Bagaimana keadaan Mulut dan Bibir Ketika dzikir dan Berdoa, apa harus ikut menggerakkannya?
Jawab:
Berdzikir dan berdoa itu melibatkan hati disertai lisan dengan menggerakkan bibir / Mulut
Allah Ta’ala menyebutkan dalam Al-Quran,
لَا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ
“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (berdzikir/ membaca Al Qur’an) karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya .” (AL-Qiyamah: 16)
Ibnu Rusyd menukilkan,
“Imam Malik rahimahullah ditanya mengenai orang yang membaca dalam shalat (termasuk berdzikir), suaranya tidak didengar oleh seorangpun dan tidak juga dirinya, ia tidak menggerakkan lisannya, maka Imam Malik berkata,
“Ini bukan termasuk membaca (berdzikir), berdzikir itu dengan menggerakkan lisan”
(Al-Bayan waat Tahsil 1/491, Darul gharbil Islamiy, cet. II, 1408 H, syamilah)
Al-Kasani rahimahullah berkata,
القراءة لا تكون إلا بتحريك اللسان بالحروف ، ألا ترى أن المصلي القادر على القراءة إذا لم يحرك لسانه بالحروف لا تجوز صلاته
“Membaca (berdzikir) harus dengan menggerakkan lisan (mengucapkan) huruf-huruf. Jika engkau melihat seseorang shalat, ia mampu membaca akan tetapi ia tidak menggerakkan lisannya (mengucapkan) huruf-huruf, maka tidak sah shalatnya.”
[Badhai’us Shana’i 3/55, darul Kutub Al-‘Ilmiyah, cet. II, 1406 H, syamilah]
Dan Fatwa ulama di zaman ini juga demikian, syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata,
“Berdzikir itu harus menggerakan lisan dan harus bersuara, minimal didengar oleh diri sendiri. Orang yang membaca di dalam hati (dalam bahasa arab) tidak dikatakan Qaari. Orang yang membaca tidak dapat dikatakan sedang berdzikir atau sedang membaca Al Quran kecuali dengan lisan. Minimal didengar dirinya sendiri. Kecuali jika ia bisu, maka ini ditoleransi”
[Sumber: http://www.ibnbaz.org.sa/mat/104]
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,
“Qira’ah itu harus dengan lisan. Jika seseorang membaca bacaan-bacaan shalat dengan hati saja, ini tidak dibolehkan. Demikian juga bacaan-bacaan yang lain, tidak boleh hanya dengan hati. Namun harus menggerakan lisan dan bibirnya, barulah disebut sebagai aqwal (perkataan). Dan tidak dapat dikatakan aqwal, jika tanpa lisan dan bergeraknya bibir”
[Majmu’ Fatawa Ibnu ‘Utsaimin, 13/156]