Rambu-Rambu Dalam Manhaj Tarbiyah Nabawiyah (bag. 2)
September 25, 2012Rambu-Rambu Dalam Manhaj Tarbiyah Nabawiyah (bag. 4)
September 29, 2012Rambu-Rambu Dalam Manhaj Tarbiyah Nabawiyah (bag. 3)
Oleh : Al Ustadz Abu Abdirrahman M.P.I
Ketujuh, tarbiyah kepemimpinan bukan tarbiyah taklid
Ada satu pertanyaan yang harus ada dalam diri kita dan memenuhi pikiran kita: Apakah kita memaksudkan dengan mengajarkan orang lain dan menyiapkan mereka agar mereka menjadi ahli ilmu yang mampu beristimbath (menyimpulkan hukum dari dalil-dali syar’i), mengeluar ide cemerlang dan berinovasi? Ataukah kita mendidik mereka agar mereka menerima pendapat-pendapat guru-guru mereka tanpa mengkritisi atau bahkan tanpa memahami substansi pendapat tersebut?
Apakah kita memperhatikan bahwa diantara tujuan kita dalam pengajaran untuk mendidik kemampuan berfikir dan inovasi pada murid-murid kita, melatih mereka untuk menyimpulkan hukum-hukum syariat dari nash-nash, memadukan nash-nash yang nampak bertentangan?
Apakah di antara tujuan kita mendidik mereka untuk mampu menerapkan hukum-hukum syariat pada kejadian-kejadian yang mereka alami?
Sesungguhnya orang yang memperhatikan fakta pengajaran yang kita berikan kepada generasi kita akan memberikan catatan bahwa kebanyakan kita hanya sekedar mentransfer ilmu semata, kemudian kita merasa senang ketika seorang murid mampu menguasainya, ini sisi lain –ketika kita mengajarkan kepadanya- ukuran keberhasilan dan kesuksesan itu berdasarkan sejauh mana ia mampu memaparkan apa yang didengar dari gurunya, sehingga evaluasi dan ujian itu berdasarkan prinsip apa yang dihapalkan seorang murid dan mampu untuk mengulang dan mengingatnya.
Tidak ragu lagi, itu semua adalah benar, namun mengarahkan potensi kepada sisi ini saja dan ini merupakan buah dari pengajaran, hanya dapat melahirkan sebuah generasi yang menghafal permasalahan-permasalahan ilmiyah –kemudian setelah itu lupa- atau berada di bawah bayang-bayang ustadz dan syaikhnya.Karena mengajarkan orang yang lapar dengan mengajarkan cara menangkap ikan lebih baik daripada memberikan seribu ekor ikan.
Demikian pula dengan aktivitas dakwah yang diembannya, apakah kita mendidik orang-orang agar mereka menjadi aktivis, memiliki inovasi dan terlibat atau kita mendidik mereka hanya sekedar mengekor dan taklid apa yang menjadi pendapat tokoh-tokoh mereka?
Adapun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tarbiyah yang dilakukannya memiliki warna lain. Dalam tarbiyah ilmiyyah, mampu melahirkan ulama’ dan fuqaha’ dan Nabi tidak hanya mentransfer informasi-informasi semata.
Memberikan solusi dari permasalahan yang dihadapi merupakan buah tarbiyah ini, dalam bidang keilmuan para shahabat menghadapi permasalahan-permasalahan yang baru namun mereka tidak berhenti dihadapannya dalam keadaan bingung maka mereka mengambil hasil tarbiyah ilmiyyah yang mereka ambil dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam sehingga mereka berijtihad seperti membuat penjara, mengumpulkan al-Qur’an, memberikan hukuman cambuk bagi peminum khamr, kharraaj dan yang lainnya.
Dalam bidang jihad, pengelolaan negara dan dakwah mereka memutuskan hal penting selama berbulan-bulan bagi orang-orang murtad setelah mereka menetapkan sikap syariat dari permasalahan riddah, kemudian ketika negara Islam meluas dan para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menginjakkan kaki mereka di negeri belahan timur sampai ke Azerbaijan, Maroko dan Afrika Barat, sehingga ada shahabat yang dikuburkan di bawah benteng Konstantinopel.
Seandainya mereka ditarbiyah bukan dengan tarbiyah seperti ini maka mereka tidak akan melakukan apa yang telah mereka lakukan.
Dimanakah para murabbi hari ini yang meninggalkan kesenjangan seperti ini? Dimanakah mereka dengan tarbiyah Nabi ini?
Kedelapan, al-Taujih al-Fardi wa al-Jamaa’i (Taujih individu dan kelompok)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan antara taujih dan tarbiyah individu di sela-sela penyampaian langsung kepada individu tertentu dengan tarbiyah dan taujih kelompok.
Berkata Ibnu Mas’ud –semoga Allah meridhainya-: ”Rasulullah mengajarkan aku tasyahud kedua telapak tanganku berada di antara kedua telapaknya.” (HR. Bukhari no. 831 dan Muslim no. 402).
Sehingga banyak shahabat yang mengatakan: ”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berwasiat kepadaku….”
Seperti Hadits Mu’adz –semoga Allah meridhainya-: Aku dibelakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menunggang keledai kemudian ia berkata: “Wahai Muadz apakah kamu tahu apa hak Allah yang harus dipenuhi oleh seorang hamba dan apa balasan bagi hamba yang memenuhi hak Allah?.”
Dari Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash –semoga Allah meridhainya-: bapaknya menikahkan dirinya dengan seorang wanita yang dipilih oleh bapaknya, lalu ia berkata: sebaik-baik orang adalah yang tidak menyingkapkan tirai kepada kami dan tidak membentangkan tubuhnya –isyarat kepada ketidakpeduliannya- kemudian ia mengadu kepada Rasulullah. Lalu Rasulullah memanggilnya dan berbicara panjang lebar seputar puasa, mengkhatamkan al-Qur’an dan shalat malam.
Diskusi dan taujih ini bersifat pribadi, walaupun kita mengetahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada peristiwa yang lain memberikan taujih yang bersifat umum sebagimana dalam khutbah-khutbah, pertemuan-pertemuan dan taujih–taujih kepada umumnya para shahabat.
Di sini kita dapat mengambil pelajaran penting pada kisah Amru bin al-‘Ash –semoga Allah meridhainya- yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memanggil, berdiskusi dengannya sendirian, walaupun kita mengetahui pada peristiwa yang lain yang sama dengan peristiwa ini Nabi memberikan taujih di hadapan orang-orang ketika tiga orang shahabat bertanya tentang ibadah Nabi mereka saling membicarakannya lalu Nabi naik ke atas mimbar, berkhutbah tentang masalah tersebut.
Dari Anas bin Malik –semoga Allah meridhainya- bahwa ada tiga orang shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bertanya kepada istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang amalannya kemudian sebagian shahabat mengatakan: aku tidak akan menikah, sebagian lagi mengatakan: aku tidak aka makan daging, dan yang lain mengatakan: aku tidak akan tidur, kemudian Nabi memuji dan menyanjung Allah seraya berkata: “Mengapa ada sekolompok orang yang mengatakan ini dan itu, aku shalat dan aku pun tidur, aku berpuasa dan aku pun berbuka, dan aku pun menikah, saipa yang tidak menyukai sunnahku bukanlah pengikutku.” (HR. Muslim 1401).
Hal seperti ini juga terjadi dalam kisah di mana ada orang yang mengatakan: “Ini untuk kalian dan ini dihadiahkan untukku. Dari Abu Humaid al-Saa’idy –semoga Allah meridhainya- ia bercerita: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempekerjakan seseorang dari kabilah al-Azdi yang bernama Ibnu al-Utaybah dalam urusan zakat. Ketika datang ia mengatakan: Ini untuk kalian dan ini dihadiahkan untukku, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata di atas mimbar -sufyan juga berkata maka ia naik ke atas mimbar- lalu memuji dan menyanjung Allah kemudia berkata: “Mengapa ada seorang amil yang kami utus kemudian datang dan mengatakan ini untuk kalian dan ini untukku, mengapa ia tidak tinggal dirumah bapaknya saja lalu menunggu apakah ia diberikan bagian atau tidak?. Demi jiwaku yang berada dalam genggamanNya tidaklah ia datang dengan sesuatu kecuali ia datang dengan membawanya pada hari kiamat dengan membawanya di atas pundaknya, jika seekor unta maka ia berteriak seperti seekor unta, jika seekor sapi ia maka ia berteriak seperti sapi, dan jika seekor kambing maka ia mengembik seperti seekor kambing.” Kemudian Nabi mengangkat kedua tangganya sampai kami melihat kedua ketiaknya, “Apakah sudah aku sampaikan” ia mengulang tiga kali. (HR.Bukhari no. 7174 dan Muslim no.1832).
Jadi, ada sisi di mana kita dapat menyampaikan dan berdiskusi dengan pendekatan pribadi dan tidak dapat dilakukan dengan pendekatan umum walaupun tanpa ada isyarat kepada seseorang tertentu, barangkali permasalahan-permasalahan pribadi tidaklah layak disampaikan kepada orang lain, bahkan menceritakannya bisa jadi kerusakannya lebih banyak daripada manfaatnya. Namun, ada juga sisi-sisi yang harus dijelaskan dengan penjelasan yang terang kepada umum, memberikan solusi dan mendiskusikannya di hadapan orang banyak.
Murabbi yang sukses adalah yang dapat menempatkan suatu permasalahan pada tempatnya. (bersambung)