Seperti bunga liar, indahnya hidayah. Begitu indah, tapi kadang tumbuh di tempat-tempat paling tak terduga. Tak disangka tak dinyana.
Jika hari ini kita saksikan seorang gubernur dengan kepongahannya, doakan semoga hidayah menyapanya. Mungkin bukan besok atau lusa. Mungkin bisa satu dasawarsa. Kalaupun bukan orangnya, barang kali anaknya, istrinya, atau cucunya yang akan masuk Islam.
Jika hari ini direktur tempat kita bekerja belum bersama kita dalam dekapan indah hidayah, doakan. Biar Allah yang membuka hatinya. Begitu juga jika masih ada sahabat, saudara, atau tetangga kita yang masih tersesat di belantara, do’akan dan ajak semampunya. Semoga Allah menyibak tabir penutup qalbunya.
Hidayah adalah rahasia Allah. Kita tidak tahu kapan Allah akan berikan hidayah kepada seseorang. Baik yang paling kita cintai, maupun yang paling kita benci. Kawan maupun lawan.
Hidayah adalah hak mutlak dari Allah ta’ala. Bahkan Rasulullah pun tidak bisa memberikan hidayah kepada paman tercinta.
Kapan? Itu misteri ilahi. Tidak ada yang tahu. Bisa besok, lusa pekan depan, atau entah.
Tugas kita hanya sebatas menyampaikan, mengajak, dan mengenalkan Islam ini kepada mereka. Do’akan di waktu-waktu dan tempat-tempat mustajab. Di Ka’bah, sebelum iqamah, atau sepertiga malam.
Inilah, “Al hirsh ‘alaa hidayatin naas”. Keinginan yang kuat untuk menghantarkan hidayah. Dan ini adalah salah satu karakteristik utama (khasha’ish) ahlus sunnah wal jama’ah.
Sebutlah misalnya ‘Utbah bin Rabi’ah, sesepuh musyrikin Quraisy. Termasuk paling keras dalam memusuhi Rasulullah. Kelak dia harus dilemparkan ke dalam sumur Badar bersama pembesar lainnya.
Meskipun Utbah tidak mau masuk Islam, anak keturunannya pada akhirnya masuk Islam dan turut serta dalam memperjuangkan Islam. Sekali lagi meskipun, setelah jangka waktu yang sangat lama.
Putrinya sendiri, Hindun binti Utbah. Pencincang Sayyidina Hamzah dan pengunyah jantungnya di Uhud. Kemudian menantunya, Abu Sufyan. Bukan saja memusuhi dakwah saat di Mekkah, Abu Sufyan adalah penggerak musyrikin Quraisy dalam menggempur Madinah. Sejak Perang Badar, Uhud, dan yang tidak kalah genting ketika Perang Ahzab.
Selain anak dan menantu Utbah, cucu-cucunya juga masuk Islam. Sebutlah Ramlah binti Abi Sufyan alias Ummu Habibah. Bukan hanya masuk Islam, tapi juga diperistri oleh Rasulullah ketika sedang berada di negeri seberang, Habasyah. Suaminya murtad, kemudian dinikahi oleh Rasulullah dengan Raja Najasyi sebagai walinya.
Cucu Utbah lainnya, Yazid bin Abi Sufyan. Yazid telah masuk Islam saat kedua orang tua, kakek, dan keluarganya masih musyrik. Berikutnya adalah Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Beliau masuk Islam, penulis wahyu, dan khalifah pertama dari Bani Umayyah.
Abu Sufyan dan Hindun tak lelah memusuhi Islam hingga dua dasawarsa. Dua puluh tahun bukan waktu yang singkat. Tapi, sekali lagi hidayah memang bagaikan bunga liar. Pasca Fathu Makkah mereka berdua masuk Islam.
Tujuh tahun berikutnya kita saksikan mereka di Yarmuk. Saat Amirul Mu’minin Umar bin Khaththab berusaha menebar cahaya di bumi Syam. Hari-hari Yarmuk adalah hari-hari genting. Hari-hari do’a dan munajat. Hari-hari qunut nazilah.
Bagaimana tidak, 36.000 pasukan orang beriman harus menghadapi 240.000 pasukan gabungan dari koloni-koloni Romawi. Satu orang harus menghabisi tujuh tentara Romawi. Kalau baru berhasil menebas enam, belum cukup, karena kekuatan masih berimbang satu banding satu.
Saat itu Abu Sufyan sedang di Yaman. Dari Yaman menuju Syam bukanlah jarak yang pendek. Yaman-Syam itu lintas negara. Akan tetapi, panggilan itu mengalahkan segalanya. Inilah saatnya menebus hari-hari kebencian dan penuh makar terhadap Islam.
Kuda pun dipacu, melintas sahara, bukit batu, dan angin gurun. Tidak sendiri, sang istri Hindun binti Utbah pun menyertai. Di Yarmuk, sejarah menyaksikan apa yang mereka lakukan hingga kaum muslimin mengibarkan bendera kemenangan di benteng Damaskus.
Di medan Yarmuk pula kita saksikan Khalid bin Walid, putra Al Walid bin Al Mughirah. Kurang apa Al Walid bersama keluarganya dalam memusuhi Islam? Kurang apa Khalid sang putra? Yang dulu di Uhud, kaum muslimin porak poranda akibat manuvernya.
Begitupun Amr bin Ash. Kurang apa permusuhannya, hingga ke Habasyah pun ia kejar para muhajirin? Lautan ia seberangi. Di Yarmuk pula kita lihat Ikrimah. Putra Abu Jahal, Fir’aunu hadzihil ummah (Fir’aun-nya ummat ini). Dia persembahkan jiwa raganya hingga syahadah menjemputnya.
Dulu mereka mereka paling memusuhi, akhirnya dikenang dan dicintai umat ini. Angin hidayah menyapa kuncupnya, hingga ia mekar jadi bunga.
Sampaikan firman Tuhanmu. Sampaikan sabda Nabimu. Hidayah itu seindah bunga, mari kita hantarkan dengan cinta.
Ustadz Murtadha Ibawi