Oleh Ustad Rappung Samuddin, Lc
“Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanya permainan, senda gurau yang melalaikan, perhiasan, saling berbangga diri di antara kalian dan saling berlomba untuk memperbanyak harta dan anak” (Qs: al-Hadid: 20).
Saat melewati sebuah pasar, Rasulullah SAW dan para sahabatnya menemukan bangkai seekor anak kambing yang kecil telinganya. Beliau memegang telinga bangkai itu lalu mengangkatnya. Sambil menoleh beliau bertanya: “Siapakah diantara kalian yang mau membayar bangkai ini seharga satu dirham?” Dengan wajah heran para sahabat menjawab: “Bagi kami ia tidak ada nilainya sedikitpun. Apa yang dapat kami lakukan terhadap bangkai yang hina itu?” Beliau menambahkan lagi: “Bagaimana kalau bangkai ini diberikan (cuma-cuma) pada kalian?” Serentak mereka menimpali: “Demi Allah, seandainya-pun masih hidup kami tidak bakal tertarik. Ia adalah hewan cacat karena telinganya kecil, apalagi dengan kondisi sekarang yang telah menjadi bangkai?!, sudah tentu kami lebih tidak tertarik lagi”. Sambil tersenyum Rasulullah SAW bersabda: “Demi Allah, sungguh dunia di sisi Allah jauh lebih hina ketimbang bangkai anak kambing ini”. (HR. Bukhari).
Dalam kesempatan lain, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Andai dunia ini sepadan dengan sayap seekor nyamuk di sisi Allah, maka orang-orang kafir tidak bakal mendapat minum walau seteguk air”. (HR. Imam al-Tirmidzi, shahih).
Inilah hakekat dunia sebenarnya. Sebuah kenyataan yang mengajak kita sadar. Jangan sampai gemerlap dan tipu dayanya menjadikan kita budak. Atau bahkan hamba baginya. Sebab, penghambaan terhadap dunia merupakan sumber segala kerusakan. Lihatlah kefajiran yang banyak dibuat anak Adam, dahulu hingga kini, hampir seluruhnya disebabkan cinta dunia.
Nah, dalam menyikapi kehidupan dunia serta tujuan akhirat yang dituju anak adam terbagi menjadi dua:
Golongan pertama:Â Mereka yang mengingkari kehidupan akhirat setelah alam dunia ini berakhir. Tentang mereka, Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami, mereka itu tempatnya ialah neraka, disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan”. (Qs: Yunus : 7).
Golongan kedua:Â Mereka yang meyakini adanya hari pembalasan pasca kehidupan dunia.Golongan ini mengakui para Rasul serta membenarkan risalahnya. Kendati kondisi mereka bertingkat, seperti disinggung dalam firman-Nya: “Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar. (Qs: Fathir : 32). Penjabaran adalah sebagai berikut:
Pertama: Zalimun linafsihi. Yakni, orang yang menzalimi diri sendiri. Dalam kehidupan ini mereka banyak terjebak dalam perkara-perkara haram. Sebab bagi mereka, dunia adalah segalanya. Wala’-nya pun sepenuhnya diserahkan pada dunia. Makanya, mereka dikatakan menzalimi diri sendiri. Karena sikap mereka itu sedikitpun tidak memberi mudharat bagi Allah Ta’ala. Akan tetapi, akibat dari perbuatan mereka itu kembali pada diri sendiri. Mereka itulah ahli ahwa’ dan ahlu syahwat. Gerak hidup mereka kebanyakan didominasi kepentingan hawa nafsu dan pemuasan syahwat hewani.
Kedua: Muqtashid. Yaitu golongan pertengahan. Mereka menikmati kehidupan dunia dari arah yang dibolehkan, disamping melaksanakan seluruh kewajiban yang dibebankan syari’at.
Golongan ini tidak tercela. Hanya saja derajat mereka di sisi Allah Ta’ala tidaklah istimewa. Diriwayatkan, Umar bin al-Khattab ra berkata: “Seandainya bukan karena takut derajatku di surga akan berkurang, sudah pasti aku akan mendahului kalian dalam hal kehidupan dunia. Saya mendengar Allah Ta’ala mencela suatu kaum melalui firman-Nya: “Kamu telah menghabiskan rezkimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya”. (Qs: al-Ahqaf : 20).
Ketiga: Sabiqun Bi al-Khairaat. Yaitu, orang-orang yang bersegera mengerjakan amal-amal kebajikan. Mereka paham hakikat kehidupan dunia ini. Mengerti maksud dan tujuan mengapa mereka diciptakan. Hingga akhirnya mengarahkan mereka mengubah segala gerak dalam hidup sebagai amal dan ibadah kepada Allah Ta’ala.
Disamping itu, mereka sadar, bahwa Allah Ta’ala menempatkan segenap hambaNya di bumi untuk menjalani ujian. Hal ini, agar kelihatan siapa yang paling baik amalnya. Paling zuhud terhadap dunia. Dan paling cinta pada negeri akhirat. “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya. (Qs: al-Kahfi : 7).
Mereka merasa cukup mengambil dunia sekedar bekal menghadapi perjalanan panjang. Karena dunia, menurut mereka, adalah terminal mengisi segala perbekalan yang dibutuhkan. Olehnya, Allah Ta’ala mengingatkan kita akan hal itu: “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa”. (Qs: al-Baqarah : 97).
Rasulullah SAW bersabda: “Apa urusanku dengan dunia ini?!, tidaklah aku di dunia melainkan ibarat pejalan kaki yang berlindung di bawah naungan sebatang pohon, istirahat, lalu pergi meninggalkannya”. (HR. Imam al-Tirmidzi, shahih).
Artinya, kampung sebenarnya bagi hamba adalah kampung akhirat. keluarga hakiki baginya adalah keluarga di akhirat. Dan Harta kekayaan sebenarnya adalah harta di akhirat. Merugilah orang-orang yang tega menjual akhiratnya demi mengais secuil kesenangan dunia yang fana.
Makanya, tanamkan niat taqwa dalam seluruh aktifitas hidup. Hal mana agar setiap perbuatan kita di muka bumi bernilai pahala di sisi-Nya. Sebab demikianlah maksud keberadaan kita di dunia. Ibadah, dan mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya. Mu’adz bin Jabal ra berkata: “Aku mengharapkan pahala dari tidurku, sebagaimana mengharapkan pada waktu terjagaku (shalat malam). Walllahu a’lam. []