Ingin Tahu? Ini 5 Rahasia Kenapa Shalat Sunat Lebih Utama Dikerjakan di Rumah
February 20, 2016
Tanya: Transaksi Jual-Beli Melalui HP Di Masjid, Bolehkah?
February 23, 2016
Ingin Tahu? Ini 5 Rahasia Kenapa Shalat Sunat Lebih Utama Dikerjakan di Rumah
February 20, 2016
Tanya: Transaksi Jual-Beli Melalui HP Di Masjid, Bolehkah?
February 23, 2016

Syukurnya Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman

Nabi Dawud adalah salah seorang nabi yang berasal dari kalangan Bani Israil. Selain seorang nabi, beliau juga seorang raja. Beliau pertama kali diangkat menjadi raja setelah terlibat dalam jihad fi sabilillah bersama Thalut. Setelah pasukan Jalut berhasil dikalahkan oleh pasukan istimewa tersebut, Allah mewariskan kekuasaan kepada Nabi Dawud ‘alaihis salam.
Sebagai seorang nabi sekaligus raja, beliau juga sibuk mengurus rakyat. Raja yang bertakwa lagi adil, dan yang tidak kalah penting, berilmu. Beliau juga seorang ayah yang sukses mendidik anaknya menjadi pribadi yang shalih. Dialah Nabi Sulaiman ‘alaihis salam. Penerus dakwah dan kekuasaan beliau berikutnya, sehingga Islam di zaman beliau mengalami kejayaan, tamkin.
Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman termasuk diantara para nabi yang Allah pilih untuk disebutkan kisahnya dalam Al Qur’an. Bukan tanpa tujuan. Allah sebutkan kisah-kisah para nabi tersebut agar umat akhir zaman ini bisa mengambil i’tibar dari perjalanan hidup dan perjuangan mereka. Allah karuniakan ilmu dan hikmah, kemudian Allah lebihkan Nabi Sulaiman dalam hal al fahmu (pemahaman) dalam kasus tertentu.

ففهمناها سليمان وكلا أتينا حكما وعلما

“Maka Kami fahamkan Sulaiman, dan Kami berikan ilmu dan hikmah kepada keduanya” (QS Al Anbiya’: 79).

Diantara pelajaran yang kita bisa petik dari beliau berdua adalah sifat syukurnya. Beliau-beliau ini sangat pandai bersyukur. Memiliki sensitifitas yang tinggi untuk tergerak hati dan lisannya memuji dan menyandarkan nikmat tersebut kepada Allah subhanahu wata’ala. Mereka peka ketika melihat nikmat Allah ta’ala.
Syukur, salah satu amalan hati yang kebanyakan manusia lalai darinya. Dan ini salah satu bagian yang ditargetkan Iblis dalam menyesatkan manusia. Sebagaimana janji Iblis, ketika berdiri di hadapan Allah ta’ala:

ثم لاتينهم من بين أيديهم ومن خلفهم وعن أيمانهم و عن شمائلهم ولا تجد أكثرهم شاكرين

“Kemudian aku akan benar-benar mendatanginya dari depan, belakang, sisi kanan, dan sisi kiri. Dan Engkau akan melihat kebanyakan dari mereka tidak bersyukur” (QS Al A’raf: 17).

Iblis, Fir’aun, dan Qarun adalah ikon-ikon contoh makhluk yang tidak bisa menyandarkan nikmat dan kelebihan yang dimiliki, kepada Sang Pemberi nikmat Allah subhanahu wata’ala. Justru kelebihan itu disandarkan kepada dirinya sendiri. Iblis merasa diri superior. “Ana khairun minhu”, aku lebih baik darinya (Adam). Fir’aun merasa paling berkuasa. Merasa Sungai Nil berjalan di bawah tapak kakinya. Hingga puncaknya mengikrarkan “Ana rabbukumul a’la”. Aku adalah tuhan kalian yang paling tinggi. Sedangkan Qarun merasa kekayaan dan kesuksesannya adalah semata karena kepandaiannya. Karena ilmunya. “Inamaa uutiituhu ‘alaa ‘ilmin ‘indi”, ujarnya. Mereka tidak menyandarkan kenikmatan tersebut kepada Allah subhanahu wata’ala.

Hal yang berbeda kita saksikan dari Nabi Dawud dan keluarganya. Allah berfirman “I’maluu aala Daawuuda syukran”. Berkaryalah kalian wahai keluarga Dawud, sebagai bentuk rasa syukur. Maka kita pun saksikan, karya mereka dalam menegakkan syari’at Allah di muka bumi. Mereka berkuasa bukan untuk menjajah bangsa-bangsa. Bukan untuk menindas. Tapi untuk menebar keadilan, merealisasikan bahwa Islam adalah anugrah, rahmat untuk semesta alam. Kemudian Allah abadikan penggalan-penggalan syukur tersebut dalam Kitab-Nya yang mulia.

Dalam surat An Naml, mengawali kisah Nabi Sulaiman, Allah abadikan ucapan syukur keluarga teladan ini. Allah berfirman,

وأتينا داود وسليمان علما فقال الحمد لله الذى فضلنا على كثير من عباده المؤمنين

“Segala puji bagi Allah yang telah melebihkan kami dibandingkan hamba-hamba-Nya yang lain dari kalangan orang-orang beriman”

Mereka Allah karuniai ilmu, kemudian mereka bersyukur memuji Allah. Alhamdulillahilladzii fadhdhalnaa ‘alaa katsiirin min ‘ibaadihil mu’miniin. Mereka mengakui nikmat ini (i’tiraf) dan menyandarkan nikmat ini kepada Allah. Maka Allah tambahkan nikmat berikutnya. Ilmu itu menjadi tali kekang kendali ketika Allah berikan nikmat berupa kelimpahan harta dan tahta. Harta dan tahta bisa menjadi fitnah terhadap ‘diin’ maupun ‘dunya’ seseorang. Tapi tidak bagi insan berilmu dan bertakwa seperti mereka berdua.

Sensitif, peka terhadap nikmat Allah, dan mudah bersyukur kita lihat pada penggalan kisah berikutnya. Suatu hari sang raja yang shalih ini, Nabi Sulaiman, bersama iring-iringan pasukannya berjalan melintasi suatu lembah, “waadin namlah”. Kita tahu, pasukan beliau bukan hanya dari kalangan manusia saja. Jin, binatang, bahkan angin pun Allah tundukkan menjadi pasukan sang raja yang shalih nan bertakwa ini, ‘alaihis salam.

Iring-iringan besar sang raja ini tiba-tiba terhenti mendadak. Bukan karena ada bahaya merintang. Bukan karena bukit runtuh atau pohon tumbang. Bukan karena musuh menghadang. Jauh di bawah sana sang raja mendengar semut berseru. Ya, semut. Makhluk kecil yang tampak tak berdaya. Semut ini memperingatkan kaumnya. “Wahai sekalian semut, masuklah ke dalam rumah-rumah kalian. Agar kalian tidak terinjak oleh Sulaiman dan bala tentaranya tanpa mereka sadari.”

Apa reaksi beliau ketika mendengar hal tertsebut? “Fatabassama dhaahikan..”. Tersimpul senyum di bibir, sambil sedikit tertawa. Hatinya betul-betul tersentuh. Betapa besarnya anugerah Allah sampai beliau bisa mendengar dan memahami bahasa semut. Betapa besar karunia-Nya, sedemikian sehingga nama beliau dikenal di kalangan semut. Sebegitu besarnya nikmat-nikmat ini, hingga lisan beliau pun bergetar, bergumam lirih. Mengucap do’a penuh syukur dari hati. Cermin keimanan.

“Rabbi auzi’nii..an asykura ni’mataka..alladzii an’amta ‘alayya wa ‘alaa waalidayya..wa an a’mala shaalihan tardhaahu, wa adkhilnii min ‘ibaadikash shaalihiin…”

“Wahai rabbku, karuniakanlah kepadaku untuk bisa mensyukuri nikmat-nikmat Mu, yang telah engkau anugerahkan kepadaku maupun kepada kedua orang tuaku. Dan karuniakan pula kepadaku, untuk bisa mengerjakan amal-amal shalih yang Engkau ridhai. Kemudian, masukkanlah aku ke dalam golongan hamba-hamba Mu yang shalih”.

Subhaanallah. Seorang nabi yang mulia. Raja yang shalih. Mengingat nikmat tuhannya, terkenang jasa orang tuanya, menyandarkannya kepada Sang Pemberi Karunia, kemudian meminta taufik. Taufik untuk semakin bersyukur, baik dengan lisan maupun amal shalih. Dilanjutkan dengan ketawadhu’an, memohon agar Allah berkenan memasukkan ke dalam golongan para shalihin. Padahal, siapa manusia di zaman itu yang berani dibandingkan dengan keshalihan sang nabi? Jelas,beliau bukan sekedar shalih, tapi seorang nabi. Subhaaanallah.

Seorang raja yang kekuasaannya terlampau luas. Tanpa tanding di zamannya maupun setelahnya. Pantaslah, karena Allah kabulkan do’a beliau. Do’a yang merepresentasikan himmah yang tinggi. Ambisi besar untuk menegakkan kalimatullah di atas muka bumi. Suatu hari memang beliau pernah berdo’a, “Rabbighfir li, wa hab lii mulkan laa yanbaghii li ahadin min ba’di”. Ya Allah, ampunilah diriku, dan anugerahkanlah kepadaku sebuah kerajaan yang tidak akan ditandingi oleh seorangpun setelahku. Do’a ini menunjukkan quwwatul ‘azmi, azam yang kuat untuk berkontribusi fi sabilillah. Bukan do’a keserakahan, bukan.

Raja tanpa tanding. Kaya raya. Berkuasa. Tapi, beliau tidak jumawa. Beliau tetap shalih, tawadhu’, dan sekali lagi, pandai bersyukur. Berikutnya, Allah ketengahkan kembali kalimat syukur beliau. Saat itu, beliau sedang bermusyawarah dengan para pembesar. Para ahli, para ulama. Bukan hanya dari kalangan manusia, tapi juga dari kalangan jin.
Saat itu, beliau sedang mengalami sedikit ketegangan dengan Ratu Saba’. Negeri nun jauh disana, di bumi Yaman. Negeri yang beliau kirimkan kepadanya surat pendek, ringkas, tegas. Berisi ajakan iman, sekaligus ancaman dan gertakan.

“Bismillahirrahmanirrahim. Janganlah kalian merasa adidaya dihadapanku. Tunduklah kepada kekuasaanku dalam keadaan menjadi muslim”.
Seolah beliau katakan, “..kalian masuk Islam, atau kami invasi negeri kalian..”.

Singkat cerita, Nabi Sulaiman ingin mendatangkan singgasana Ratu Saba’. Beliau kumpulkan para pembesar, jin maupun manusia. Kemudian Ifrit dari kalangan jin menawarkan untuk membawa singgasana tersebut sebelum Nabi Sulaiman bangkit dari duduknya. Tidak mau kalah, salah seorang ulama yang Allah berikan pengetahuan dari kitab suci menawarkan diri ber-mubadarah. “Aku akan datangkan singgasana tersebut sebelum paduka selesai berkedip..”. kemudian singgasana yang kata Hud-hud adalah ‘arsyun ‘azhiim itu, benar-benar hadir di depan mata. Demi mendengar ketundukan para punggawa, dan melihat karunia seperti ini, hati beliau kembali tersentuh. Keimanan kembali membuat bibir beliau bergetar, berucap syukur. Penuh tawadhu’.
“…hadzaa min fadhli rabbi, liyabluwani a-asykuru am akfuru, wa man syakara fa innamaa yasykuru linafsih, wa man kafara fainnallaha ghaniyyun karim…”
“…ini adalah karunia dari Rabb-ku, untuk mengujiku..apakah aku termasuk golongan hamba yang bersyukur ataukah golongan yang kufur terhadap nikmat-Nya. Barangsiapa bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa kufur, sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Mulia…”

Tidak mudah berbuat seperti itu. Menyandarkan nikmat kepada Sang Pemberi, sambil merasa “..ini adalah ujian..”. Tidak semua orang bisa lolos ujian ketika diuji dengan limpahan nikmat seperti ini. Bisa jadi seseorang bisa bersabar dengan kesempitan, tapi belum tentu bisa bersyukur di tengah kelapangan.

Ya Allah, tolonglah kami untuk senantiasa bisa berdzikir kepada-Mu, bersyukur atas nikmat-Mu, dan tolong kami untuk memperbaiki ibadah-ibadah kami dalam menyembah-Mu.