Dunia Sedang Mencari Agama
October 2, 2012Tarbiyah Jaadah (bag. 2)
October 10, 2012Tarbiyah Jaadah (bag. 1)
Oleh : Al Ustadz Abu Abdirrahman, M.P.I
Ahlussunnah wal Jama’ah merupakan manhaj yang syamil dan mutakamil. Manhaj ahlussunnah wal Jama’ah tidak saja berkaitan dengan permasalahan aqidah, ibadah namun juga berkaitan dengan masalah tarbiyah (pendidikan) yang diterapkan dalam aktivitas dakwah dan gerakan. Salah seorang ulama yang memiliki perhatian terhadap hal ini adalah Dr.Muhammad bin Abdillah al-Duwasy dengan menyusun sebuah tulisan yang berjudul Tarbiyah Jaadah. Tulisannya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indenesia dengan judul Tarbiyah Jaadah; Metode Tepat Membina Umat yang diterbitkan oleh Gema Insani Press (GIP).
Tulisannya menjadi sangat penting bagi setiap orang yang berkecimpung dalam aktivitas dakwah dan tarbiyah, setidaknya dalam dua hal.
Pertama, buku tersebut memberikan gambaran betapa pentingnya tarbiyah yang sungguh-sungguh dalam kerangka dakwah Islam yang dilakukan oleh setiap gerakan dakwah Islam pada saat ini untuk menapaki kebangkitan Islam.
Kedua, buku tersebut memberikan gambaran tentang tarbiyah menurut manhaj ahlussunnah wal jama’ah yang banyak ditemukan dalam sirah Nabi Muhammad, sahabat dan ulama salaf.
Tentang apa itu Tarbiyah Jaadah, mengapa Tarbiyah Jaadah menjadi penting mari kita simak tulisan berikut ini.
Mengapa Harus Tarbiyah Jaadah?
Dalam tulisannya, Muhammad ibn Duways menjelaskan tentang latar belakang mengapa tarbiyah jaadah menjadi sangat penting. Hal ini, menurutnya, dikarenakan adanya sunnatullah tentang kondisi kemerosotan umat Islam dalam berbagai aspek setelah umat Islam meraih kegemilangannya yang dilakukan oleh generasi pendahulu yang utama. Sehingga kebangkitan Islam membutuhkan kesungguhan dalam pembinaan (tarbiyah) yang dapat membentuk pribadi dan masyarakat yang solid dan mantap dalam pemkiran (fikrah), pandangan (tashawwur) dan nilai-nilai perjuanga untuk mengembalikan kegemilangan Islam. Oleh karena itu, kebangkitan Islam yang tidak memperhatikan pembentukan pribadi dan masyarakat yang solid dan mantap, baik dalam pemikiran dan pandangan, nilai-nilai perjuangannya, maka kebangkitan Islam tidak akan bisa meraih kesuksesan yang dicita-citakan. Perubahan dan pembentukan ini benar-benar membutuhkan kesungguhan dalam pembinaan (tarbiyah).
Apakah yang dimaksud dengan tarbiyah jaadah itu?
Tarbiyah Jaadah adalah tarbiyah yang dilakukan dengan kesungguhan sehingga dapat mencetak pribadi yang solid dan handal, yaitu sosok pribadi yang senantiasa beramal dan berkarya (الرجل العامل المنتج) .
Tarbiyah jaadah tidak berarti bahwa sosok pribadi tersebut merupakan sosok yang jarang tertawa. Tidak diragukan lagi bahwa banyak tertawa akan mematikan hati. Namun seorang muslim yang bersungguh-sungguh tidak terlalu banyak bersenda gurau, akan tetapi apakah yang kita maksudkan dari tarbiyah jaadah itu bahwa seorang mutarabbi sedikit tertawa sehingga tidak ada kesempatan sedikitpun untuk tersenyum? Terkadang seseorang memiliki tabi’at jenaka tetapi apakah tidak ada kesungguhan di dalam dirinya?. Kemudian ia memberikan contoh dari ulama salaf seperti al-A’masy dan al-Sya’by. keduanya terkenal sebagai orang yang humoris tetapi memiliki kesungguhan dalam beribadah dan beramal.
Tarbiyah jaadah pun tidak berarti seorang mutarabbi semangat dalam menuntut ilmu syar’i saja, walaupun menuntut ilmu syar’i merupakan sebaik-baik amal. Akan tetapi menuntut ilmu jangan dijadikan satu-satunya ukuran untuk mengukur kesungguhan. Karena banyak sekali lapangan yang bisa dijadikan sarana untuk berkhidmat kepada agama dan membantu permasalahan-permasalahan umat Islam sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh setiap individu masing-masing.
Tarbiyah jaadah juga bukan berarti seorang murabbi bersikap tegas dan kaku. Sebaliknya ia harus menyeimbangkan kondisi mutarabbinya antara idealisme dan kenyataan. Murabbi yang sukses adalah yang dapat menggiring dan mengantarkan mutarabbi ke arah idealisme dengan cara lemah lembut. (Lihat. QS. 3: 159; 9: 128). Murabbi yang sukses ialah yang mengarahkan manusia sesuai dengan kondisi dan keadaannya. Tidak menyalahi manhaj Nabi dalam interaksinya dengan orang lain untuk berdakwah. (Lihat: Qs. Al-Taubah[9]: 128; Ali Imran[3]: 159). (bersambung)