Sesungguhnya Nabi Muhammad memiliki penolong-penolong sebagaimana Nabi Isa memiliki penolong (hawariyyin). Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
لَّقَدْ رَضِيَ اللَّـهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا
“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).“ (QS. Al-Fath [48] : 18)
Ayat ini turun berkenaan dengan adanya Bait Ar-Ridhwan (بيعة الرضوان). Kisahnya diriwayatkan oleh Ath-Thobary dari Salamah ibn Al-Akwa radhiyallohu anhu. Ketika itu para sahabat berkumpul dengan Rosululloh Sholallohu alaihi wa Salam di bawah pohon untuk berbai’at. Diantaranya terdapat sahabat Umar ibn Khottob radhiyallohu anhu. Bai’at ini muncul ketika tersiar kabar bahwa Utsman ibn Affan dikabarkan terbunuh oleh orang-orang Quraisy maka Rosululloh mengumpulkan para sahabat untuk berjanji setia untuk berperang melawan orang-orang Quraisy.
Melalui kisah ini kita dapat mengetahui bagaimanakah perjuangan para sahabat dan siapa sajakah para sahabat yang bersama-sama dengan Rosululloh ketika bai’at berlangsung. Ini adalah poin dalam keutamaan mempelajari Sirah Nabawiyah yakni mengenal para sahabat. Siapa sajakah para sahabat Nabi ?. Apa definisi sahabat Nabi ?. Bagaimana kehidupan para sahabat ?.
4.2. Mengenal Para Sahabat Nabi
Sebelum kita menjelaskan keutamaan mengenal para sahabat Nabi maka perlu dijelaskan siapa sajakah yang termasuk sahabat Nabi ?. Hal ini menjadi sangat penting agar kita tidak jatuh dalam kekeliruan yang merendahkan salah seorang sahabat padahal beliau adalah orang yang mulia di sisi Nabi. Dan tidak pula keliru menganggap seorang adalah sahabat Nabi padahal tokoh munafik.
Apa definisi sahabat Nabi ?. Telah berkata Imam Bukhari rahimahullah dalam Shahihnya (3/1333)[1].
وَمَنْ صَحِبَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ رَآهُ مِنْ الْمُسْلِمِينَ فَهُوَ مِنْ أَصْحَابِهِ
“Diantara sahabat Nabi Shalallohu alaihi wa Salam adalah yang melihat Nabi dan beriman, ini adalah definisi sahabat Nabi”
Al-Hafidz Al-Iraqi menyebutkan pengertian sahabat yakni mereka yang berislam dan wafat juga dalam keadaan beriman. Dan hal ini tentu saja tidak berlaku mereka yang murtad (orang yang keluar dari Islam) dan mati dalam keadaan kafir.
Sehingga siapa saja yang melihat atau hidup di masa Rosululloh, masuk Islam dan wafat dalam keadaan masih tetap dalam Islam maka ini termasuk sahabat. Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait melihat atau tidak melihat sekalipun masih satu zaman dengan Rosululloh. Penulis tidak akan memfokuskan pada permasalahan ini akan tetapi inti utamanya adalah mereka yang beriman kepada Alloh dan Rosulnya dan wafat pun masih dalam keadaan beriman.
Contoh yang bisa kita sebutkan adalah seorang tokoh munafiq yang bernama Abdullah ibn Ubay ibn Salul. Kisah tokoh munafik ini diabadikan oleh Alloh dalam firman-Nya:
وَلَا تُصَلِّ عَلَىٰ أَحَدٍ مِّنْهُم مَّاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَىٰ قَبْرِهِ ۖ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّـهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ
“Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik“ (QS. At-Taubah [9] : 84).
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan bahwa Alloh telah memerintahkan kepada Rosululloh untuk berlepas diri dari orang-orang munafik dengan tidak menyembahyangkan jenazahnya ketika mati dan tidak menghadiri atau takziah dan tidak pula memintakan pengampunan pada mereka karena mereka telah kufur kepada Alloh dan Rosul-Nya.
Asbabun Nuzul (sebab turunnya ayat) ayat ini dikisahkan tatkala Abdulloh ibn Ubay ibn Salul mati, anaknya yang bernama Abdulloh ibn Abdulloh ibn Ubay datang menghadap Rosululloh mengabarkan meminta untuk mengkafani dan menyolatkan jenazahnya. Maka Rosululloh bangkit untuk menyolatkan dan mendoakan. Saat itu Umar ibn Khattab bangkit dan berusaha melarang Rosululloh mendoakan dan menyolatkannya karena yang mati adalah orang munafik dan ini pimpinannya lagi. Ketika itu Rosululloh menyampaikan kepada Umar ibn Khattab:
اسْتَغْفِرْ لَهُمْ أَوْ لَا تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ إِن تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِينَ مَرَّةً فَلَن يَغْفِرَ اللَّـهُ لَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّـهِ وَرَسُولِهِ ۗ وَاللَّـهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja). Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampunan kepada mereka. Yang demikian itu adalah karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (QS. At-Taubah [9] : 80).
Rosululloh tetap menyolatkan dan turunlah Surah At-Taubah ayat 84 larangan untuk menyolatkan dan memintakan ampun orang-orang munafik.
Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari sepenggal kisah ini ?. Dengan mengetahui kisah munafik ini kita akan paham bahwa orang-orang munafik adalah orang-orang yang mengaku muslim tapi berhati kafir. Dengan diperkaya dalam kisah Sirah Nabawiyah kita akan semakin paham bagaimana ciri-ciri orang munafik. Mereka membela keyakinan orang-orang kafir dan lebih ridha berada di barisan orang-orang kafir. Mereka tidak suka dengan perjuangan umat Islam dan cenderung menggembosi perjuangan umat Islam.
Orang-orang munafik ini lebih berbahaya daripada orang-orang kafir dan mendapatkan ancaman oleh Alloh berada di dalam kerak neraka. Dalam Sirah Nabawiyah ini pula kita akan mengetahui dan tidak heran bahwa banyak orang-orang yang mengaku muslim dengan nama yang berciri khas Islam akan tetapi perilaku dan akidahnya sangat jauh dari ajaran Islam.
Sebagaimana kita tahu bahwa orang-orang munafik ini pemimpinnya bernama Abdulloh yang bermakna Hamba Alloh. Sebuah nama yang memang dianjurkan oleh Rosululloh untuk diberikan kepada kita. Akan tetapi nama bukanlah menjadi tolok ukur sebuah kebenaran sebagaimana juga dalam pakaian, etnis, suku, ras dan lain sebagainya.
Di masa ini kita tentu pernah mendengar bahwa Islam diidentikkan dengan arab. Padahal jika kita mengetahui lebih mendalam Islam bukanlah arab. Sehingga selalu mengidentikkan Islam dengan arab adalah kekeliruan.
Bersambung…
Referensi:
- Al-Quran
- https://islamqa.info/ar/158077 (diakses 29 Oktober 2016)
- Tafsir Ibnu Katsir
13 Safar 1438 – 13 November 2016
Ustadz Andrey Ferriyan