Diantara nikmat Allah Ta’ala yang paling besar manfaatnya kepada manusia adalah lisan (lidah) dan dua bibir. Allah Ta’ala mengingatkan kedua nikmat tersebut dalam firmanNya:
“Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah dan dua buah bibir. Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan”. (QS. Al-Balad: 8-10).
Syekh Abdurrahman As-Sa’dy dalam tafsirnya Jilid 5 halaman 418 menjelaskan, bahwa: tiga ayat ini menyebutkan tentang dua kelompok nikmat Allah Ta’ala pada manusia. Yaitu nikmat duniawi dan nikmat diniyah. Perkataaan ‘aynayn (dua mata), lisan (lidah) dan syafatayn (dua bibir) merupakan nikmat-nikmat duniawi yang sangat penting, yang berfungsi untuk keindahan, penglihatan dan komunikasi, sedangkan nikmat diniyah disebutkan dalam redaksi ayat: “wahadaynahun najdayn (dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan; Yang dimaksud dengan dua jalan ialah jalan kebajikan dan jalan kejahatan).
Dari penjelasan Syekh di atas, menunjukkan bahwa lidah pada manusia memiliki berbagai fungsi, dan diantara fungsinya yang paling spesifik dan paling penting adalah sebagai alat komunikasi. Hewan juga memiliki lidah tetapi tidak berfungsi sebagai alat komunikasi. Dengan alat yang kecil ini sebagian besar kebutuhan manusia dapat terpenuhi, sebab hal-hal yang terpendam dalam hati dapat diungkapkan dengan jelas.
Syekh DR. Nashir Al ‘Umar memberikan penjelasan dalam Kitabnya Suurah al-Hujuraat, Dirasah Tahliliyyah Wa Mawdhu’iyyah halaman 143, bahwa diantara bukti visual yang menunjukkan pentingnya nikmat Allah ini, adalah ketika kita merenungkan keadaan orang-orang yang bisu. Ketika orang bisu hendak mengungkapkan sesuatu, maka ia harus menggunakan beberapa anggota tubuhnya, diantaranya kedua tangannya, mulut, dua bibir serta kepalanya bahkan kadang-kadang harus menggerakan tubuhnya, namun walau demikian ia tetap tidak dapat mengungkapkan secara pasti apa yang diinginkannya. Kadang-kadang ia terduduk lama untuk mengungkapkan sebuah makna yang kalau diungkapkan oleh orang yang normal cukup hanya dengan satu atau dua patah kata.
Dengan demikian jelaslah, bahwa nikmat lisan dan kedua bibir, merupakan anugerah Allah Ta’ala yang sangat agung dan diberikan secara gratis kepada setiap manusia, tanpa memandang status dan agamanya, bayangkan jika nikmat ini harus kita bayar.
Keutamaan Menjaga Lisan dan Bahaya Tidak menjaganya
Jika Allah Subhanahu Wata’ala memberikan nikmat lisan secara gratis, itu tidak bermakna kita boleh berbicara menurut kehendak hawa nafsu. Yang dikehendaki oleh Sang Pemberi nikmat adalah bersyukur kepadaNya dengan cara memanfaatkan lisan sesuai dengan tuntunan dan syari’atNya. Anggota tubuh yang satu ini memang tidak tersusun atas tulang-belulang seperti anggota tubuh lainnya, akan tetapi jika digunakan tidak sesuai dengan aturan Pemberinya, maka lisan seperti ini bisa lebih tajam dari pedang terhunus. Karena itu ada sebuah pepatah dalam bahasa Indonesia menyebutkan: “Mulutmu adalah harimaumu” dan sebuah pepatah Arab menyatakan: “Salamatul insan fi hifzhil lisan” (Keselamatan manusia sangat tergantung pada penjagaan lisannya).
Di antara ancaman kepada orang yang tidak bisa menjaga lisannya adalah sabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya jika seorang hamba berbicara dengan kalimat yang tidak jelas baginya (apakah kalimatnya itu benar atau salah), maka ia akan tergelincir ke dalam neraka sejauh jarak antara timur dan barat ” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ketika Nabi SAW mengalami proses isra’, beliau melewati suatu kaum yang mencakar-cakar wajahnya dengan kuku-kuku mereka dari tembaga. Nabi pun bertanya kepada malaikat jibril tentang siapa mereka itu, maka Jibril menjawab “mereka adalah orang-orang yang suka memakan daging manusia serta menodai kehormotan mereka” (dikutip dari hadits riwayat Abu Dawud dan Ahmad yang disahihkan olen oleh Syekh Al-Bani dalam Shahih Al-Jaami’).
Dalam kitab Jaami’ul ‘Ulum Wal Hikam disebutkan satu nasihat dari Ibnu Mas’ud RA yang diawali dengan sumpah: “Dengan nama Allah yang tiada Ilah selainNya, tidak ada sesuatu di atas muka bumi ini yang lebih butuh untuk dipenjarakan dalam waktu yang lama daripada lisan”
Sementara Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata seperti yang dikutip dalam Kitab Al-Jawab Al-Kaafi: “Betapa banyak orang yang hati-hati dari perbuatan keji dan dzalim, tetapi lidahnya mencaci maki kehormatan orang yang masih hidup dan yang sudah wafat, sementara ia tidak menyadari akan apa yang diucapkannya”.
Sebaliknya, jika lisan digunakan sesuai tuntunan syari’atNya, maka lisan akan memproduksi berbagai kebaikan, seperti mengucapkan kalimat yang paling agung dan paling berat timbangannya di hari akhirat, yaitu kalimat tauhid: Laa Ilaaha Illallah Muhammadur-Rasulullah, kalimat-kalimat dzikir, dakwah di jalan Allah, perkataan-perkataan santun dan lemah lembut yang menjadi perhiasan terbaik bagi seseorang. Akumulasi dari berbagai kebaikan adalah ketenangan jiwa dan mengundang simpati dari orang lain, bahkan tidak tanggung-tanggung Rasululullah SAW menjajikan syurga sebagaimana yang tersebut dalam sabdanya: “Barangsiapa yang menjamin bagiku apa yang ada di antara kumis dan jenggotnya (lisan dan dua bibir) dan apa yang ada di antara dua pahanya (kemaluan), maka aku jamin baginya syurga” (HR. Bukhari, At-Tirmidzi dan Ahmad).
Aafaat Al-Lisaan (Penyakit-penyakit Lisan)
Abdullah Bin Raadhy Al-Ma’idiy Al-Syamry dalam makalahnya yang berjudul Aafat Al-Lisaan di situs www.saaid.net menyebutkan beberapa penyakit-penyakit lisan yang harus diwaspadai adalah:
Penyakit pertama dari lisan adalah perkataan syirik kepada Allah. Rasulullah SAW bersabda: ”Janganlah engkau menjadikan si fulan sebagai sekutu bagi Allah) dalam ucapan-ucapan tersebut. Semua ucapan ini adalah perbuatan SYIRIK.” (HR. Ibnu Abi Hatim). Al-Hafidz Ibnu Rajab mengatakan: Sesungguhnya maksiyatnya perkataan termasuk di dalamnya adalah syirik, dimana hal itu merupakan dosa yang paling besar di sisi Allah ‘Azza Wajalla, dan termasuk di dalamnya adalah mengucapkan perkataan terhadap Allah tanpa dasar ilmu.
Penyakit kedua adalah mengucapkan perkataan terhadap Allah tanpa didasari oleh ilmu. Menurut penjelasan Ibnul Qayyim Rahimahullah, bahwa mengucapkan perkataan terhadap Allah tanpa didasari oleh ilmu bisa menjadi sebab jatuhnya seseorang dalam kesyirikan. Beberapa contoh berikut ini merupakan perkara-perkara yang termasuk dalam perkataan terhadap Allah tanpa didasari oleh ilmu, yaitu: membantah nas-nas Al-Qur’an dan Hadits dengan rasio, tergesa-gesa membuat pernyataan tanpa dasar ilmu, menyebutkan satu riwayat sebagai hadits Nabi tanpa mengetahui apakah derajat riwayat tersebut sahih atau dha’if, menganggap salah pendapat Imam-imam mujtahid, mengatakan sesuatu yang dinisbatkan pada agama Islam atas dasar hawa nafsu dan prasangka.
Penyakit ketiga adalah berdusta, yaitu mengatakan sesuatu yang berbeda dengan kenyataan yang sebenarnya.
Penyakit keempat ialah berghibah, yaitu menceritakan hal seseorang yang ia tidak sukai kepada orang lain.
Penyakit kelima dari lisan adalah mengucapkan perkataan yang batil atau diam dari kebenaran.
Penyakit keenam adalah memberikan kesaksian palsu.
Penyakit yang ketujuh dari lisan yang tidak terkendali adalah adalah memfitnah, yaitu perkataan bohong yang disebarkan dengan maksud menjelekkan orang.
Penyakit kedelapan adalah bersumpah selain Allah, seperti bersumpah dengan nama ayah, bersumpah dengan amanah dan lain-lain. Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa bersumpah dengan selain Allah maka dia telah kafir atau berbuat syirik.” (HR. Abu Daud no. 2829, At-Tirmizi no. 1535, dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 6204)
Penyakit kesembilan adalah mencaci-maki, menghina dan mengolok-olok orang beriman.
Dan penyakit yang kesepuluh dari lisan yang tidak terkontrol adalah melaknat atau mengutuk orang lain tanpa dasar ilmu. Tsabit bin AdlDlahhak radhiallahu ’anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wa Sallam bersabda : ‘Siapa yang melaknat seorang Mukmin maka ia seperti membunuhnya.” (HR. Bukhari)
Kiat Menjaga Lisan
Agar lidah kita menjadi salah satu “pabrik kebaikan” yang produktif dan agar kita terhindar dari perkataan-perkataan yang dapat mengundang murka Allah ‘Azza Wajalla, maka ada beberapa kiat yang harus kita perhatikan:
Pertama: Meyakini bahwa Allah Maha mendengar dan Maha mengetahui maksud dari setiap perkataan yang diucapkan oleh lisan kita. Allah berfirman: “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir. (QS. Qaf: 18).
Kedua: Menghayati dan merenungi bahaya penyakit-penyakit lisan. Suatu ketika Nabi SAW ditanya tentang apa yang paling banyak menjadikan manusia masuk syurga. Beliau SAW menjawab, ”Taqwa kepada Allah dan akhlak yang baik.” Sesudah itu Nabi ditanya apa yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka. Beliau SAW menjawab, ”Mulut dan kemaluan.”(HR Ahmad dan Turmudzi).
Ketiga: Menghayati dan merenungi keutamaan dan pentingnya menjaga lisan. Rasulullah bersabda, ”Tidaklah lurus iman seseorang sampai lurus hatinya. Dan tidaklah lurus hati seseorang sampai lurus lisannya.” (HR Ahmad). Sabda Nabi SAW ini merangkum seluruh argumen yang menunjukkan pentingnya menjaga lidah, karena nikmat tertinggi dari seluruh nikmat Allah adalah keimanan, dimana legitimasi keimanan ini akan terancam jika kita tidak mampu mengontrol lisan kita.
Keempat: Bergaul dengan orang yang pandai menjaga lisannya. Para ahli pendidikan karakter sepakat bahwa salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam pembentukan karakter adalah lingkungan pergaulan.
Kelima: Berfikirlah terlebih dahulu sebelum berbicara. Apakah perkataan tersebut mengandung manfaat ataukah sebaliknya mengandung mudarat. Jika perkataan tersebut diprediksi menimbulkan mudarat atau tidak ada manfaatnya sama sekali, maka yang terbaik adalah diam. ‘Umar Bin Kattab radiyallahu ‘anhu memberikan tips sederhana dengan nasihatnya: ”Barangsiapa banyak bicaranya maka akan banyak tergelincirnya. Barangsiapa banyak tergelincirnya maka banyaklah dosanya. Dan barangsiapa banyak dosanya maka neraka lebih pantas untuknya.”
Akhirnya tulisan ini ditutup dengan do’a: Ya Allah tolonglah kami untuk senantiasa berdzikir kepadaMu, bersyukur kepadaMu dan memperindah ibadah kami kepadaMu. Ya Allah Tolonglah kami untuk dapat menjaga lisan kami dari murkaMu, dan bimbinglah kami Ya Allah untuk menjadikan lidah kami sebagai produsen kebaikan. Aamin Ya Rabb.