Tatkala Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu menderita sakit di akhir hayatnya, berujarlah sang istri tercinta, Ummu Darda’ ash-Shugra rahimahallah dengan satu pinta suci, “Wahai Abu Darda’, sesungguhnya engkau telah melamar diriku kepada kedua orang tuaku di dunia ini, lantas mereka menerimanya dan menikahkanmu denganku, sebab itu, aku ingin melamar dirimu (agar tetap menjadi suamiku) di akhirat kelak.”
Abu Darda’ hanya menyahut, “Kalau begitu, maka janganlah menikah lagi sepeninggalku.” (Lihat: Siyar A’laam an-Nubalaa’; 4/278).
Permohonan sederhana nan indah dari Ummu Darda’ ini melukiskan betapa indahnya biduk rumah tangga yang terbingkai oleh hiasan iman, taqwa dan ketaatan. Sebaliknya permohonan Abu Darda’ yang tak kalah sederhananya, juga menggambarkan pada kita tentang indahnya bayang-bayang cinta kasih yang terjalin antara keduanya, hingga saat keduanya terpisahkan oleh takdir ajal.
Dalam majelis kajian Syarah Kitab al-Adab al-Mufrad di Masjid Nabawi, tatkala Syaikh Prof. Dr. Anis Thahir hafidzhahullah menukilkan kisah ini di hadapan murid-muridnya, dengan tersenyum beliau lantas memotivasi agar pasutri yang telah membangun biduk rumah tangga mesti meneladani romantisme yang terjadi antara Abu Darda’ dan Ummu Darda’ ini, dengan selalu saling memperdengarkan ucapan doa kebaikan dunia akhirat baik dalam suasana canda tawa keromantisan ataupun dalam menghadapi berbagai derita kehidupan.
Tentunya, tidak hanya itu, tapi kisah Sang ‘Alim Abu Darda’ dan Sang Jelita Ummu Darda’ radhiyallahu ‘anhuma di atas juga memberikan inspirasi bagi kita bahwa romantisme terindah tidak hanya terletak pada sisi materi, kata-kata puitis, canda tawa, dan sederet trik keromantisan duniawi lainnya. Namun lebih dari itu, romantisme antara pasutri tidak akan sempurna, bahkan takkan memberikan curahan banyak keberkahan dan rahmat kecuali bila keromantisan itu dilengkapi dengan romantisme yang berorientasi pada akhirat, sikap taqwa, dan penyucian jiwa (tazkiyatunnafs) baik dengan saling ‘mendendangkan’ doa tatkala berdua, duduk berdua saling mengevaluasi ibadah dan kepribadian, mengerjakan ibadah dan ketaatan tertentu secara bersama-sama, ataupun sisi keromantisan ukhrawi atau agamis lainnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai teladan utama dan pertama, meskipun memiliki banyak kesibukan dan kepadatan aktifitas sebagai seorang pemimpin sekaligus nabi, beliau tetap bisa menunjukkan sisi romantis dalam rumah tangga beliau dengan berbagai gambaran dan bentuknya, terlebih dalam konteks romantisme ukhrawi / agamis. Aisyah radhiyallahu ‘anha mengisahkan tentang romantisme beliau ini dalam berbagai hadits, beliau mengisahkan;
كان يتكئ في حجري وأنا حائض، ثم يقرأ القرآن
Artinya: “Dahulu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersandar di pangkuanku sedang aku dalam kondisi haid, lalu beliau membaca Al-Quran.” (HR. Bukhari; 297, dan Muslim; 301).
Beginilah romantisme hakiki yang beliau tunjukkan pada istrinya, sederhana namun cukup menambah rasa cinta, dan kasih. Karenanya, Aisyah radhiyallahu ‘anha selalu berbangga dengan indahnya romantisme yang diberikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada dirinya. Dalam hadits lain, Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakr rahimahullah mengisahkan;
كَانَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا إِذَا غَضِبَتْ عَرَكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِأَنْفِهَا، ثُمَّ يَقُولُ: ” يَا عُوَيِّشُ، قُولِي: اللَّهُمَّ رَبَّ مُحَمَّدٍ، اغْفِرْ لِي ذَنْبِي، وَأَذْهِبْ غَيْظَ قَلْبِي، وَأَجِرْنِي مِنْ مُضِلَّاتِ الْفِتَنِ
Artinya: “Dahulu bila Aisyah radhiyallahu ‘anha marah, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa memijit hidung Aisyah dan beliau berkata, Wahai Aisyah, bacalah do’a: “Wahai Allah Tuhannya Muhammad, ampunilah dosaku, hilangkanlah kekerasan hatiku, dan lindungilah diriku dari fitnah yang menyesatkan.” (HR. Ibnu Sunni; 455, dha’if).
Meskipun hadits ini dha’if dari segi sanadnya, namun tetap memberikan inspirasi romantisme ukhrawi yang luar biasa, meskipun tatkala salah seorang pasutri dalam kondisi marah atau tersinggung. Dengan romantisme jenis ini, maka kemarahan mesti sirna, dan rasa ketersinggungan akan hilang dengan sendirinya. Hal ini tidak seperti kebanyakan kita, yang apabila salah seorang pasangan kita marah, maka respon pertama yang kita berikan adalah kata-kata keras, atau rasa marah yang sama, padahal di saat itulah kesempatan kita bisa belajar sikap romantisme sebagaimana yang ditunjukkan dalam hadits di atas, sebab itulah gambaran akhlak mulia yang hakiki. Benarlah ucapan Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah tatkala berkata, “Ketahuilah, akhlak baik (yang hakiki) kepada wanita (istri) itu bukan dengan berusaha menghilangkan kesulitan / kesedihan dari dirinya, tapi lebih pada bersabar menanggung adanya rasa sedih (dan lelah) yang disebabkan olehnya, serta menahan diri untuk bersabar ketika ia menunjukkan kesalahan dan amarahnya, sebagai bentuk sikap peneladanan kita terhadap akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Mukhtashar Minhaj al-Qashidin: 78-79).
Inilah pokok utama yang diperintahkan Allah Ta’ala dalam firman-Nya yang artinya: “Dan pergaulilah mereka (istri-istri kalian) dengan baik.” (QS. An-Nisa’: 19).
Juga sering kali ditekankan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam berbagai haditsnya, diantaranya dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
أَكْمَلُ المُؤْمنين إِيمَاناً أَحْسنُهُمْ خُلُقاً، وَخِيركُمْ خيرُكم لِنِسَائِهِم
Artinya: “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya, dan adapun orang yang paling baik di antara kalian adalah orang yang paling berbuat baik terhadap istrinya.” (HR. Tirmidzi; 1162, hasan shahih).
Dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha dengan redaksi:
إن من أكمل المؤمنين إيمانا أحسنهم خلقا وألطفهم بأهله
Artinya: “Sesungguhnya merupakan orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan paling berlemah lembut terhadap istrinya.” (HR. Tirmidzi; 2612, shahih)
Sisi romantisme lain yang tak kalah indahnya adalah petunjuk yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para istri tatkala merasa menyakiti suaminya atau merasa tersakiti oleh suaminya, sebagaimana dalam hadits:
ألا أخبركم بخير نسائكم من أهل الجنة الودود الولود العئود لزوجها التي إذا آذت أو أوذيت جاءت حتى تأخذ بيد زوجها ثم تقول والله لا أذوق غمضا حتى ترضى
Artinya: “Maukah aku memberitahu kalian tentang istri-istri kalian yang akan menjadi penduduk surga, yaitu yang penyayang, banyak anak (subur), dan banyak memberikan manfaat kepada suaminya; yang jika ia menyakiti suaminya atau disakiti, ia segera datang hingga berada di pelukan suaminya, kemudian berkata, “Demi Allah, aku tidak bisa memejamkan mata hingga engkau meridhaiku.” (HR. Nasai dalam Sunan Kubra; 9093, hasan).
Tentunya, kandungan hadits ini mengisyaratkan romantisme ukhrawi terindah, akarnya akhlak mulia, dan puncaknya adalah keridhaan Allah Ta’ala. Sungguh betapa bahagianya rumah tangga yang dijalani oleh seorang suami yang memiliki seorang istri dengan sifat-sifat unik ini, dan betapa bahagianya sang istri yang menjalani hari-harinya dengan seorang suami yang bisa bersabar dari segala kekurangan dirinya.
Di antara sikap romantisme ukhrawi yang banyak ditinggalkan, termasuk oleh orang-orang yang berilmu adalah tidak duduk berduaan dengan sang istri untuk mengajarinya berbagai persoalan agama yang urgen bagi dirinya, padahal hal ini bukan hanya sekedar romantisme, namun ia adalah sebuah kewajiban. Hal inilah yang juga ditunjukkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sering kali duduk berduaan dengan salah satu istrinya untuk mengajarkannya persoalan-persoalan agama atau menghafalkan padanya Al-Quran dalam suasana romantisme ukhrawi yang sederhana, namun sangat luar biasa.
Semoga rangkaian kata yang sedikit ini bisa mewakili ratusan romantisme ukhrawi yang terlukis dalam sejarah Nabi dan para salaf umat ini, dan semoga kita sebagai umat beliau bisa mempraktekkan dan merealisasikannya dalam kehidupan rumah tangga kita, aamiin.