazali ini dilanjutkan sampai beberapa generasi berikutnya. Ulama penerus beliau saat itu diantaranya adalah Syaikh Abdul Qadir Jailani, serta Ibnu Qudamah al Maqdisi.

Dr. Majid Irsan al Kilani dalam buku beliau “Hakadza Zhahara Jiilu Shalaahiddin wa ‘Aadatil Quds” (Beginilah Lahirnya Generasi Shalahuddin dan Kembalinya al Quds) lebih detail membahas tema ini. Intinya, umat harus kembali belajar agama dan menghidupkan amal jama’i (kerja kolektif, saling bekerja sama). Karena kemenangan Shalahuddin bukan kemenangan individu, tapi kemenangan sebuah generasi. Generasi yang dibangun puluhan tahun melalui halaqah-halaqah (majelis ilmu) para ulama.

Maka jika hari ini kita ingin perbaikan pada umat dan bangsa ini, mari kta meng-ihya’ Ulumiddin. Hidupkan kembali ilmu agama. Mulai dari maa bil anfus (apa yang ada dalam jiwa), dengan harapan Allah akan mengubah apa yang ada dalam umat dan bangsa tercinta ini.

Ustadz Murtadha Ibawi