Oleh : Al Ustadz Abu Abdirrahman, M.P.I
Tarbiyah merupakan sarana/jalan untuk memindahkan hukum-hukum syari’at dan nilai-nilai Islam yang bersifat teori kepada kehidupan nyata baik secara pribadi, keluarga, masyarakat dan generasi. Oleh karenanya tarbiyah adalah sebuah proses yang membutuhkan waktu yang cukup lama. Bagi setiap murabbi (pendidik) hendaknya mengkaji bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendidik para shabatnya sehingga mereka menjadi pribadi dan generasi terbaik yang Allah tampilkan dalam peradaban manusia.
Tulisan ini merupakan hasil terjemahan dari sebuah pengkajian yang dilakukan oleh Dr. Muhammad bin ‘Abdullah al-Duwasy –semoga Allah menjaganya- terhadap sirah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengungkap bagaimana manhaj tarbiyah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dituangkan dalam sebuah tulisan yang berjudul Ma’aalim fii al-Manhaj al-Tarbawi al-Nabawi dan dimuat dalam situs www.almurabbi.com sehingga para murabbi (pendidik) dapat mengenal rambu-rambunya.
Pertama, al-Shabru wa Thuulu al-Nafasi (Sabar dan Panjang Nafas)
Sesuatu hal yang mudah bagi seseorang untuk berinteraksi dan bergaul dengan benda mati. Seorang peneliti dapat bersabar dan bertahan untuk mempelajari fenomena suatu benda, Namun bergaul dan berinteraksi dengan manusia memiliki sisi dan pandangan yang berbeda. Hal itu karena manusia adalah makhluk yang unik, tidak dapat dipastikan perilaku dan sikap mereka dengan aturan tertentu, sehingga anda akan melihat sikap dan perilakunya kadang begini dan kadang begitu, kadang rela kadang marah. Berdasarkan ini, para ahli sepakat bahwa fenomena manusia merupakan fenomena yang terikat dengan keadaan, dan penelitian dalam masalah ini akan menemukan beberapa kesulitan dan hambatan. Khususnya, berinteraksi dan bergaul langsung dengan orang lain dan berusaha untuk meluruskan dan mengarahkan perilakunya.
Bagi orang yang memperhatikan sirah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan dapat melihat bagaimana kesabaran dan tidak tergesa-gesanya Nabi sampai ia mampu mendidik generasi yang penuh berkah. Berapa lama waktu yang ia habiskan? Berapa banyak peristiwa-peristiwa yang ia hadapi ketika berinteraksi dengan para sahabatnya namua ia tetap bersabar dan menharapkan pahala dari Allah karena ia memiliki nafas yang panjang dan pandangan yang jauh kedepan.
Bagaimana pun tingginya kedudukan sahabat Nabi –semoga Allah meridhai mereka- namun mereka bukanlah makhluk yang terlepas dari kesalahan (ma’shum). Adakah orang yang lebih tinggi kedudukannya dari para sahabat Nabi shallalhu ‘alaihi wa sallam. Inilah mereka, turun kepada mereka ayat ketika di Badar,
“Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar.” (QS.al-Anfal[8]: 68)
Ketika di Uhud,
Di antara kalian ada orang-orang yang menginginkan (kehidupan) dunia dan ada juga yang menginginkan (kehidupan) akhirat.
dan ketika di Hunain,
“Dan (ingatlah) pada perang Hunain, ketika kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak member manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu terasa semoit olehmu, kemudia kamu lari ke belakang dengan bercerai-cerai.” (QS.al-Taubah[9]: 25)
Ketika Nabi membagikan harta ghanimah perang Hunain dan mendapati sebagian sahabatnya tidak menerima dengan pembagian tersebut atau ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah kemudian datang kafilah dagang kemudian para sahabat keluar dang mengikutinya sehingga turun ayat yang selalu dibaca. (Lihat.QS.al-Jumu’ah[61]: 9)
Walaupun demikian generasi dan masyarakat ini tetap memiliki keunggulan, dan contoh ideal bagi kaum muslimin disetiap belahan bumi. Lantas, bagaimana dengan orang yang kedudukannya di bawah mereka bahkan tidak boleh untuk disamakan dengan mereka? Sehingga bagi seorang murabbi harus memiliki nafas yang panjang, cita-cita yang tinggi dan optimis.
Kedua, al-Khithab al-Khass (Penyampaian khusus)
Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan pelajaran, nasihat, arahannya kepada seluruh sahabatnya, namun ia pun memberikan perhatian dengan menyampaikan pelajaran, nasihat dan arahan secara khusus kepada beberapa komunitas para shahabatnya.
Merupakan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika selesai shalat id menyampaikan nasihat kepada komunitas wanita sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas –semoga Allah meridhainya- ia bercerita: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi (ke tanah lapang) pada hari id kemudian shalat dua raka’at, ia tidak shalat sebelum dan setelahnya, lalu menuju barisan wanita bersama Bilal dan memberikan nasihat, perintah kepada mereka dan memotivasi untuk bersedekah sehingga ada seorang wanita yang termotivasi melemparkan gelang, kalung dan anting-anting. (HR. Bukhari no.1431 dan Muslim no.884).
Bahkan hal itu tidak hanya sekedar menumbuhkan pertemuan-pertemuan singkat saja, dari Abu Sa’id al-Khudri –semoga Allah meridhainya- bahwa kaum wanita mengeluh kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salllam, “Kaum laki-laki lebih banyak menyita waktumu daripada kami, kami meminta satu hari bersamamu,” kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat janji kepada mereka, menyampaikan nasihat, perintah. Diantaranya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ” Tidaklah seorang wanita di antara kalian mati tiga anak laki-lakinya kecuali akan menjadi penghalang (bagi orangtuanya) dari api neraka.” Kemudian ada seorang wanita yang bertanya: “Bagaimana jika dua orang?” lalu Nabi shallallahu ‘alaih wa sallam menjawab, “ demikian pula dua orang.” (HR. Bukhari no. 101 dan Muslim no. 2633).
Terkadang juga Nabi menyampaikan kepada orang-orang tertentu dari suatu komunitas tanpa melibatkan yang lain, sebagaimana yang ia lakukan pada perang Hunain ketika mengundang kaum Anshar dan memberikan penegasan agar tidak datang yang lainnya. Demikian pula ketia Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membai’at sebagian sahabatnya untuk tidak meminta bantuan apa pun kepada orang lain.
Ketiga, al-Musyarakatu al-‘Amaliyah (terlibat dalam aktivitas)
Sebagian seorang murabbi (pendidik) membiasakan peran mereka hanya terbatas memberikan instruksi dan mengawasi pelaksanaan instruksi tersebut. Hal seperti ini merupakan cara yang menyalahi manhaj murabbi yang pertama yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimana ia hidup berinteraksi bersama mereka dalam berbagai aktivitas dan kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terlibat dalam pembangunan masjid: Dari Anas bin Malik –semoga Allah meridhainya- ia bercerita, “ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di kota Madinah kemudian singgah di sebuah komunitas, mereka menyebutnya Bani ‘Amru bin ‘Auf, lalu ia tinggal bersama mereka selama empat belas malam….kemudian mereka memindahkan batu, dan pakain mereka kotor terkena tanah dan bersama mereka ada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil mengatakan, “Ya Allah tidak ada kebaikan kecuali kebaikan akhirat ampunilah Anshar dan Muhajirin.” (HR. Bukhari no. 428 dan Muslim no. 524); Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terlibat dalam penggalian parit (pada perang Ahzab): Dari Sahl bin Sa’ad al-Saa’idy –semoga Allah meridhainya- ia bercerita:”Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam parit, ia sedang menggali parit dan kami memindahkan tanah, ia melewati kami kemudian bersabda,“ Tidak ada kehidupan kecuali kehidupan akhirat ampunilah Anshar dan Muhajirin.” (HR. Bukhari no. 6414 dan Muslim no. 1804).
Demikian pula dengan keterlibatan dalam jihad; Nabi shallallhu ‘alaihi wa sallam mengikuti peperangan sebanyak 19 peperangan. (HR. Bukhari no. 3949 dan Muslim no. 1254), bahkan ia mengatakan tentang dirinya: ”Seandainya tidak memberatkan umatku aku akan duduk-duduk di belakang pasukan.” (HR. Bukhari no. 36 dan Muslim no. 1876).
Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam terlibat bersama mereka ketika terjadi suara yang menakutkan: Dari Anas –semoga Allah meridhainya- ia bercerita, Nabi adalah orang yang paling baik dan pemberani, pada suatu hari penduduk Madinah dikejutkan dengan suatu suara, mereka mendatangi asal suara tersebut kemudian Nabi menemui mereka dan ia mencari-cari berita sedang ia berada di atas kuda milik Abu Thalhah dan di pundaknya ada pedang seraya bersabda: “ kalian tidak berjaga-jaga kalian tidak berjaga-jaga lalu Jabir berkata:“ Kami melihatnya sebagai seorang yang sangat pemberani atau ia adalah seorang pemberani.” (HR.Bukhari no.2908 dan Muslim no.2307)
Keterlibatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berarti melupakan peran mereka sehingga menjadikan mereka seperti benda mati, namun harus seimbang antara keterlibatan seorang murabbi dan melatih mereka untuk beraktivitas dan terlibat.
Memberikan instruksi dan arahan adalah sesuatu yang dapat dilakukan oleh semua orang, namun bersama-sama dengan orang lain dalam sebuah aktivitas dan terlibat dengan mereka akan meningkatkan nilai seorang murabbi di hadapan mereka dan meninggikan kedudukannya, mereka akan memiliki perasaan yang sama. Ini juga akan mendorong mereka untuk menambah pengorbanan, cita-cita, dan semangat. Berbeda dengan mereka yang menyeru untuk beramal dan mendidik mereka akan tetapi jauh dari mereka. Makna ini telah diungkapkan di mana para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulang-ulangnya:
Seandainya kami duduk-duduk saja dan Nabi bekerja
Oleh karena apa yang kami lakukan maka pekerjaan itu menjadi sia-sia
Kemudian hal itu pun akan menambah ruh kecintaan dan persaudaraan dan mereka memberikan andil dalam membangun hubungan kemanusian yang erat antara murabbi dengan orang-orang yang didiknya.(bersambung)