MENDIDIK ANAK AGAR MENJADI JUJUR
Oleh : Ust. Ir. Muh. Qasim Saguni, MA
Salah satu budi pekerti yang utama yang diajarkan oleh nabi kita Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam adalah As-Sidqu atau kejujuran. Kejujuran ini bahkan merupakan salah satu akhlak induk. Artinya, dari kejujuran itu akan lahir berbagai budi pekerti yang baik lainnya.
Kita lihat di dalam hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, yaitu:
Dari Abdullah lbnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu, dari NabiShallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda,
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
“Hendaklah kalian berbuat jujur karena sesungguhnya kejujuran itu akan mengantarkan kepada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan itu akan mengantarkan ke Syurga dan apabila seseorang itu membiasakan diri untuk berbuat jujur sehingga ia akan dicatat di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah kalian dari berbuat kebohongan/berbuat dusta, karena sesungguhnya kebohongan itu akan mengantarkan kepada kefasikan, dan sesungguhnya kefasikan itu akan mengntarkan kepada Neraka. Dan sesungguhnya seseorang yang selalu membiasakan diri untuk berdusta karena kebiasaannya itu berdusta maka ia akan dicatat di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagai pendusta”.
Hadits ini disebutkan di dalam Shahih Al Adabul Mufrad oleh Imam Al-Bukhari, dan Syaikh Al Albani menyebutkan hadits ini sebagai hadits yang shahih.
Kita melihat di dalam hadits tadi bahwa kejujuran adalah merupakan induknya kebaikan.Demikian juga sifat dusta adalahmerupakan induk berbagai kejahatan atau sifat kebohongan adalah merupakan induk dari berbagai kejahatan. Bahkan…sifat kebohongan ini sekarang sudah menjadi sebuah kejahatan level atas, kejahatan tingkat tinggi. Kita melihat penyakit yang sangat parah menimpa bangsa kita sekarang ini, yaitu korupsi. Kalau korupsi ini ditelusuri, sesungguhnya ia merupakan satu penyakit yang diawali dengan kebohongan. Berbohong adalah merupakan awal segala kerusakan dan akan membawa kepada bencana bangsa ini.
Selain itu, dari hadits yang kita sebutkan tadi, terkandung perintah untuk berlatih berbuat jujur, terkandung perintah untuk melatih diri kita menjadi orang-orang yang jujur yang apabila kejujuran ini selalu menjadi latihan bagi kita, maka dia akan menjadi budaya. Sehingga orang-orang itu (orang yg selalu berlatih berbuat jujur itu) akan disebut di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagai siddiiqan, sebagai orang-orang yang jujur. Karena itu…para orang tua dan para pendidik, hendaknya menanamkan sifat ini. Sifat kejujuran ini kita harus tanamkan sejak dini pada anak-anak kita, sehingga menjadi sebuah budaya yang mendarah daging dalam diri keluarga kita. Demikian juga hendaknya kita berupaya memberantas sejak dini sifat kebohongan pada diri keluarga kita. Sebab ini adalah merupakan kebiasaan yang paling buruk.
Yg kedua, kita melihat bagaimana Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam menanamkan sifat kejujuran ini pada anak-anak, demikian juga bagaimana Beliau menanamkan buruknya sifat kebohongan .
Dalam hadits, Dari Abdullah bin Amir Radhiyallahu ‘Anhu…..
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَامِرٍ أَنَّهُ قَالَ دَعَتْنِي أُمِّي يَوْمًا وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاعِدٌ فِي بَيْتِنَا فَقَالَتْ هَا تَعَالَ أُعْطِيكَ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا أَرَدْتِ أَنْ تُعْطِيهِ قَالَتْ أُعْطِيهِ تَمْرًا فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَا إِنَّكِ لَوْ لَمْ تُعْطِهِ شَيْئًا كُتِبَتْ عَلَيْكِ كِذْبَةٌ
“Sesungguhnya Abdullah bin amir mengatakan, ibuku memanggil aku padasuatu hari sedangkan Rasulullah duduk di rumahku, maka berkatalah ibuku ke sinilah saya akan memberikan sesutu kepadamu, maka Rasullullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam yang pada waktu itu berada dirumah kami. Dan Rasulullah mendengarkan apa yang dikatakan oleh ibu saya, maka Beliau mengatakan apakah yang akan kamu berikan kepada anak itu ? Maka ibu saya mengatakan, saya akan memberikan kurma. Maka berkatalah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallamkepada ibu saya pada waktu itu…Ingatlah sesungguhnya jika engkau tidak memberikan sesuatu kepada anakmu…artinya ..sesungguhnya jika engkau melakukan ini hanya pura-pura saja, maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan mencatat bagimu sebagai satu kebohongan, sebagai satu kedustaan.”
Hadits ini disebutkan di dalam Sunan Abu Daud dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani di dalam kitabnya Shahihuh At Targhib Wa Tarhib.
Kita melihat di dalam hadits ini, bagaimana perhatian Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam terhadap berbagai hal berkaitan dengan anak-anak. Termasuk hal yang kita anggap enteng, perkara yang kita anggap sepele, berpura-pura pada anak kita. Maka Beliau memberikan perhatian yang sangat luar biasa.
Di dalam hadits ini, kita melihat Beliau menegur ibu dari Abdullah bin Amir yang pada waktu itu memanggil anaknya, berpura-pura ingin memberikan kurma. Kemudian Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam menegur, sesungguhnya apabila kamu tidak memberikan sesuatu kepada anakmu, sesungguhnya apabila kamu hanya berpura-pura karena ingin memanggil anak itu dengan iming-iming akan memberikan sesuatu, maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan mencatat itu sebagai satu kedustaan, sebagai satu kebohongan. Ini mengandung pelajaran bagi kita sebagai orang tua, agar kita memberantas sejak dini budaya kebohongan.Dan upaya pemberantasan sifat kebohongan yang merupakan budaya yang sangat buruk ini, harus dimulai dari kita. Harus dimulai dari orang tua, harus dimulai dari para guru.
Pertanyaan bagi kita sekarang ini, mengapa anak kita sering berbohong? Atau dengan kata lain, apa sebab-sebab kebohongan itu menjadi sebuah budaya yang mendarah daging di dalam keluarga kita?
Kalau kita telusuri, maka paling tidak ada tiga sebab kenapa anak-anak kita ini sering berdusta, sering berbohong.
Sebab Pertama adalah: Mencontoh orang yang terdekat, siapa pun dan sekecil apa pun kebohongan itu. Jadi tidaklah mungkin anak kita itu berbohong tanpa ada sebab, tidaklah mungkin anak kita itu berdusta tanpa ada sebab. Dan salah satu diantara sebab yang berpengaruh pada anak itu adalah ada orang yang dia contoh. Ada orang terdekat yang dia contoh. Apakah itu temannya atau yang orang paling dekat dengan anak adalah orang tuanya dan diantara kedua orang tuanya, umumnya anak itu lebih dekat kepada ibunya. Contoh, misalnya ada orang yang mengetuk pintu rumah, ternyata orang yang mengetuk itu adalah pengemis atau orang yang datang ke rumah kita meminta sumbangan, ketika hal ini diketahui oleh orang tua, anaknya menyampaikan kepada orang tuanya, maka orang tuanya mengatakan kepada anak itu, bilang aja ummi atau mungkin abanya, bilang aja ummiku atau ibuku atau bapakku tidak ada di rumah. Terkadang hal-hal yang seperti ini hal-hal yang kita pandang sepele, tetapi sesungguhnya ini sudah mengajarkan kepada anak kita bahwa berbohong itu adalah sesuatu yang boleh.
Sebab Kedua: Sering kali orang tua atau bahkan guru, selalu ingin mendengarkan dari anaknya jawaban yang bagus. Mereka tidak siap anaknya itu ketika ditanya dengan jawaban yang jelek, contoh: ketika ana iktu ditanya, “tadi nak berapa nilai yang kau dapatkan di sekolah?” kemudian setelah dilihat pekerjaannya, maka sang ibu atau sang bapak mengatakan “hah… masa nilai 5 (lima) yang kamu dapatkan, dasar kamu tidak belajar.” Orang tua kebanyakan kadang tidak siap kalau anak mendapatkan nilai jelek padahal kalau orang tua siap berapa pun nilainya dan tidak marah, maka mungkin anak kita itu tidak akan berbohong. Inilah pengalaman yang biasa kita dapatkan dari anak-anak kita ini. Mereka terkondisikan berdusta, itu diakibatkan karena kita sebagai orang tua atau kita sebagai guru menginginkan dari anak-anak kita itu jawaban-jawaban yang baik, jawaban-jawaban yang bagus dan kita tidak siap anak itu memberikan jawaban apa adanya, yang mungkin saja itu jelek bagi kita. Ini adalah hal-hal yang mungkin kita anggap sepele, hal-hal yang kita anggap kecil, tetapi sesungguhnya ini sudah menanamkan budaya, bahkan keyakinan pada anak itu bahwa kita boleh berdusta untuk mengamankan diri dari kemarahan orang tua.
Sebab Ketiga: Anak kita berdusta karena terkadang apabila anak kita itu jujur namun dibalas dengan emosi. Pada kondisi yang seperti ini, anak akan berpikir kalau ia jujur malah akan mengundang emosi dari orang tuanya. Karena itu untuk mengamankan diri dari sifat amarah dari sifat emosi orangtua, maka ia terpaksa berdusta. Contoh: ketika orang tua mendengar ada laporan dari gurunya bahwa anaknya bolos, maka ketika anak itu pulang ke rumah, kita sebagai orang tua akan memberikan respon yang panik kemudian emosi. Padahal sikap yang benar apabila kita menghadapi kondisi yang seperti ini adalah kita respon dengan tenang dan tidak emosi, kemudian kita ajak anak itu berkomunikasi, maka Insya Allah pasti anak kita akan memberikan jawaban secara jujur. Sebab bolosnya anak, itu diakibatkan oleh berbagai sebab. Bisa itu sebab-sebab yang positif dan boleh jadi juga sebab-sebab yang negatif. Tetapi tidak jarang diantara anak kita memberikan jawaban yang positif, sebab-sebab dari tindakan yang ia lakukan itu ternyata bersumber dari sebab-sebab yang positif. Katakanlah anak yang bolos ini, boleh jadi anak ini kalau kita tidak respon secara panik, kita tidak merespon dengan emosi yang berlebihan, maka anak itu akan berkata jujur; bahwa saya tidak senang dengan guru itu, cara mengajarnya seperti ini…orangnya killer…guru itu selalu mencaci maki saya dan sebagainya. Ataukah mungkin dia tidak merasa tenang di kelasnya karena selalu saja mendapatkan gangguan dari temannya yang pada waktu itu guru tidak memperhatikan dan tidak memberikan pembelaan pada anak itu. Maka ketika anak merasa seperti ini, anak merasa tidak aman di kelasnya, tidak aman di sekolahnya, maka ia memilih untuk bolos saja. Ketika orang tua menyikapi persoalan-persoalan seperti ini, dengan panik, menyikapi persoalan-persoalan ini dengan emosional, maka kondisiyang seperti inilah yang bisa menyebabkan anak berdusta. Karena dengan berdusta ia akan merasa aman dari tekanan orang tuanya.
Apa solusi yang bisa kita ambil apabila anak kita ini teryata berdusta dengan tiga sebab yang kita jelaskan tadi?
- Apabila anak kita ini berdusta dengan sebab mencontoh orang yang terdekat, maka kita sebagai orang tua harus menyadari hal itu, maka hendaklah kita mengubah diri, mengubah sikap kita, orang tua maupun guru. Dan apabila hal itu sudah terlanjur dilakukan terhadap anaknya, maka bukanlah yang tabu dan tercela bagi orang tua untuk meminta maaf kepada anaknya. Dan ia mengatakan bahwa Insya Allah ummi atau abi akan berubah. Dan kalau orang tua atau guru melakukan hal ini, ia lakukan lalu kemudian diiringi dengan sikap konsistensi, maka Insya Allah akan tertanam pada jiwa anak itu bahwa ternyata kedustaan betapa pun kecilnya itu adalah satu hal yang buruk.
Kita kembali melihat hadits Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam tadi, bagaimana beliau menanamkan sifat kejujuran pada anak. Beliau merubah terlebih dahulu sikap itu pada orang tua Abdullah bin Amir Radhiyallahu ‘Anhu. Diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi WaSallam bahayanya sifat dusta.Bagaimana caranya beliau menanamkan sifat itu? Yaitu beliau merubah terlebih dahulu orang yang terdekatnya, dan orang yang terdekat dari seorang anak yang bernama Abdullah bin Amir ini adalah ibunya. Maka Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam merubah, menanamkan bahayanya kebohongan itu dengan merubah terlebih dahulu sikap ibunya.
- Jika sebab kebohongan itu bersumber dari orang tua atau guru yang selalu menginginkan jawaban yang bagus-bagus dari anaknya, maka orang tua harus siap dengan jawaban anak apapun itu. Syukurlah kalau kita sebagai orang tua mengetahui lebih dini keburukan yang dilakukan oleh anak kita sehingga dengan hal tersebut kita bisa menggali sejauh mana keburukan yang telah ia lakukan. Dengan memilih sikap siap dengan jawaban anak, apapun jawabannya itu, maka ini artinya kita telah mendidik dan mengkondisikan anak kita itu untuk berbuat jujur, untuk berkata jujur pada kita. Sebab dengan kejujuran yang dilakukan oleh anak kita itu, anak tidak merasa terancam, anak tetap merasa aman, dan anak dengan kondisi yang seperti itu justru merasa akan mendapatkan solusi, akan mendapatkan jalan keluar dari masalah yang dihadapinya.
- Jika sebab kebohongan dari pada anak itu diakibatkan karena kejujuran anak dibalas dengan emosi orang tua, maka hendaknya orang tua bersikap mau mendengarkan jawaban anak tanpa memarahinya. Bagaimana pun kesalahan anak adalah kesalahan kita juga di masa lalu. Kalau kita tidak memperbaikinya sekarang, justru akan memperburuk masa depannya. Bayangkan jika anak kita sudah terlanjur terjerumus ke dalam narkoba, wal iyaadzu billah. Kalau orang tua marah, apakahsang anak akan berubah? Justru bisa sebaliknya, anak itu akan makin menjadi-jadi atau melakukan perbuatan itu secara sembunyi-sembunyi. Tetapi jika orang tua mau bekerja sama dengan anak, minimal kita segera memperbaiki kerusakannya, maka ini adalah solusi terbaik. Cara berfikir yang seperti ini, sering kali luput dari penilaian orang tua dan guru. Kebanyakan orang tua atau kebanyakan pendidik merasa dialah yang paling benar, kalau anaknya salah mereka akan berpikir itu terjadi karena kesalahan anak mereka.
Adakah toleransi bagi anak yang berbohong, dengan kata lain jika anak sudah diketahui sebab dan solusinya, tetapi anak tersebut tetap saja berdusta, maka saat itu juga kita membuat konsekuensinya berupa sanksi yang diharapkan bisa merubah sikapnya. Misalnya tidak boleh ikut rihlah (piknik) yang akan dilakukan oleh keluarga tersebut. Boleh jadi sanksi itu adalah dikurangi uang jajannya selama sekian hari. Selain itu, setelah kita membuat konsekuensi pada anak tersebut, hendaklah kita konsisten dengan konsekuensi tersebut. Jangan kita plin plan (inkonsistensi), jangan kita merubah sikap kita itu, agar anak paham hal yang buruk yang tidak patut dia lakukan.